Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id
Abstrak
Kemajuan yang telah merambah
dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, budaya dan
politik, mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam kenyataannya tidak semua
individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak
problem. Tidak semua orang mampu untuk beradaptasi, akibatnya adalah
individu-individu yang menyimpan berbagai problem psikis dan fisik, dengan
demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.
Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan
masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf
sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem
manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Selain
itu berkembang pula kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang
menyelesaikan masalah. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya serta
segala penyakit pasti ada obatnya. Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit
psikologis atas segala problem manusia, semakin terbentang lebar di era modern
ini.
Kata Kunci : Tasawuf, Terapi,
Konseling Islam
A. Pendahuluan
Tulisan ini berangkat
dari sebuah fenomena sosial masyarakat yang kini hidup di era modern, dengan
perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan
cenderung berorientasi pada materirialistik, skolaristik, dan rasionalistik
dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya
memberikan kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan (the age of
anxienty). Kemajuan ilmu dan teknologi hasil karya cipta manusia yang
memberikan segala fasilitas kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai
problema psikologis bagi manusia itu sendiri.
Masyarakat
modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara
pemahaman keagamaan yang didasarkan pada wahyu sering di tinggalkan dan hidup
dalam keadaan sekuler. Mereka cenderung mengejar kehidupan materi dan bergaya
hidup hedonis dari pada memikirkan agama yang dianggap tidak memberikan peran
apapun. Masyarakat demikian telah kehilangan visi ke-Ilahian yang tumpul penglihatannya
terhadap realitas hidup dan kehidupan. Kemajuan-kemajuan yang terjadi telah
merambah dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi budaya dan
politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam
kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi
justru masyarakat atau
manusia yang menyimpan banyak problem.
Bagi masyarakat kita,
kehidupan semacam ini sangat terasa di daerah-daerah perkotaan yang saling
bersaing dalam segala bidang. Sehingga kondisi tersebut memaksa tiap individu
untuk beradaptasi dengan cepat. Padahal tidak semua orang mampu untuk itu.
Akibatnya yang muncul adalah individu-individu yang menyimpan berbagai problem psikis
dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.
Berbicara masalah
solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan
spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi
solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada
Allah yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang pula kegiatan konseling yang
memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan masalah. Karena semua masalah
pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit pasti ada obatnya.
Peluang tasawuf dalam
menangani penyakit-penyakit psikologis atas segala problem manusia, semakin
terbentang lebar di era modern ini. Maka dari itu, penulis mencoba untuk melakukan analisis terhadap tasawuf sebagai
terapi atas problem manusia dalam perspektif konseling Islam.
B. Memahami Dunia Tasawuf
Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan atau cara yang
ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat
nafsu, baik yang buruk maupun yang terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam
Islam diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan dengan aspek-aspek moral serta
tingkah laku yang merupakan substansi Islam. Dimana secara filsafat sufisme itu
lahir dari salah satu komponen dasar agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Kalau iman melahirkan ilmu teologi (kalam), Islam melahirkan ilmu syari’at,
maka ihsan melahirkan ilmu akhlaq atau tasawuf.(Amin Syukur, 2002:112)
Meskipun dalam ilmu pengetahuan wacana tasawuf tidak
diakui karena sifatnya yang Adi Kodrati, namun eksistensinya di
tengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri
dari suatu kehidupan masyarakat; sebagai sebuah
pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan atau
terapi. (Moh. Soleh, 2005: 35)
Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah
berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan
tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika
kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan
terisolasi dari dunia luar. Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat
diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa
juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour
dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Proses
modernisasi yang makin meluas di abad modern kini telah mengantarkan hidup
manusia menjadi lebih materealistik dan individualistic. Perkembangan
industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat, telah menempatkan manusia
modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup
mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga
kegiatan sehari-hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang menjemukan.
Akibatnya manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama menjadi semakin
tergeser oleh kepentingan materi duniawi (Suyuti, 1996: 3 – 5).
Menurut Amin Syukur, tasawuf bagi manusia sekarang ini,
sebaiknya lebih ditekankan pada tasawuf sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran
mengenai moral yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna
memperoleh kebahagiaan optimal. Tasawuf perilaku baik, memiliki etika dan sopan
santun baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhannya (Syukur,
2003:3).
Menurut Omar Alishah, yang menjadi salah satu ajaran
penting dalam tasawuf adalah pemahaman tentang totalitas kosmis, bumi, langit,
dan seluruh isi dan potensinya baik yang kasar mata maupun tidak, baik rohaniah
maupun jasmaniah, pada dasarnya adalah bagian dari sebuah sistem kosmis tunggal
yang saling mengait, berpengaruh dan berhubungan. Sehingga manusia mempunyai
keyakinan bahwa, penyakit atau gangguan apapun yang menjangkiti tubuh kita harus
dilihat sebagai murni gejala badaniah ataupun kejiwaan manusiawi, sehingga
seberapapun tingkatan keparahannya akan tetap dapat ditangani secara medis (medical care) (Alishah, 2002:11).
Pendapat Alishah tersebut senada dengan apa yang
dijelaskan oleh Allah SWt dalam al-Qur'an, bahwa setiap kali terjalin
komunikasi dengannya seseorang akan memperoleh energi spiritual yang
menciptakan getaran-getaran psikologi pada aspek jiwa raga, ibarat curah hujan
membasahi bumi yang kemudian menciptakan getaran-getaran duniawi dan
menyebabkan tanaman tumbuh subur. Sesuai dengan firman Allah yang tertera dalam
QS. Al-Hajj: 5
... فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: 5)
Artinya : “………ketika kami turunkan hujan di atasnya ia pun bergerak dan subur mengembang menumbuhkan
berbagai tanaman indah (berpasang-pasangan) (QS; Al-Haj: 5).
C. Konseling
Religius
Krisis jiwa (mental) yang menimpa manusia, biasanya sebagai
akibat dari terhalangnya seseorang dari apa yang di inginkan oleh salah satu
motifnya yang sangat kuat, atau lemahnya krisis mental dipengaruhi oleh kondisi
sosial dan moral dirinya sendiri. Seseorang akan menjadi sasaran kegalauan
psikologis dan fisik, jika ia tidak mampu mengatasi krisis psikologis dengan
cara yang cepat dan tepat. Baik secara hakiki ataupun ilusi. Sesungguhnya agama
merupakan terapi bagi penyakit jiwa atau mental. Sebab ia bisa mengubah,
memperbarui, dan memperbaiki jiwa. Agama juga memberi kekuatan penuh kepada
manusia ketika ia berhadapan dengan kebimbangan keputusasaan dan agama memberi
sifat kesabaran ketika manusia dilanda frustasi dan memberi ketenteraman ketika
manusia ketakutan dan bahaya. Hanya melalui Aqidah dan keimanan jiwa akan hidup
dan akal akan selamat. Selain itu fisik akan selalu sehat, karena keimanan
merupakan tulang yang mampu membawa, manusia dari keputusasaan kepada semangat
yang kuat dan dari kekacauan kepada ketenteraman. Seseorang yang beriman akan
merasakan bahwa ketenteraman itu memenuhi ruang jiwanya.
Ditengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis,
sekular serta kehidupan yang sangat sulit secara ekonomi maupun psikologis,
tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang memberi daya tahan krisis
kerohanian modern telah mengakibatkan mereka tidak lagi mengenal siapa dirinya
arti dan tujuan dari kehidupan di dunia. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan
hidup ini, pada akhirnya membuahkan penderitaan batin yang berkepanjangan. Maka
kemudian mata air yang sejuk memberikan penyegaran serta menyelamatkan pada
manusia yang terangsang itu, dalam wacana kontemporer disebut sebagai terapi
tasawuf. (Rahman, 2000;4)
Selain tasawuf sebagai jalan untuk mencari pemecahan
masalah, manusia juga berusaha mencari penyelesaian melalui bimbingan
konseling, karena bimbingan merupakan proses pemberian
bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli
kepada individu menggunakan cara yang ada, berdasarkan norma-norma yang
berlaku, sedangkan konseling adalah pemberian bantuan yang dilakukan melalui
wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami
suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.(Erman
Amti, 1999;99)
Dalam perkembangannya, Bimbingan dan Konseling tidak bisa
lepas dari nilai-nilai spiritual, karena hanya mengandalkan psikologi sebagai
ilmu yang mempelajari psikis manusia belum mampu mencapai hasil yang maksimal.
Bimbingan dan Konseling Religius telah disadari sebagai hal penting oleh banyak
pakar konseling baik barat maupun Indonesia. Hal ini didasarkan pada suatu
kenyataan bahwa dalam memasuki kehidupan yang bertujuan akhir memperoleh
kebahagiaan dunia akhirat, individu cenderung untuk menata kehidupan berlandaskan
nilai-nilai spiritual. (Murtadlo, 2002: 28)
Berkaitan dengan Bimbingan Konseling Religius pada
dasarnya semua agama memiliki pola-pola Bimbingan dan Konseling yang
berbeda-beda dalam usaha mengatur pemeluknya tentang bagaimana menghadapi kehidupan
di dunia dan akhirat. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai atau norma-norma yang
bersumber dari Tuhan (kitab suci). Demikian dalam bimbingan konseling Islam
yang merupakan proses pemberian bantuan terhadap individu, agar mampu hidup
selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat (Faqih, 2110: 5).
D. Tasawuf Sebagai Terapi
Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan
cara Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu
dengan cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah
posisi maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis,
justru cara terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena
terapi tasawuf merupakan terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi
terapi di dunia sufi sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama
berabad-abad lamanya, namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik
perhatian luas baik di kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis
umum pada khususnya. Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah cara yang
tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit (gangguan
jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting. (Alishah, 2004;5)
Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan
mengubah pola-pola terapi psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang
penuh dengan spiritual, sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi
dan membatu konsep-konsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan
peluang kekuatan individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik
yang digunakan Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari
tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik
metafor” (Alishah, 2002:151).
Dengan demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut
dengan penyembuhan sufis adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh
para sufi ratusan tahun lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa
kesembuhan hanya datang dari Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi
sebagai terapis hanya bertindak sebagai perantara.(Najar,
2004: 195).
1.
Prinsip-prinsip Dasar Terapi
Prinsip-prinsip
dasar dari pendekatan terapi yang ditawarkan dalam tulisan ini secara umum
diadopsi dari prinsip-prinsip dasar Tarekat Naqsyabandiyah. Hal tersebut
didasarkan pada pemikiran Omar Alishash tentang tasawuf sebagi terapi. Alishah
sendiri dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang penuh spiritualisme
Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu aliran
tarekat terkemuka diantara beberapa aliran tarekat lainnya. Dalam ensiklopedi
Islam Van Hoeve disebutkan, bahwa Tarekat Naqsabadiyah didirikan oleh Muhammad
bin Muhammad Bahauddin al Uwaysi al-Bukhari Naqsyabandi (717H / 1318M 791 H /
1389). Tarekat ini sebetulnya bersumber dari Abu Ya’quf Yusuf al Hamdani (wafat
pada tahun 535 H / 1140 M) adapun mengenai Abu Ya’quf Yusuf al Hamdani, Schimmel
menulis :
Ia adalah imam pada zamannya yang
mengetahui rahasia hati, yang mengerti akan tugasnya. Hubungan rohani hamdani
bisa dirunut sampai kharaqani dan bayazid bistami, kedua wali tersebut tetap
dihormati di dalam tarekat ini. Menurut riwayat, Hamdanilah yang mendorong
Abdul Qadil Gilani berkhotbah di depan umum, dua tarekat utama yang bersumber
dari dirinya, yang satu adalah Yasawiyya di Asia Tengah yang kemudian
mempengaruhi bektashiyya di Anatolia. (Anemarie Schimmel, 2000 : 123).
Ada delapan prinsip dasar yang menjadi
pedoman ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, yakni :
1.
Hush Dardam
(kesadaran dalam bernafas)
2.
Nazar bar Qadam
(memperhatikan tiap langkah diri)
3.
Safar dar Watan
(perjalanan mistik di dalam diri)
4.
Khalwat dar Anjuman
(kesendirian di dalam keramaian)
5.
Yad Kard
(pengingatan kembali)
6.
Baz Gard
(menjaga pemikiran sendiri)
7.
Nigah Dasht
(memperhatikan pemikiran sendiri)
8.
Yad Dasht
(pemusatan perhatian kepada Allah)
Kedelapan prinsip tersebut, menurut Omar Alishah dapat dijadikan rambu-rambu dalam terapi sufis (tasawuf) untuk mengatasi problem psikologis manusia. Prinsip pertama biasa ditafsirkan dengan suatu proses introspeksi dan evaluasi keluar masuknya nafas untuk mengatasi “kelupaan” akan eksistensi Allah dalam keseluruhan lingkup ruang maupun waktu. Tujuan dari pemeliharaan atas pernafasan tersebut adalah agar setiap pengikut tradisi selalu hadir dan ingat kepada Allah SWT dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya. Karena yang bisa memberi penyembuhan datangnya hanya dari Allah manusia hanyalah sebagai perantara saja. (Omar Alishah 2002, 138)
Prinsip kedua adalah memperhatikan langkah dirinya. Apabila seorang sufi berjalan, ia selalu melihat ke tempat kakinya melangkah dan apabila dalam keadaan duduk, ia akan melihat pada kedua tangannya. Seorang sufi tidak boleh memperluas pandangannya karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang dalam mengingat Allah. Dalam tradisi ini seorang terapis harus selalu berusaha mendekatkan diri pada Allah dengan selalu melangkah ke jalan yang benar. (Omar Alishah 2004 : 121)
Prinsip yang ketiga diartikan sebagai proses dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah menuju sifat-sifat ke malaikatan yang bersih dan suci. Oleh karena itu setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus berupaya mengontrol hatinya agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada seseorang. Prinsip ke empat adalah bahwa setiap sufi harus selalu menghadirkan hatinya kepada Allah dalam segala keadaan. Setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus selalu dapat menjaga hatinya. (Omar Alishash 2002 : 145)
Prinsip kelima adalah pengingatan kepada allah. Dalam melakukan proses terapi sebaliknya selalu berusaha mengulangi zikir kepada Allah, sehingga tidak ada peluang sedikit pun dalam hatinya yang ditujukan kepada selain Allah agar prosesnya lancar dan mendapat ridho dari Allah. (Omar Alishah 2004 : 125)
Prinsip keenam mempunyai makna menjaga pemikiran sendiri dengan mengulangi zikir. Setiap orang yang terlibat dalam tradisi ini harus setiap saat setiap waktu dimanapun berada jangan sampai mengosongkan fikiranya karena itu tidak baik. Dan berusahalah dengan mengulang-ngulang zikir kepada Allah.
Prinsip ke tujuh memperhatikan pemikiran sendiri. Dalam tradisi ini kita selalu memelihara hati kita dari kemasukan segala sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya sekalipun hanya sejenak prinsip ke delapan adalah pemusatan perhatian sepenuhnya pada aspek musyahadah (yakni menyaksikan keindahan, kebesaran dan kemuliaan Allah SWT). (Omar Alishah, 2002 : 150).
Prinsip-prinsip dasar dari pendekatan terapi Omar yang ditawarkan dalam asosiasi ini secara umum diadopsi dari prinsip-prinsip dasar Naqsabandiyah hal ini dinyatakan oleh Alishah sendiri :
Terapi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan Naqsabandiyah. Setiap orang dalam tradisi ini tentunya harus sudah, mengetahui, mengkaji dan sadar akan ketentuan-ketentuan itu. (Omar Alishah 2004: 130).
Maka dari itu, ada sebuah ketentuan dari Tarekat Naqsabandi yang sangat kuat peranannya terutama dalam memanifestasikan tradisi ke dalam segenap lingkup kehidupan, khususnya dalam hal ini adalah terapi. Ketentuan ini berbunyi “kenali dirimu”. Mengenal dalam arti mengenal setiap sinyal-sinyal yang ada, baik yang dibutuhkan ataupun tidak. Tradisi ini mengenal apa yang disebut dibutuhkan ataupun tidak. Tradisi ini mengenal apa yang disebut kegunaan energi dari dalam diri sendiri.
Kemudian Agha Omar Alishah An-Naqsabandi ibn Hashemi yaitu syekh besar tarekat Naqsabandiyah mengadakan kongres-kongres dengan berbagai pakar-pakar ilmu di seluruh penjuru dunia membentuk sebuah organisasi dengan nama Asosiasi Terapi Holistik Tradisional. Yaitu sebuah organisasi penyembuhan gangguan kejiwaan maupun fisik yang menggunakan berbagai pendekatan maupun berbagai teknik dengan didasari pada konsep-konsep tradisi Tasawuf yang telah ada berabad-abad yang lalu. Agha memberi nama untuk jenis terapi yang di kembangkan dengan sebutan terapi Granada. Jika psikologi menggunakan lambang Trisula. Maka terapi ini menggunakan simbol Delima. Adapun makna simbolis dari Granada yang terpenting adalah substansi dari apa yang sebenar-benarnya. Gagasan yang terpenting dalam asosiasi ini adalah bagaimana orang-orang agar terfokus pada pencarian elemen-elemen yang menjadi bagian dari proses penyembuhan pasien, apapun tehnik yang digunakan. Terapi beliau berfokus kepada agama (www.tractus books.com)
2.
Tahapan Terapi
Tujuan dari
model terapi Granada ini adalah membantu teknik dan pengetahuan terapi yang
sudah ada tanpa berusaha menggantikan sama sekali teknologi medis modern baik
rupa maupun bentuk. Konsep ini menambah pada teknologi medis modern dimensi
hubungan dan energi yang menghidupkan kekuatan individu untuk menyembuhkan
dirinya (Omar Alishah 2002 : 16)
Tahap-tahap proses terapi yang dilakukan
oleh Omar Alishah yaitu:
a)
Niat
Satu hal yang sangat mempengaruhi hasil
dari proses terapeutik adalah niat. Aspek ini memungkinkan keberhasilan atau
tidaknya seorang terapis dalam menyelesaikan pekerjaannya sehubungan proses
terapeutik tersebut. Sebab niat secara tidak langsung merupakan bagian dari
transmisi positif penyembuhan Agha Menilai;
Niat dari setiap terapis adalah dan
seharusnya, membantu proses penyembuhan pasien. Diantara para terapis dan
pasien tidak mungkin berkompetisi, atau hasilnya bisa kematian pasien itu. Niat
juga penting karena alasan lain : jika niat terapis untuk menyembuhkan seorang
pasien cukup kuat, dia mentransmisikan pengaruh ekstra pada orang yang sakit,
gugup, cemas atau tegang. Terapis tidak hanya sekedar mengatakan kepada pasien,
“ya, saya dapat membantu anda, saya akan berusaha menyembuhkan anda”. Niat
terapis bahwa, dan jika niatnya cukup kuat berfokus pada itu, dia
menstransmisikan faktor itu kepada pasien juga. (Omar Alishah 2005 : 259).
b)
Wawancara
Terapi yang dicontohkan oleh Agha sehubungan dengan
menggunakan pendekatan tradisi tasawuf kepada klien di dahului melalui tahap
wawancara ini sekalipun tidak mengadopsi dari model psikoanalisis dengan cara
klien harus berbaring di atas balai-balai sedangkan terapis atau analisis
berada di belakangnya, namun itu hanya sejenis pengembangan dari teknis
wawancara.
Hal ini ditunjukkan dengan apa yang
disarankan Agha kepada para peserta konggres mengenai tahap-tahap awal dan
prosedur terapeutik.
Kita mulai dengan
menggunakan jenis wawancara psikologi atau psikiatri klasik, dengan lain
perkataan situasi semi medis. Pasien berbaring disana, seseorang mencatat dan
pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan bentuknya diubah agar dapat diterima
oleh pasien itu sebagai bincang-bincang. Artinya kita dapat menemui klien kita
di sebuah restoran, warung kopi atau kelab malam, kita dapat berjalan-jalan di
tepi sungai itu semua adalah ide yang bagus untuk mulai dengan melanggar
situasi klasik baju putih, stetoskop dan bloknote. (Omar Alishah 2002: 22)
Pada tahapan awal atau sesi wawancara,
tradisi tasawuf tidak mempunyai suatu sesi yang lehas atau ala tradisi. Ini
menunjukkan bahwa tahapan awal hanyalah sebuah formalitas atau mengikuti
formalitas yang ada, baku dan paling efektif, hanya saja beberapa penekanannya
justru lebih terlihat santai sehingga prosedur terapeutik yang dilakukan oleh
terapis dengan menggunakan terapi tasawuf terkesan jauh dari hal-hal yang
berbau klinis atau medis. Model wawancara seperti ini bisa terlihat dalam
pendekatan psikoterapi eksistensial humanistik, tidak memiliki teknik-teknik
yang ditentukan secara ketat sebagaimana psikoanalisis.
Teknik wawancara model klasik adalah
selalu disesuaikan dengan tujuan sebuah terapi. Untuk mendapatkan data yang
akurat, terapis harus mengemukakan terlebih dahulu aturan-aturan yang akan
terjadi pada klien selama terapis berlangsung. Aturan-aturan ini tentu akan
berimplikasi apda lancarnya proses terapeutik. Hal ini tidak ada dalam terapi
tasawuf. Namun prinsip bahwa dalam teknik klasik ada kode etik bahwa tugas
terapis adalah memberikan perhatian penuh dan mendengarkan dengan seksama apa
yang diungkapkan oleh klien, sehingga tugas klien adalah menceritakan semuanya
kepada terapis. (Amin Annajar 2002: 194) hal ini juga diadopsi oleh Agha Omar Alishah.
Penggunaan suatu topik yang dapat
diperbincangkan bersama tidak lain adalah tehnik yang biasa digunakan dalam
wawancara klasik. Tehnik ini adalah suatu persekutuan antara klien dengan
terapis untuk melawan masalah yang dihadapi klien, penting artinya disini
adalah untuk membangun rasa kepercayaan klien bahwa terapis mampu mengerti dan
sanggup menghadapi masalah yang sedang diderita klien.
Terlepas dari persekutuan itu, klien
juga harus menjalankan peranannya sebagai klien, sehingga dalam waktu yang
bersamaan terapis mampu mengarahkan arah pembicaraan klien sesuai dengan agenda
wawancara yang diinginkan terapis. Tulis Agha Omar Alisha.
Setelah itu,
pertinggi antusiasme kita sendiri tentang subyek itu, banyak berbicara tentang
hal itu, membawa ke hal apa saja yang kita inginkan, guna mengisi
kekurangan-kekurangan pada gambar kita, bagian dari kemampuan kita tentu
bagaimana kita melakukan hal ini, bagaimana cara kita membimbing mereka. Dengan
cara demikian kita menemukan gambar kita dan menyempurnakannya. (Omar Alisha
2004 : 36)
Setelah mulai mempercayai atas keahlian
terapis untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien, maka Agha menyampaikan
bahwa terapis perlu menyampaikan baik dengan mensisipkan diantara pembicaraan
atau secara langsung suatu nada yang harmonis dengan perkataan yang harmonis
dengan perkataan yang bermakna ke arah positif melalui cara yang meyakinkan.
Tulis Agha.
Masalahnya di
sini adalah tidak banyak perubahan nada suara atau hasil nada-nada harmonis
yang meyakinkan, yakni apa yang kita pilih untuk disampaikan dalam nada suara
bagaimana………. Kita semua tahu bahwa dalam terapi kita memiliki kata-kata
seperti : sembuh, pulih semakin sehat, dan kita mengucapkan kata-kata ini dalam
nada dan cara yang meyakinkan (Omar Alisha, 2002: 147).
Kekuatan tradisi di sini nyata-nyata
telah terlihat dan hal tersebut bukanlah suatu hal yang abstrak dan magis,
melainkan lebih dari sekedar sebuah teknik bagaimana dalam sesi wawancara
terapis juga berfungsi sebagai pembangkit energi dalam diri klien. Pertama;
bahwa kata-kata positif yang diucapkan dengan nada yang benar dan dengan waktu
yang tepat akan bersifat sebagai pemicu munculnya energi positif atau
optimisme. Kedua; adalah bagaimana melakukan semuanya dengan cinta. Dalam
tradisi tasawuf, cinta adalah semacam implementasi dari ikhlas. Atau sebaliknya
apapun yang kita lakukan dengan cinta kita akan ikhlas. Konsep cinta dan ikhlas
juga bukanlah sesuatu barang baru dalam tradisi, namun penting sekali dalam
kehidupan modern saat sekarang ini untuk dimasukkan ke dalam tehnik-tehnik
terapi, masalah cinta ini disinyalir oleh Agha sebagai sesuatu yang sangat
jangka ditemukan dalam psikologi barat. Analisis Agha Omar Alishah
Frankl sejalan dengan pendapat Agha
mengenai pola mengintegrasikan cinta ke dalam proses terapi, hal ini
diungkapkan sendiri oleh Frankl
Dengan bertindak
secara spiritual dalam cinta dia dapat melihat ciri-ciri dan bentuk esensial
pada orang yang dicintai; atau lebih dari pada itu, dia melihat apa yang
potensial dari dalam dirinya; yang belum teraktualisasikan tetapi harus
diaktualisasikan. Karena dengan cintanya, seseorang yang sedang mencintai dapat
menjadikan orang yang dicintainya mengaktualkan potensi-potensi. (victor E.
Frankl, 2003 : 127)
Seseorang terapis harus mampu mencintai
klien serta melakukan terapeutik berdasarkan cinta. Dari situlah penyembuhan
dapat dimulai dengan baik, tanpa cinta, mustahil sebuah awal yang baik dalam
proses penyembuhan dapat terjadi.
3.
Proses Terapi
Setelah melakukan wawancara awal, proses
berikutnya adalah asosiasi bebas, beberapa mengenai asosiasi bebas ini dalam
terapi Granada telah disebutkan pada bagian wawancara awal. Hal kemudian yang
juga digunakan Agha dalam terapi Granadanya adalah penafsiran. Dalam kasus
gangguan kejiwaan yang ditangani oleh terapi Granada, Agha menulis :
Keahlian dan
kemampuan kita adalah mengidentifikasi orang semacam itu dengan reaksi mereka,
dan memberikan terapi kepada mereka yang tidak menyerupai suatu terapi. Kita
sesungguhnya meminta mereka untuk membantu kita memeriksa problem mereka, apa
yang kita minta mereka untuk melakukan itu adalah melibatkan diri dalam suatu
proses kerjasama. (Omar Alishah 2004: 171)
Proses berikutnya adalah analisis dan
penafsiran resistensi. Ada hal lain yang diberikan oleh Agha sehubungan dengan
teknik tersebut.
Ketika mereka
datang kepada kita dan mereka telah diberi ktia menyebutnya kebiasaan Freud,
Jung, dan Schopenhaur oleh karena itu, mereka klien telah mengembangkan apa
yang kita sebut pertahanan diri.
Menanggulangi ini
bisa jadi sulit, dan beberapa kasus sangat sulit, akan tetapi trik atau
tekniknya adalah memperkenalkan diri kita tidak sebagai “terapis” melainkan
sebagai orang biasa …… Akan tetapi kasus yang paling berat yang kita hadapi
khususnya menangani gangguan psikologis adalah orang-orang yang telah
mengembangkan resistensi terhadap terapi. (Omar Alishah 2002 : 196).
Pertama untuk mengantisipasi terjadinya
resistensi secara berlarut-larut, pola wawancara diganti. Dalam hal ini kasus
tersebut Agha lebih menyukai untuk secara “transparan” terapis harus
memposisikan dirinya bukan lagi sebagai terapis, namun orang biasa. Setelah
terapis dapat memasukkan jenis energi positif kepada klien untuk dapat terbuka
dan cepat sembuh.
Kita harus dapat
mengatakan kepada mereka dengan jelas sejak awal, Anda datang kepada saya untuk
meminta bantuan. Saya dapat membantu anda, tetapi saya harus menyatukan energi
anda dengan saya untuk mencapai ini, sehingga akhirnya anda dapat pergi
melepaskan diri dari saya dan menjadi pulih, riil, sehat dan balans tanpa
berhubungan dengan saya terus menerus” kita membantu mereka untuk menciptakan
satu kepribadian yang tak tergantung kepada kita. (Omar Alishah 2004, 168)
Dimungkinkan sekali dalam buku ini, Agha
tidak menspekan pada persoalan gejala-gejala gangguan kejiwaan semata,
melainkan juga membahas tentang proses terapi bagi penderita fisik penilaian
penting terungkap disini bahwa tradisi menunjukkan suatu hal yang benar-benar
istimewa terhadap eksistensi terapi-terapi di luar tradisi. Sekalipun Anatolio
Friedbeg memberikan pengantar pada buku ini bahwa konsep-konsep terapi tasawuf
hanyalah membantu teknik dan pengetahuan terapi yang sudah ada tanpa berusaha menggantikan
sama sekali teknologi medis modern, Agha juga memberi semacam ketegasan
mengenai keterlibatan terapi-terapi yang akan dilakukan.
Setiap bagian
terapi, warna musik, bedah osteopatik, atau apapun mempunyai fungsi
sendiri-sendiri. Ini buka kompetisi atau seharusnya pun tidak. Jika seseorang
menjalani pembedahan dan ditempatkan dalam lingkungan yang positif sesudahnya
untuk pemulihan kesehatan, ini mungkin mempunyai peran yang sedikit lebih
penting untuk dimainkan. Akan tetapi ini jangan atau seharusnya jangan menjadi
sumber friksi atau perdebatan diantara tim. Prioritas untuk menggunakan suatu
teknik pada seseorang pasien tergantung pada keadaan fisik dan mental pasien
itu (Omar Alishah 2002 : 56).
Penegasan Agha Omar Alishah tersebut sedikit memberikan
bahwa tidak ada suatu terapi tunggal yang mampu mengobati pasien hingga sembuh.
Dalam konteks kejiwaan, sekalipun klien telah melewati proses-proses terapi
namun perbaikan yang diperoleh hanyalah bersifat sementara.
Ada banyak teknik
tapi tak satupun dari teknik ini berhasil secara sempurna. Teknik-teknik itu
dapat membawa perbaikan sementara, tapi setelah itu pasien membutuhkan
orientasi lain, teknik tunggal untuk menangani pasien yang mengalami gangguan
psikologi yang dapat digunakan untuk setiap bentuk kejiwaan jelas tidak ada,
sebab teknik tergantung pada jenis penyakit yang bersangkutan. (Omar Alishah
2002 : 20)
Penegasan tersebut adalah untuk menjawab
kegelisahan seorang terapis peserta konggres yang merasa bahwa setiap kali
terapis tersebut bekerja pada awalnya klien selalu dapat terbuka setelah
mengalami terapi pertama, setelah itu klien menutup diri kembali. Hal ini
membuktikan bahwa dalam tiap tahap terapi, teknik yang digunakan oleh seorang
terapis tidak mutlak menggunakan teknik tunggal. Senada yang sama ditulis oleh
Gerald Corey.
Para terapis yang
berorientasi psikoanalitik dapat menggunakan metode-metode penafsiran mimpi,
asosiasi bebas, analisis resistensi – resistensi dan transferensi, juga
menangani hubungan masa lampau kliennya, tetapi pada saat yang sama mereka bisa
menggabungkan sumbangan-sumbangan dari aliran lain, khususnya dari para
neureudlan yang menekankan faktor-faktor sosial budaya dalam perkembangan
kepribadian.
Dapat disebutkan disini bahwa Agha Omar
Alishah menganut teknik penggabungan yang disesuaikan dengan tahapan terapi
maupun kondisi terapi. Satu hal yang nampak seperti naif dalam pendapat Agha
adalah persoalan pandangan manusia modern – Barat, mengenai otak yang identik
dengan prinsip-prinsip dasar psikologi Barat. Sekalipun beberapa aliran
psikologi pertama seperti psiko analisis sangat meremehkan eksistensi manusia
dan hanya dengan menganalisis jaringan syaraf serta otak seluruh gejala tingkah
laku dan gangguan manusia dapat diketahui maupun disembuhkan, namun beberapa
aliran lain seperti humanisme dan transaksional justru memandang sebaliknya.
Komentar Agha :
Di Barat, kendati
dengan kemajuan teknologi modern orang tidak benar-benar tahu apa itu otak,
maka jika kita bekerja dengan sesuatu yang kita tidak ketahui seratus persen,
upaya kita akan selalu meragukan. (Omar Alisha 2002: 20).
E.
Penutup
Kajian-kajian konseling religius (Islam)
yang lebih mendalam tentang tasawuf sebagai terapi masih sangat kurang. Luasnya
lahan pengalaman terapis dan sedikitnya orang yang mengalaminya menjadikan
salah satu penyebab kajian-kajian konseling religius (Islam) bergerak lambat.
Demikian pula kajian-kajian ilmiah isoterik keislaman juga jarang diulas bahkan
kajiannya tidak mendapatkan tempat karena adanya fitnah bahwa hal tersebut
berkaitan dengan khurafat dan takhayul serta tidak ilmiah. Tuduhan demikian,
tanpa mau meninjau lebih dalam terhadap suatu fenomena alami sangat menghambat
perkembangan konseling Islami dan membentuk suasana yang kurang sehat dalam
kajian keilmuan. Mudah-mudahan tulisan singkat ini memacu dan menambah semangat
kita dalam mengkaji masalah-masalah spiritual keislaman sehingga konseling Islami
tidak hanya berkutat pada bagaimana mencari format dan merumuskan konsep tapi
lebih pada action menggali dunia konseling Islami secara riil.
BIBLIOGRAFI

Alishah, Omar, Tasawuf
sebagai Terapi, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
_______, Alishah
Terapi Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004
Al-Taftazani, Abu Al Wafa Al-Ghanimi, Sufi dari Zaman Ke Zaman,
Pustaka, Bandung, 1997.
Annajar, Amin, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, Mizan
Media Utama, Bandung, 2004.
Asmaran as, Pengantar Studi Tasawuf, PT. Raja Grafindo, Jakarta,
1992.
Aziz, Abdul, Psikologi Agama, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1987.
Bagir, Haidar, Manusia Modern Mendamba Allah, Penerbit Pustaka Amani
Jakarta, 2002
Burhani, Ahmad Najib, Manusia Modern Mendambah Allah, Renungan Tasawuf
Positif, Hikmah, Jakarta, 2002.
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 2005.
_______, Kesehatan Mental, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1982.
Faqih, Aunur
Rahim, Bimbingan Konseling dalam Islam, UII Press, Yogyakarta, 2001.
Fahmi, Musthofa,
Prof. Dr., Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Bulan
Bintang, Jakarta, 1977
Hawari, Dadang, Ilmu
Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Dana Bakti Prima Jasa, Yogyakarta,
1999.
Murtadlo, Ali, Bimbingan
dan Konseling Islam Perspektif Sejarah, Jurnal Ilmu Dakwah, 2002.

Rahman, Budy Munawar, Demam Tasawuf, Yogyakarta, 2000.
Rahmat, Jalaluddin, Renungan
Sufistik, Mizan, Bandung, 1997.
_______, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Schimmel, Anne Marie, Terj. Supardi Joko Damono, dkk., Dimensi Mistik dalam Islam, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1986.
Soleh, Moh, Agama Sebagai Terapi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Sudarsono, Kamus Psikologi dan Filsafat, Jakarta, 1993.
Suyuti, Ahmad, Percik-Percik Kesufian, Penerbit Pustaka Hidayah,
Bandung 2002
Syukur, M. Amin, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern,
Pustaka, Yogyakarta, 2003.
_____________, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001.
_____________, Zuhud di Abad
Modern, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1997.
www.tractusbooks.com;tractusbook@att.net.http//ez2find.com/go.php3?stie=
book&go=2909347095
http://setiyo.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar