Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id
I. Pendahuluan
Perkembangan Pondok pesantren di Indonesia sekarang terlihat
begitu nyata, ada ribuan lembaga
pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau
di Sumatra Barat, dan pondok pesantren
di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di
Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok
pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri,
pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada
unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren.
Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai, masjid, santri, pondok dan kitab Islam
klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem
pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya (Dhofier,1982).
Semua aspek tersebut saling terkait satu sama lainya, pengasuh pondok pesantren
adalah pengajar utama sekaligus pemimpin pondok pondok pesantren. Santri
merupakan murid di pondok pesantren yang memiliki hubungan dekat dengan kyai
yakni hubungan antara murid dan guru, hubungan ini berlangsung terus menerus
tidak hanya terbatas ketika santri belajar di pondok pesantren namun juga berlanjut
sampai ketika santri kembali ke masyarakat. Masjid merupakan pusat kegiatan dilangsungkan, di
tempat inilah orang-orang pondok pesantren sembahyang dan belajar ilmu-ilmu
agama. Sementara komplek pondok pesantren berfungsi sebagai tempat tinggal
santri. Sedangkan kitab kuning yang berisi ilmu ilmu keagamaan berperan sebagai
referensi dan bahan ajar yang digunakan selama proses belajar mengajar.
Pondok pesantren pada umumnya didirikan
dengan tujuan untuk mendidik santri yang bertafaqquh
fiddȋn dan mampu menyiarkan serta membimbing masyarakat di sekitarnya.
Dengan tujuan tersebut, pondok pesantren memposisikan diri sebagai lembaga
pendidikan dan lembaga dakwah. Tentu saja posisi tersebut tanpa meniadakan
peran lainnya yang dimiliki oleh pondok pesantren.
Seiring berjalannya waktu, tujuan
didirikannya pondok pesantren tersebut di atas telah terbukti memberikan
pengaruh dan hasil yang cukup membanggakan. Hingga sekarang pondok pesantren
masih menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk mendidik putra-putrinya
dengan harapan nantinya putra-putri yang menuntut ilmu di pondok pesantren
dapat mengerti ajaran-ajaran agama Islam, memiliki akhlak yang baik serta
menguasai ilmu pengetahuan.
Lembaga pesantren juga telah diakui
keandalannya di dalam mencetak kader-kader ulama dan telah menjadi basis dan
benteng bagi pemikiran Islam. Pesantren telah melahirkan pemikir-pemikir yang
mumpuni, tidak hanya berlevel Indonesia akan tetapi pemikir bertaraf
Internasional pada masanya. Hal tersebut dibuktikan dengan diakuinya
penghargaan atas kredibilitas para ulama pesantren hingga karya-karya besarnya
yang dijadikan sebagai bahan rujukan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan,
pada pesantren itu sendiri maupun lembaga pendidikan non formal lainnya.
Menurut Martin Van Bruinessen, tidak
sedikit ulama Indonesia yang telah menambah khazanah Islam tradisional dengan
mengarang kitab sendiri. Ada sekitar 500 kitab karangan ulama Indonesia ( dan
Malaysia ) yang tersedia di pasaran. Hampir 100 kitab ditulis dengan bahasa Arab.
Lebih dari 200 kitab dalam bahasa Melayu dan 150 buah kitab dalam bahasa Jawa,
sisanya dalam bahasa Sunda, Madura dan Aceh. (Bruinessen, 1995 : 19-20)
Temuan Martin Van Bruinessen tersebut
nampaknya sudah tidak lagi mampu menjadi kebanggaan bangsa ini, karena pada
paruh abad ke-20 sampai sekarang sudah jarang ditemukan kitab-kitab karya ulama
Indonesia. Hal ini dapat dilihat secara umum,
kitab-kitab yang dipelajari di pondok pesantren (salaf khususnya) adalah kitab
komentar (syarah) atau komentar atas
komentar (hasyiyah) atas teks yang
lebih tua (matn, matan) (Bruinessen,
1995:141). Kitab-kitab tersebut sebagian besar merupakan karya ulama Timur
Tengah pada kurun abad ke 16-18, jarang ditemukan kyai atau ulama yang
menghasilkan karya (kitab kuning) dan diajarkan di pondok-pondok pesantren.
Masih dalam temuan Bruinessen, kitab-kitab Tauhid pada umumnya yang diajarkan
di pondok pesantren berkisar pada kitab-kitab berikut : (1) Untuk tingkat Aliyah; kitab Ummul Barahin, Dasuqi, (2) Untuk tingkat Tsanawiyah; kitab Sanusi, Tijanul Durari, Nuruzh Zhulam,
Jauharatul Tauhid, Tuhfatul Murid, Fathul Majid, Jawahirul Kalamiyah, Husnul
Hamidiyah, Aqidatul Islamiyah. Selain itu terdapat pula kitab Aqidatul Awwam yang diajarkan untuk
Tsanawiyah/Ibtidaiyah, dan Kifayatul Awam
diajarkan untuk tingkat Tsanawiyah/Aliyah (Bruinessen, 1995).
Kitab-kitab tersebut di
atas merupakan beberapa di antara bahan ajar yang digunakan di pondok
pesantren. Pembelajaran kitab-kitab klasik atau kitab kuning di pondok
pesantren merupakan salah satu upaya untuk melestarikan pemikiran ulama klasik
dan mendidik calon ulama dengan paham Islam tradisional (Dhofier, 1995).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Amir Faishol (2001) sebagaimana
dikutip oleh Zubaidi (2007) menuturkan bahwa di pesantren Nurul Islam, yang
menjadi sasaran penelitiannya, menganggap bahwa keilmuan klasik adalah ilmu
keislaman utama yang tidak dapat disejajarkan dengan ilmu hasil karya ulama
sesudahnya. Kandungan dari kitab klasik tersebut mempunyai kebenaran mutlak dan
telah membentuk pola amalan-ibadah dan akhlak pada komunitas di pesantren
tersebut (Zubaidi, 2007: 27).
Kitab klasik di pondok
pesantren salaf mempunyai peran penting bagi kalangan akademik di lingkungan
pendidikan tersebut. Demikian juga yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al
Muayyad Mangkuyudan Solo, menganggap bahwa keilmuan klasik adalah ilmu
keislaman utama. Hal ini dibuktikan dengan pengkajian kitab-kitab kuning yang
menjadi bahan ajarnya, yaitu kitab-kitab klasik karya ulama salaf.
Adapun kitab-kitab
tauhid adalah salah satu materi yang sangat penting karena bahasan mengenai
tauhid yang berkaitan dengan keimanan merupakan bekal bagi santri bagi
pemahamannya mengenai Tuhan dan keimanan. Pondok pesantren Al Muayyad termasuk pondok
salaf yang mengajarkan berbagai macam kitab tauhid, sesuai dengan jenjang
pendidikan para santri. Meskipun ada banyak jenis kitab tauhid, kitab-kitab
yang diajarkan tetap konsisten pada kitab kuning (klasik) karya ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan satu
maksud, pondok pesantren Al Muayyad melalui pengajaran kitab-kitab tauhid dapat
dijadikan sebagai benteng masyarakat, khususnya para santri, dari berbagai
paham dari luar yang menyimpang dari akidah Islamiah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian
ini terfokus pada aspek : apa isi atau ajaran kitab tauhid Husunul Hamidiyah dan bagaimana fungsi kitab tersebut bagi para santri Pondok Pesantren Al Muayyad.
II.
Metode
Penelitian
1.
Sasaran
Penelitian
Sasaran penelitian ini
adalah kitab Husunul Hamidiyah yang
diajarkan di Pondok Pesantren Al Muayyad
Mangkuyudan Solo.
2.
Sumber
Data
Sumber data primer
adalah kitab Tauhid Husunul Hamidiyah
yang diajarkan di pondok pesantren Al Muayyad – Solo, wawancara dengan kyai dan
santri yang berupa reinterpretasi dan respon mereka terhadap isi kitab tauhid
tersebut. Data sekunder adalah data-data terkait dengan data fokus penelitian,
berupa data-data tertulis seperti dokumen yang ada di pondok pesantren dan
hasil penelitian terdahulu.
3.
Analisis
Data
Dalam penelitian ini, data
akan dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis),
karena fokus penelitian ini berupa kajian konseptual yang berupa butir butir
pemikiran yang tertuang dalam teks tertulis. Content analysis merupakan
salah satu jenis analisis kualitatif meliputi kategorisasi-kategorisasi yang
dilakukan oleh peneliti. Analisis isi yang dapat membantu menginterpretasikan
istilah-istilah dalam tauhid adalah menggunakan pendekatan Ilmu Kalam (Teologi).
Teologi adalah ilmu yang membahas “wujud Allah”, yakni meliputi sifat yang wajib tetap
pada-Nya, sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan sifat yang wajib
dilenyapkan dari pada-Nya.
III.
Temuan
dan Pembahasan
A.
Pondok Pesantren Al
Muayyad Solo
Al-Muayyad
merupakan pondok pesantren Al-Quran, yang dirintis tahun 1930 olen K.H. Abdul
Mannan bersama K.H. Ahmad Shofawi dan Prof. K.H. Moh Adnan dan ditata sistemnya
ke arah sistem madrasah tahun 1937 oleh KH. Ahmad Umar Abdul Mannan.
Pembelajaran Al-Quran itu kemudian sistem madrasah dilengkapi dengan Madrasah
Diniyyah (1939), MTs dan SMP (1970), MA (1974), dan SMA (1992) dalam lingkungan
pondok pesantren.
Pesantren
ini berlokasi di kota Surakarta yang merupakan sentra perdagangan batik dan
produk tekstil lainnya, pendidikan, budaya Jawa, tempat kelahiran tokoh-tokoh
dan organisasi-organisasi pergerakan nasional. Secara geografis merupakan
kawasan perlintasan antarkota penting di Jawa. Sejarah modernnya dimulai sejak
perpindahan Kraton Kartasura ke desa Sala yang kemudian menjadi Surakarta pada
tahun 1745.
Sebagai
pesantren Al-Quran tertua di Surakarta, Al-Muayyad terpanggil untuk menguatkan
dan mengembangkan diri, berangkat dalam kearifan masa silam untuk menjangkau
kejayaan masa depan dengan konsep tarbiyah yang utuh. Mempertimbangkan
pengalaman Surakarta yang direkam Al-Muayyad sejak masa rintisannya, maka Al Muayyad
memandang bahwa pendidikan bagi generasi muda muslim haruslah memenuhi 4
(empat) kriteria kecakapan:
1. Kecakapan Al-Quran sebagai dasar utama
ajaran agama Islam;
2. Kecakapan keilmuan baik ilmu-ilmu yang
langsung untuk mendalami ajaran agama dari kitab-kitab kuning beserta ilmu
penunjangnya maupun untuk mencerdaskan kehidupan (sains).
3. Kecakapan humaniora yang memampukan santri
untuk hidup secara arif melalui bahasa, sastra, tarikh, dan kebudayaan.
4. Kecakapan transformatif yang menguatkan
bakat para santri untuk kreatif mengalihgunakan ilmu ke dalam praktek kehidupan
sehari-hari yang bermartabat.
Secara
singkat tahap-tahap perkembangan Pondok Pesantren Al-Muayyad adalah sebagai
berikut:
1930-1937
: Pengajian Tasawuf
1937-1939
: Pengajian Al-Quran
1939
: Berdiri Madrasah Diniyyah
1970
: Berdiri MTs dan SMP
1974
: Berdiri Madrasah Aliyah
1992
: Berdiri Sekolah Menengah Atas
1995
: Berdiri Madrasah Diniyyah Ulya
Dengan
demikian memusatnya sistem pendidikan nasional pada Departemen Pendidikan &
Kebudayaan dan untuk mengembangkan rintisan serta ikhtiar mewujudkan
idaman K.H. ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kurikulum, maka diselenggarakan
Lokakarya Kurikulum Al-Muayyad pada bulan September 191 yang menjadi Madrasah
Diniyyah Al-Muayyad sebagai tulang punggung tafaqquh fid-din (pendalaman ilmu-ilmu agama).
Madrasah
Diniyyah ini bersama-sama pengajian Al-Quran, sekolah dan madrasah
berkurilkulum nasional, serta kegiatan kepesantrenan lainnya, menempatkan Al-Muayyad
dalam keaktifan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, khususnya di
bidang pendidikan, sejalan dengan panggilan untuk menyerasikan pola pesantren
dengan sistem Pendidikan Nasional.
Untuk
menjawab tantangan pembangunan nasional mendatang, pondok pesantren ini
dituntut terus mengembangkan diri. Lahan di kompleks Mangkuyudan yang hanya
seluas 3.650 m2 sudah tidak memadai lagi untuk mewadahi perkembangan jumlah
santri dan satuan pendidikan yang dirintis, sehingga dukungan besar dari semua
pihak sangat diperlukan.
B. Kitab
Tauhid Husunul Hamidiyah
Salah satu kitab tauhid yang diajarkan di
Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyunn solo adalah kitab Husunul Hamidiyah karya Sayid Husein Afandi, diajarkan pada
Madrasah Diniyah Wustha di kelas II. Kitab Husunul
Hamidiyah diajarkan dengan maksud dapat dijadikan pedoman para santri dalam
menjaga keimanan (akidah) atau keyakinannya kepada Allah SWT.
Dalam kitab Husunul
Hamidiyah, aqidah yang harus dipegang oleh seorang muslim meliputi hal-hal
sebagai berikut :
1.
Definisi Ilmu Tauhid, keutamaan, dan kewajiban mempelajarinya. Ilmu
tauhid adalah ilmu yang membahas tentang ketetapan kepercayaan/ aqidah agama
dengan dalil yang yakin. Buahnya ialah mengenal sifat-sifat Allah ta’ala dan
para utusanNya dengan bukti-bukti yang pasti, dan memperoleh kebahagian yang
abadi.
2.
Hakikat Iman dan Islam. Iman adalah membenarkan
bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah dan membenarkan apa saja yang
dibawa oleh yang diketahui datangnya dari nabi secara dharuri. Yaitu percaya
akan kebenaran Muhammad saw dengan kepercayaan yang kokoh terhadap apa saja
yang di bawa oleh Muhammad dari Allah ta’ala dan diketahui datangnya dari Nabi
dengan yakin dan kepercayaan tersebut disertai ketetapan hati. Misalnya iman
kepada Allah ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari
akhir, qadla dan qadar, difardlukannya sholat, dan seluruh ibadah-ibadah
lainnya membunuh dengan aniaya terhadap jiwa yang terjaga, haramnya zina dan
sebagainya.
Islam adalah tunduk dan patuh
zhahir-batin terhadap apa saja yang satu dan lainnya tidak dapat terlepas. Maka
setiap mu’min adalah muslim dan setiap muslim adalah mu’min. Karena setiap
orang yang membenarkan kebenaran Rasul, wajiblah ia tunduk terhadap hal-hal
yang di bawa oleh beliau; dan setiap orang yang tunduk itupun wajib untuk
membenarkan beliau.
3.
Hal-hal yang menghapus dan membatalkan Keimanan. Islam
melalui Al Qur’an yang mulia, melarang dan mengingatkan hal-hal yang dapat
membatalkan keimanan: orang yang melakukannya dihukumi kafir, walaupun dalam
hatinya membenarkan dan patuh terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasul saw,
hal-hal itu misalnya mengucapkan kata-kata kafir dan sebagainya.
4.
Tiga hukum akli yaitu: Wajib, Mustahil dan Jaiz. Pengertian
wajib menurut akal ialah: sesuatu yang tidak dapat diterima ketidak adaannya.
Misalnya: Satu adalah separoh dari dua, dan adanya Pencipta alam. Perihal satu
adalah separoh dari dua dan adanya Pencipta alam, adalah wajib akli. Keduanya
tidak dapat diterima akan ketidak adaanya. Tetapi yang pertama itu wajib akli badhi’ (jelas sekali) tidak membutuhkan
kepada pembuktian. Yang kedua wajib akli nazhari
(pemikiran) yang membutuhkan kepada pembuktian.
Selain keempat hal tersebut, dalam kitab
Husunul Hamidiyah juga dijelaskan
tentang rukun iman, tetapi penjabaran rukun iman tersebut berbeda dengan urutan
atau susunan rukun iman pada umumnya. Rukun iman yang dipahami oleh mayoritas
umat Islam adalah : (1) iman Kepada Allah swt, (2) iman kepada Malaikat, (3)
iman kepada Kitab-kitab Allah, (4) iman kepada Nabi dan rasul, (5) iman kepada
hari Kiamat, dan (6) iman kepada Qadla dan Qadar. Sedangkan rukun iman yang
dijabarkan dalam kitab Husunul hamidiyah adalah : (1) iman iman Kepada Allah swt,
(2) iman kepada Nabi dan rasul, (3) iman kepada Malaikat, (4) iman kepada
Kitab-kitab Allah, (5) iman kepada hari Kiamat, dan (6) iman kepada Qadla dan
Qadar.
Perbedaan urutan rukun iman tersebut
terdapat pada penempatan iman kepada Malaikat setelah iman kepada kitab dan
Rasul. Berbeda dengan urutan rukun iman yang secara umum, menempatkan iman
kepada Malaikat setelah iman kepada Allah swt. Adapun lebih jelasnya urutan dan
pengertian rukun iman dalam kitab tauhid Husunul
Hamidiyah adalah sebagai berikut :
1.
Iman kepada Allah Swt
Iman kepada Allah ta’ala ialah agar
hamba itu mengetahui dan mempercayai dengan kepercayaan yang kokoh sifat-sifat
Wajib, mustahil dan sifat-sifat jaiz-Nya. Seorang hamba seharusnya percaya
secara global (ijmal) dengan kepercayaan yang kokoh bahwa wajib bagi Allah
ta’ala seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang sesuai dengan sifat ketuhanan dan
mustahil atas-Nya segala sifat kekurangan. Jaiz bagi Allah ta’ala membuat
setiap yang mungkin atau meninggalkan.
2.
Iman Kepada Para Rasul
Rasul (utusan Allah) adalah seorang
laki-laki dan merdeka yang diberi wahyu oleh Allah dengan syari’at, dia disuruh
untuk menyampaikan wahyu itu kepada mahluk, jika tidak diperintah untuk menyampaikannya
maka disebut nabi saja. Iman kepada para Rasul adalah kita percaya bahwa Allah
ta’ala mengutus mereka dengan membawa khabar gembira dan peringatan. Mereka dikuatkan
dengan mu’jizat yang luar biasa. Dan agar kita mempercayai sesuatu yang wajib,
mustahil dan jaiz atas mereka.
3. Iman Kepada Malaikat
Menurut syara’, wajib bagi setiap muslim
beriman kepada malaikat, yaitu percaya dengan kepercayaan yang kokoh akan
adanya mereka, dan mereka itu adalah hamba Allah yang mu’min kepada-Nya serta
mereka itu dimuliakan.
Mereka tidak mendahului-Nya dengan
perkataan sedang mereka melaksanakan perintahNya mereka takut kepada Tuhan dan
mereka mengerjakan apa yan diperintahkan. Hakikat mereka adalah jisim-jisim
halus, yang diberi kemampuan oleh Allah untuk dapat berubah dalam bentuk yang
berbeda-beda, tempat tingggal mereka di langit.
4.
Iman Kepada Kitab-kitab
Allah Swt
Setiap orang Islam wajib beriman kepada
kitab-kitab yang diturunkan dari Allah ta’ala kepada para Rasul a.s. Sesungguhnya
Allah itu menurunkan kitab-kitab pada para utusan-Nya, dan di dalamnya Allah
menjelaskan perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya. Kitab-kitab yang
diturunkan dari Allah yang paling utama adalah Al-Qur’an, kemudian Taurat, Injil,
Zabur dan seluruh Kalamullah.
5.
Iman Kepada Qadla dan
Qadar
Termasuk hal yang wajib menurut syara’
bagi setiap mukallaf ialah iman kepada qhada’ dan qadhar , sebagaimana kita
diperintahkan untuk iman kepada keduanya maka kita telah dilarang untuk
mendalami pembahasan keduanya itu.
Qadar adalah ketentuan Allah ta’ala
sejak azali terhadap semua makhluk yang mana Allah mewujudkannya dalam
batas-batas itu, yaitu baik, buruk, manfaat serta lain sebagainya. Maksudnya
yaitu Allah mengetahui dengan azali akan sifat-sifat makhluk. Hal ini kembali
kepada sifat ilmu. Qadha’ ialah Allah mewujudkan segala sesuatu sesuai dengan
ilmu dan ketentuan-Nya kepada sesuatu itu di zaman azali. Maka jelaslah bahwa
qadha’ dan qadar itu kembali kepada hubungan (ta’alluq) sifat ilmu Tuhan yang
azali kepada sesuatu dan berbuhungan (ta’alluq) dengan sifat kekuasaan Tuhan
kepadanya.
6.
Iman kepada hari Akhir (Kiamat)
Setiap orang Islam wajib beriman kepada
hari akhir (hari kemudian) yaitu hari Kiamat. Mulainya sejak waktu dikumpulkan
dan berakhir dengan masuknya penghuni surga ke surga dan penghuni neraka ke
neraka. Yang wajib adalah iman kepada-Nya dan kandungan-Nya sebagaimana wajib
iman kepada tanda-tanda yang mendahuluinya yang telah tetap dengan nash-nash
syara’, pencabutan nyawa (ruh), perihal kubur dan lain-lain sebagainya.
C. Kitab
Tauhid Sebagai Sub-Kultur Pondok Pesantren Al Muayyad
Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang ditulis oleh Sayid
Husain Afandi, terlihat jelas pemikiran seorang pengikut paham Ahlu Sunnah
wal Jamaah, yaitu golongan yang berpegang teguh pada sunnah dan
hadits, dan praktik peribadatannya sama seperti mayoritas atau umumnya umat
Islam. Paham Ahlussunnah wal Jamaah ini dalam konsep atau mazab
tauhidnya mengikuti Abdul Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari (260-324 H/ 873-935
M) dan Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al Maturidi (w. 332 H) (Ahmad Hanafi,
1974: 58).
Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan melalui
pengkajian kitab-kitab kuning karya para ulama salaf yang berpaham Ahlussunnah
wal Jamaah, mempersiapkan generasi Islam yang beriman, bertaqwa, dan berakhlakul
karimah dengan misi meneruskan perjuangan ‘alim ‘ulama dan mendidik para
santri agar menjadi ‘alim, ‘amil, sholih, dan mukhlis. Landasan aqidah yang
diatualisasikan dalam segala bentuk dan macam aktifitas akan menjadikan
seseorang berbuat ikhlas, mengisi hidupnya dengan amal saleh, karena amal saleh
adalah pancaran dari aqidah.
Kitab Kuning merupakan sub-kultur dari pondok
pesantren, demikian juga dengan kitab tauhid Husunul Hamidiyah, sebagai salah satu materi ajar kitab kuning di
Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo. Kitab
Tauhid Husunul Hamidiyah yang diajarkan di Pondok Pesantren Al Muayyad
Mangkuyudan Solo, merupakan kitab tauhid lanjutan, untuk Madrasah Diniyah kelas
Wustho. Kitab tersebut diajarkan dengan meksud untuk memberi pondasi dan
benteng bagi para santri dalam memahami akidah ahlussunnah wal Jamaah.
Dengan bekal pengetahuan dan keyakinan dalam kitab tauhid tersebut, para santri
diharapkan mempunyai keyakinan dan keimanan yang kokoh. Iman yang kuat
tertanam dalam diri setiap santri akan melahirkan sikap yang selalu merasa
kehadiran Allah Swt dalam dirinya, sehingga perilaku-perilaku yang tidak
dikehendaki oleh Allah Swt akan dihindarinya. Dengan aqidah yang kuat pula
mendorong para santri untuk berbuat baik terhadap sesama dan terhadap mahkluk
lainnya. Dorongan keyakinan tersebut akan membuat seseorang berbuat ikhlas,
meniadakan segala pamrih duniawi, dengan keyakinan semata-mata bahwa dia
berbuat baik karena diperintah oleh Allah Swt. Sehingga apapun yang dia peroleh
dari hasil perbuatan tersebut, akan diterimanya dengan ikhlas tanpa penyesalan.
Pondok
Pesantren Al Muayyad Solo merupakan sub-kultur masyarakat Indonesia, khususnya
Jawa. Ada tiga unsur pokok yang menunjukkan pondok pesantren sebagai
sub-kultur. Pertama, pola kepemimpinannya yang berdiri sendiri dan
berada di luar kepemimpinan pemerintahan. Kedua, literatur universal
yang telah dipelihara selama berabad-abad. Dan ketiga, sistem nilainya
sendiri yang terpisah dari sistem nilai yang dianut oleh masyarakat di luar
pesantren. Berdasarkan ketiga hal tersebut, pondok pesantren Al Muayyad Solo mengembangkan
kurikulumnya sendiri dan menetapkan institusi-institusi pendidikannya sendiri
dalam rangka merespon tantangan dari luar.
Pola
kepemimpinan pondok pesantren yang berada di bawah kendali kyai, menjadi faktor
utama. Aspek kepemimpinan ini penting sebab ia menunjukkan bagaimana seorang
kyai memelihara hubungan sejawat, baik dengan masyarakat maupun dengan kyai
lain. Dalam aspek ini, suatu fakta yang sangat penting muncul, yaitu
pemeliharaan tradisi Islam, bahwa ulama-lah pemilik ilmu agama yang istimewa.
Peranan
ini tidak bisa dilimpahkan kepada kelompok-kelompok lain dalam masyarakat
Islam, sebab ada keyakinan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Atau dengan
bahasa lain, ulama adalah satu-satunya penafsir sejati dua sumber Islam, yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah. Peran sebagai kekuatan pengabsah bagi ajaran agama ini
adalah dasar bagi penularan pengetahuan yang dimiliki oleh kyai dari generasi
ke generasi di dalam pesantren.
Unsur kedua, yaitu “literatur universal”, kitab-kitab
Kuning (klasik), yang dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Kitab Kuning atau literatur klasik (jika dilihat dari perspektif modern)
menciptakan kesinambungan ’tradisi yang benar’ dalam memelihara ilmu-ilmu agama
sebagaimana yang diwariskan kepada masyarakat Islam oleh imam-imam besar di
masa lalu. Demikian juga dengan kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang ditulis oleh Sayid Husain Afandi pada
sekitar abad ke-18, merupakan pelestari pemikiran Al Maturidi (dalam kitabnya
at Tauhid). Dalam ranah Ilmu Kalam, al-Maturidi adalah nama yang sudah tidak
asing lagi. Ia adalah pendiri aliran Maturidiyyah yang diketegorikan sebagai
representasi teologi ahli sunnah, di samping Asy’ariyyah yang digawangi Abu
al-Hasan al-Asy’ari. Al-Maturidi dikenal sebagai seorang teolog, dan faqih dari
Madzhab Hanafi, bahkan seorang ahli tafsir.
Nama
lengkap al-Maturidi adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud
al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah desa (qaryah) yang masuk
ke dalam wilayah Samarqand. Ia acap kali dijuluki Imam al-Mutakallimin (Imam
Para Teolog) dan masih banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan kelas
intelektual dan jihadnya dalam membela sunnah, akidah, dan menghidupkan
syari’at Islam.
Tak ada penjelasan pasti dari para sejarawan tentang tahun kelahiran al-Maturidi. Tetapi menurut Dr. Ayyub Ali, al-Maturidi lahir sekitar tahun 238 H / 852 M. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa salah satu murid al-Maturidi, yaitu Muhammad bin Muqatil ar-Razi wafat pada tahun pada tahun 248 H / 862 M.
Tak ada penjelasan pasti dari para sejarawan tentang tahun kelahiran al-Maturidi. Tetapi menurut Dr. Ayyub Ali, al-Maturidi lahir sekitar tahun 238 H / 852 M. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa salah satu murid al-Maturidi, yaitu Muhammad bin Muqatil ar-Razi wafat pada tahun pada tahun 248 H / 862 M.
Melalui
jalan inilah, untuk mempertahankan dan melanjutkan pemikiran ulama ahlussunnah pada masa lalu untuk generasi
masa depan. Melalui kitab tauhid ini pula umat Islam, khususnya para santri
Pondok Pesantren Al Muayyad, bisa memelihara kemurnian ajaran-ajaran agama.
Dengan harapan lebih besar, pondok pesantren dapat dijadikan kiblat masyarakat
Islam dalam mencari ilmu, dan pada gilirannya, umat Islam adalah kiblat bagi
masyarakat luas.
Unsur ketiga, adalah sistem nilai kepesantrenan yang
unik. Berdasarkan kepatuhan harfiah terhadap ajaran agama dalam menjalani
kehidupan nyata, sistem nilai itu tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur utama
lainnya yaitu kepemimpinan kyai dan literatur universal. Pembakuan
ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan sehari-hari bagi kyai dan santri,
melegitimasikan dua hal, yaitu kitab-kitab sebagai sumber tata nilai dan
kepemimpinan kyai sebagai model dari implementasinya dalam kehidupan nyata.
Ketiga
unsur utama pesantren itu tampak sedemikian kait mengait dan sulit dipisahkan.
Dan itulah yang kemudian memposisikan pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan yang sangat bisa diandalkan. Maka melalui pengkajian kitab-kitab
tauhid, khususnya kitab Tauhid Husunul
Hamidiyah, Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo mendidik para
santri menjadi generasi Islam yang berkualitas dalam bingkai Ahlussunnah wal Jama’ah, memiliki
kompetensi di bidang Al Qur’an, hidup kreatif dan bertanggungjawab, dalam
mengemban amanat sebagai penerus perjuangan para ulama.
IV.
Penutup
Pondok Pesantren Al Muayyd Solo mengajarkan
berbagai macam jenis kitab kuning, salah satu kitab Tauhid yang diajarkan
adalah Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah.
Kitab Husunul
Hamidiyah di Pondok Pesantren Al Muayyad
Solo diajarkan dalam lembaga pendidikannya, yaitu di Madrasah Diniyah Wustha.
Kitab tersebut disajikan dalam bahasa dan aksara Arab. Kitab tersebut diajarkan
secara klasikal, tidak diajarkan dalam kurikulum pondok yang menggunakan metode
Bandongan dan Sorogan.
Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang ditulis oleh Sayid
Husain Afandi, terlihat jelas pemikiran seorang pengikut paham Ahlu Sunnah
wal Jamaah, yaitu golongan yang berpegang teguh pada sunnah dan
hadits, dan praktik peribadatannya sama seperti mayoritas atau umumnya umat
Islam. Paham Ahlussunnah wal Jamaah ini dalam konsep atau mazab
tauhidnya mengikuti Abdul Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari (260-324 H/ 873-935
M) dan Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al Maturidi (w. 332 H) (Ahmad Hanafi,
1974: 58).
Pandangan
teologi yang dikembangkan oleh Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan-Solo,
melalui kajian kitab Tauhidnya, khususnya kitab Husunul Hamidiyah, adalah paham Ahlussunnah
wal Jama’ah. Metodologi yang digunakan keduanya adalah moderatisme. Dengan
kata lain, pendekatan mereka adalah pendekatan yang berdiri di antara kelompok
tekstualis -seperti kalangan Hasywiyyah, Musyabbihah, dan Mujassimah- dan
kelompok rasionalis seperti Mu’tazilah.
Kitab Kuning merupakan sub-kultur dari pondok
pesantren, demikian juga dengan kitab tauhid Husunul Hamidiyah, sebagai salah satu materi ajar kitab kuning di
Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo. Kitab
Tauhid Husunul Hamidiyah yang diajarkan di Pondok Pesantren Al Muayyad
Mangkuyudan Solo, merupakan kitab tauhid lanjutan, untuk Madrasah Diniyah kelas
Wustho. Kitab tersebut diajarkan dengan maksud untuk memberi pondasi dan
benteng bagi para santri dalam memahami akidah ahlussunnah wal Jamaah.
Dengan bekal pengetahuan dan keyakinan dalam kitab tauhid tersebut, para santri
diharapkan mempunyai keyakinan dan keimanan yang kokoh.
Kitab
kuning merupakan sub-kultur pondok pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo. Maka
melalui pengkajian kitab-kitab tauhid, khususnya kitab Tauhid Husunul Hamidiyah, Pondok Pesantren Al
Muayyad Mangkuyudan Solo mendidik para santri menjadi generasi Islam yang
berkualitas dalam bingkai Ahlussunnah wal
Jama’ah, memiliki kompetensi di bidang Al Qur’an, hidup kreatif dan bertanggungjawab,
dalam mengemban amanat sebagai penerus perjuangan para ulama.
Apa sebab2 di karangnya kitab husunul hamidiyah ??
BalasHapus