Rabu, 15 Maret 2017

MITOS JOKO MODO DARI REMBANG



DESA “KUTUKAN” BAGI PARA PEJABAT
(Analisis Semiotika Mitos Joko Modo dari Rembang)
Samidi
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang


Abstrak
Artikel ini merupakan ringkasan penelitian pada salah satu mitos yang masih eksis di Kabupaten Rembang, yaitu kisah Joko Modo. Mitos ini sampai sekarang masih diyakini oleh masyarakat Rembang. Mitos Joko Modo menjadi penyebab para pejabat atau pegawai pemerintah tidak berani masuk ke Dukuh Modo Desa Jadi Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang tersebut. Ada kepercayaan bahwa para pejabat akan lengser dan pegawai pemerintah akan mendapat musibah jika masuk Dukuh Modo. Penulis menggunakan analisis semiotika Ferdinand de Saussure untuk mengurai makna mitos Joko Modo tersebut. Mitos Joko Modo sebenarnya merupakan bentuk komunikasi masyarakat melalui tanda dan kode tertentu yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Makna semiotik tersebut diantaranya yaitu: setting sosial budaya munculnya mitos adalah masyarakat agraris, perbedaan kelas sosial dan tingkat ekonomi dalam suatu masyarakat dapat menjadi pemicu konflik, dan pentingnya identitas diri atau wilayah.

Kata Kunci: mitos, Joko Modo, semiotik.


Abstract
This article is a summary of research to one of the myths that exist in Rembang, i.e. The Myth of Joko Modo. This myth is still believed by the society of Rembang. The myth of Joko Modo is the cause of officials or government employees do not dare go into Hamlet Modo Village Jadi Sub-district Sumber Rembang. There is a belief that the officials will be wratched and government employees will get a disaster if they are come to Hamlet Modo. The author used semiotic analysis of Ferdinand de Saussure to parse the meaning of Joko Modo myth. The myth of Joko Modo is a form of public communication through signs and the specific code that has the values of local wisdom. The semiotic meanings of Joko Modo mith such as: socio-cultural settings emergence myth is an agrarian society, social class differences and economic levels in a community can be a trigger of conflict, and the importance of self-identity or territory.
Key words: myth, Joko Modo, semiotic.
I.     PENDAHULUAN
Mitos merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang diwariskan secara turun temurun, tidak dibukukan dan tidak diketahui siapa pengarangnya (anonim). Kebenaran mitos sulit untuk dibuktikan secara ilmiah, bahkan oleh sebagian orang dianggap cerita fiktif atau takhayul saja. Meskipun demikian, masih banyak juga masyarakat di era modern ini masih percaya atau bahkan takut dengan mitos-mitos tertentu. Di sebagian daerah ketakutan seseorang atau masyarakat akan “keramat mitos” dapat menghambat pembangunan atau kemajuan. Hal ini sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah, terdapat 17 padukuhan dari 10 kabupaten yang sampai saat ini belum tersentuh oleh pembangunan program pemerintah akibat berkembangnya cerita mistik atau mitos.
Daerah-daerah yang belum tersentuh oleh program pembangunan pemerintah tersebut sebenarnya bukan karena terisolasi atau terpencil, tetapi karena adanya mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos yang membuat ketakutan para abdi Negara, yaitu siapa pun Pegawai Negeri Sipil (PNS atau ASN) atau pejabat pemerintah yang masuk ke wilayah tersebut, akan menerima musibah atau setidaknya lengser jabatannya (Suara Merdeka: Jumat, 3 Oktober 2014).
Berita tentang adanya mitos bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan mendapat kesialan karena memasuki padukuhan tersebut dibenarkan oleh praktisi sosial Sadiman Al Kundarto. Menurut Sadiman, bahwa daerah-daerah tersebut tidak terjamah oleh program pemerintah bukan karena terpencil. Semua urusan pemerintahan berada di luar dukuh, bahkan sampai sekarang para bupati tidak berani mengutus stafnya ke dukuh-dukuh tersebut (Suara Merdeka: Jumat, 3 Oktober 2014). Dari tujuhbelas daerah yang berhasil diidentifikasi oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah, dua dukuh berada di Kabupaten Rembang, yaitu Dukuh Ngaglik di Desa Kedungasem dan Dukuh Modo di Desa Jadi Kecamatan Sumber.
Rembang termasuk daerah pesisir yang memiliki sejumlah folklor berupa dongeng, mitos, atau legenda yang masih dipelihara dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Folklor merupakan kebudayaan kolektif yang hidup dalam suatu masyarakat. Sifat folklor pada umumnya diwariskan secara turun temurun, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1984:2). Menurut Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaja, 1984:21), folklor mempunyai tiga bentuk, yaitu : folklor lisan (verbal folklore); folklor sebagai lisan (partly verbal folklore); dan folklor bukan lisan (non verbal folklore).
Mitos merupakan folklor lisan yang diwariskan secara turun temurun. Dalam konteks pembangunan, ketika mitos dipandang sebagai produk kebudayaan, maka penting untuk melihat bagaimana masyarakat memproduksi dan memahami makna melalui bahasanya. Melalui mitos tersebut, makna-makna yang ada di dalamnya dapat dijadikan sebagai modal pembangunan atau bahkan justru penghambat pembangunan itu sendiri. Sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah, pembangunan menjadi terhambat karena adanya mitos yang melingkupi masyarakat. Mitos menjadi sakral, diyakini kebenarannya dan sangat ditakuti oleh sebagian orang.
Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi dalam pengertian modern, mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial dan arketipe (Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Mitos menggunakan bahasa lisan sehingga dapat dipahami sebagai produksi makna. Makna dalam mitos tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dalam konteks masyarakat yang memproduksinya. Mitos merupakan kesatuan organik yang merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasan masyarakat yang melingkupinya, melalui cerita yang mereka hadirkan ke ruang publik. Dengan kata lain tidak ada mitos yang muncul secara tiba-tiba, tercipta tanpa adanya sebab.
Mitos yang berkembang dalam suatu masyarakat banyak yang diyakini sebagai suatu kebenaran, padahal belum tentu sesuai dengan makna di dalamnya. Mitos sebenarnya merupakan budaya yang sangat subyektif pemaknaannya, tergantung subyek yang berada di dalam lingkaran kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, ketika mitos dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana masyarakat memproduksi dan memaknai mitos tersebut. Mitos yang berkembang dalam suatu masyarakat merupakan representasi dari wordl view mereka terhadap realitas. Demikian juga dengan Kabupaten Rembang, yang memiliki banyak cerita rakyat, dongeng, mapun legenda. Ada sekitar 48 dongeng rakyat di Kabupaten Rembang yang berhasil dibukukan oleh Kusaeri Yusuf Sudarmo (2009) dalam bukunya yang berjudul Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang. Dongeng-dongeng tersebut bersumber dari 294 desa dari 14 kecamatan di Rembang. Salah satu dongeng yang disajikan adalah dongeng tentang Panji Sering yang bermusuhan dengan Joko Modo. Mitos atau dongeng inilah yang melegenda sampai sekarang, dan membuat para pejabat atau aparat pemerintah takut memasuki Dusun Modo yang berada di Desa Jadi Kecamatan Sumber Rembang.
Masyarakat meyakini adanya kebenaran mitos yang berkembang, bahwa bagi siapa saja aparat pemerintah yang masuk ke desa tersebut akan mendapat musibah. Implikasi dari mitos tersebut membuat Dukuh Modo yang berada di Desa Jadi Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang ini mengalami hambatan dalam pembangunan. Berdasarkan hal tersebut maka penulis hendak menguraikan mitos Joko Modo dari Desa Jadi Kabupaten Rembang ini dan apa makna di balik mitos tersebut.
II. METODE PENELITIAN
1.        Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk field research dengan objeknya adalah mitos yang berkembang di Dukuh Modo Desa Jadi Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang. Sesuai dengan objek penelitian, bahwa metode pengumpulan data ini menggunakan metode lapangan. Artinya seluruh data digali dari lokasi penelitian, yaitu mitos (myth) Joko Modo yang digali dari para informan, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, dan warga desa yang mengerti mitos tersebut.
Mitos pada umumnya terlahir dari individu-individu tertentu yang kemudian muncul di tengah-tengah masyarakat. Data yang diambil dalam penelitian ini berupa rekaman wawancara dengan informan yang kemudian ditranskrip dari bahasa lisan Jawa menjadi bahasa tulis dan diterjemahkan atau dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan (Lofland dan Lordland dalam Moleong, 2000:112).
Sejalan dengan metode tersebut, maka dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu: (1) observasi, (2) wawancara mendalam, dan (3) diskusi terfokus. Observasi yang dilakukan adalah observasi berpartisipasi, peneliti ikut serta dalam kegiatan objek yang diamati. Selain itu, peneliti juga melakukan pengamatan terbuka, sehingga keberadaan peneliti diketahui oleh informan sebagai subjek dalam penelitian. Oleh sebab itu, antara peneliti dan subjek saling mengenal.
Teknik wawancara terbagi atas dua cara, yaitu (a) wawancara berstruktur, dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah ditentukan, dan (b) wawancara tidak berstruktur yang dilaksanakan secara fleksibel, sehingga peneliti dapat mengubah dan mengembangkan pertanyaan sesuai kondisi pada saat wawancara. Teknik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan informasi dari informan mengenai seputar mitos Joko Modo dari Desa Jadi Kecamatan Sumber Rembang serta efek yang muncul dari adanya mitos tersebut.
2.    Metode Analisis Data
Menurut Stake (dalam Ratna, 2010:303-304) analisis dalam kaitannya dengan studi kasus adalah intensitas perhatian pada kasus itu sendiri secara keseluruhan. Perhatian seorang peneliti terhadap kasus harus secara intens, paling tidak melibatkan tiga unsur, yaitu: makna lokal, makna prediksi, dan makna konsekuensi. Makna pertama biasa disebut dengan perpsektif emik, karena berkaitan langsung dengan hakikat objek. Makna kedua berkaitan langsung dengan kompetensi peneliti, yaitu bagaimana seorang peneliti menginterpretasikan objek yang ditelitinya. Makna ketiga berkaitan dengan pembaca, yaitu resiko yang diakibatkan oleh interpretasi peneliti terhadap objek yang dikajinya. Hubungan ketiga makna inilah yang disebut dengan makna reflektif .
Penelitian ini menggunakan teknik analisis semiotika Ferdinand de Saussure yang mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Ciri khas teorinya terletak pada kenyataan, yaitu menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Menurut Saussure tanda-tanda (khususnya tanda-tanda kebahasaan) memiliki dua buah karakteristik primordial, yaitu bersifat linier dan arbitrer (Budiman, 1999:38). Pokok teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified (tinanda) [[1]]. Menurut Saussure bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda dalam pendekatan Saussure merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi dengan citra bunyi sebagai penanda. Jadi penanda (signifier) dan tinanda (signified) merupakan unsur mentalistik. Dengan kata lain, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, kehadiran yang satu berarti pula kehadiran yang lain seperti dua sisi kertas (Sobur 2003:32). Dalam tanda terungkap citra bunyi atau konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan antara penanda dan tinanda bersifat bebas (arbiter), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Arbiter dalam pengertian penanda tidak memiliki hubungan alamiah dengan tinanda (Saussure dalam Sobur 2003:32).
Proses pemberian makna (signifikasi) tanda terdiri dari dua elemen tanda. Menurut Saussure, tanda terdiri dari dua elemen tanda (signifier, dan signified). Signifier adalah elemen fisik dari tanda dapat berupa tanda, kata, image, atau suara. Sedangkan signified adalah menunjukkan konsep mutlak yang mendekat pada tanda fisik yang ada. Sementara proses signifikasi menunjukkan antara tanda dengan realitas aksternal yang disebut referent. Signifier dan signified adalah produksi kultural hubungan antara keduanya.

III.   MITOS JOKO MODO DAN KUTUKAN BAGI PEJABAT
Mitos Joko Modo
Mitos dari Dukuh Modo Rembang ini berawal dari permusuhan antara dua orang sakti, yaitu Joko Modo dan Panji Sering. Joko Modo adalah pemuda desa anak petani, sedangkan Panji Sering adalah orang kaya yang masih keturunan kaum bangsawan. Joko Modo lahir di suatu dusun kecil yang sekarang dikenal dengan Dusun Modo. Dusun ini berada di desa yang sekarang dikenal dengan Desa Jadi Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang. Sebagi seorang petani Joko Modo memelihara kerbau. Kerbau milik Joko Modo setiap hari digembala dan sering dimandikan di suatu kubangan air (kedhung) di tepi desa bersama kerbau-kerbau yang lain. Hingga suatu saat kerbau milik Joko Modo dikawini oleh kerbau bule milik Panji Sering hingga bunting.
Beberapa bulan kemudian kerbau betina milik Joko Modo melahirkan anak kerbau bule juga. Kelahiran kerbau bule tersebut di sambut Joko Modo dengan senang hati. Namun di sisi lain Panji Sering yang mempunyai kerbau jantan merasa bahwa anak kerbau itu adalah haknya. Padahal ada aturan yang tidak tertulis si masyarakat, apabila ada hewan jantan mengawini hewan betina dan beranak, maka anaknya akan menjadi milik orang yang mempunyai hewan betina. Namun karena keangkuhan seorang kaya, kaum bangsawan, maka Panji Sering tetap merasa bahwa anak kerbau itu adalah miliknya. Joko Modo tetap berada pada pendiriannya, bahwa dirinyalah yang benar dan anak kerbau itu adalah haknya. Akhirnya perkelahian pun tidak dapat dihindarkan. Keduanya sama-sama sakti, dengan mengeluarkan kesaktian masing-masing dalam pertarungannya.
Pertarungan terjadi selama beberapa hari, yang pada akhirnya Panji Sering merasa kewalahan melawan kesaktian Joko Modo. Panji Sering kemudian lari dan mencari cara untuk mengalahkan Joko Modo. Panji Sering kemudian meminta bantuan prajurit Kabupaten rembang. Berkat bantuan prajurit Kabupaten rembang, Joko Modo kewalahan dan bersembunyi di desanya. Dalam persembunyian itu Joko Modo mengatur strategi, membuat benteng di empat penjuru desa. Pada malam harinya benteng-benteng tersebut diberi obor-obor yang menyala, agar terlihat banyak anak buah Joko Modo pada malam hari.
Panji Sering semakin kewalahan dan mengalami kekalahan. Sejak peristiwa tersebut Panji Sering bertambah benci dan sakit hati terhadap Joko Modo. Mendengar saudaranya dipermainkan oleh orang desa, Kanjeng Adipati Rembang naik pitam dan membuat perhitungan dengan Joko Modo. Sang Adipati kemudian pergi ke rumah Joko Modo bersama dengan prajuritnya untuk mengetahui peristiwa yang sebenarnya. Joko Modo mendengar berita akan kedatangan Kanjeng Bupati bersama prajuritnya, kemudian ia mencari cara yang tepat untuk menjelaskan peristiwa yang sebenarnya.
Joko Modo menyamar seperti wanita yang baru melahirkan untuk menjelaskan kepada sang Bupati. Penyamaran Joko Modo tersebut membuat Kanjeng Bupati menyadari bahwa Panji Sering yang bersalah. Setelah Sang Bupati pergi, Joko Modo kemudian mengatur strategi untuk mengalahkan Panji Sering. Selanjutnya Joko Modo pergi mencari keberadaan Panji Sering, dan sampailah ia di rumah Panji Sering dalam keadaan kosong. Kesempatan itu digunakan oleh Joko Modo untuk mencuri tombak pusaka milik Panji Sering.
Joko Modo berhasil menemukan Panji Sering dan pertarungan pun tidak dapat dihindarkan. Pertarungan semakin lama semakin sengit karena keduanya sama-sama kuat. Namun pusaka yang andalan Panji Sering telah berada di tangan Joko Modo, akhirnya Panji Sering kewalahan. Joko Modo pada akhirnya berhasil menghunjamkan tombak pusaka ke perut Panji Sering dan usus Panji Sering terburai keluar. Dalam keadaan usus terburai Panji Sering masih memberikan perlawanan semampunya. Namun akhirnya Panji Sering melarikan diri, dan sampailah ia di daerah persawahan penduduk. Dengan menahan sakit dan memegang ususnya yang terburai di area persawahan tersebut, maka sampai sekarang sawah itu dikenal dengan “sawah sangga usus”.
Joko Modo mengejar Panji Sering yang melarikan diri, dan tidak akan berhenti sebelum berhasil membunuhnya. Panji Sering terus berlari di tengah-tengah keramaian penduduk yang berkerumun. Mereka tidak berani melerai, hanya berteriak-teriak yang menimbulkan suara gaduh. Daerah itu sekarang dikenal dengan “Desa Bogorrame”. Warga sekitar menyebut daerah tersebut dengan “Nggorame”. Pertarungan masih berlanjut, sampai akhirnya mereka berdua jatuh bergulung-gulung. Daerah tempat jatuhnya Panji Sering dan Joko Modo bergulung-gulung tersebut akhirnya dijadikan nama sebuah desa, yaitu “Desa Megulung” (Kusaeri, 2009:31).
Dalam pertarungan yang bergulung-gulung itu akhirnya Panji Sering berhasil melarikan diri lagi. Ia banyak menjumpai orang desa yang sedang ramai-ramai memandikan sapi di dalam kubangan air. Memandikan binatang ternak di kubangan air atau kedhung merupakan tradisi masyarakat untuk menjaga kebersihan dan kesehatan binatang ternaknya. Panji Sering masih merasakan sakit dan begitu kehausan, kemudian ia berhenti sejenak di kedhung tempat pemandian sapi tersebut untuk mengambil air minum. Maka untuk mengenang peristiwa tersebut, daerah itu dijadikan nama sebuah desa “Kedung Sapen”. Setelah mengambil air minum Panji Sering mencari apa saja yang dapat dimakan, namun yang ia temui hanya pohon bayam di sekelilingnya. Dengan keadaan terpaksa maka iapun memakan pohon bayam itu sampai bonggolnya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, maka masyarakat menjadikannya sebagai nama sebuah desa yaitu “Desa Pol Bayem” (Kusaeri, 2009:33).
Panji Sering melanjutkan pelariannya, sampailah ia di suatu desa yang banyak kebetulan warganya sedang berkumpul. Panji Sering bermaksud meminta tolong kepada warga, namun justru warga beramai-ramai untuk menangkapnya. Salah seorang warga berteriak “kekesa, kekesa!” (tangkaplah). Akhirnya Panji Sering berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berlari menjauhi desa. Maka untuk mengenang peristiwa tersebut, desa itu diberi nama desa “Kesa”. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, akhirnya Panji Sering sampai di tepi sungai. Ia berjalan menelusuri sungai dan sampailah di ujung sungai yang jernih dan agak dalam, dalam bahasa Jawa disebut dengan kedhung. Di kedhung tersebut terlihat sepi dan tidak ada orang yang tahu, maka Panji Sering kemudian membersihkan lukanya yang sudah rojah-rajeh (terkoyak-koyak). Darah mengaliri air sungai sampai terlihat merah, maka untuk mengenang peristiwa tersebut daerah itu diberi nama desa “Kedhung Sarojeh”.
Setelah membersihkan lukanya, Panji Sering melanjutkan pelariannya dan sampailah ia di suatu desa yang sunyi. Di desa yang sepi  itu ia menenangkan diri dan berusaha menyembuhkan lukanya. Namun tidak selang berapa lama iapun meninggal karena lukanya yang cukup parah. Tak selang berapa lama masyarakatpun menemukan mayat Panji Sering dan memakamkannya dengan layak di desa tersebut. Maka untuk mengenang perjalanan Panji Sering, daerah tersebut diberi nama “Desa Sering”. Semenjak kematian Panji Sering itulah Bupati Rembang melarang para pejabat atau kaum bangsawan untuk memasuki Dukuh Modo.
Inilah kisah perjalanan Joko Modo dan Panji Sering yang mengiilhami nama-nama desa di sekitar Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang. Kisah tersebut masih hidup sampai sekarang, bahkan tidak sedikit masyarakat yang mempercayai kebenarannya. Kekalahan Panji Sering (seorang bangsawan) dari seorang pemuda desa menjadi legenda abadi masyarakat Kabupaten Rembang. Dukuh Modo tempat kelahiran Joko Modo yang mampu mengalahkan seorang bangsawan menjadi momok bagi para pejabat dan kaum bangsawan. Fobia memasuki Dukuh Modo masih diyakini oleh masyarakat di era modern ini. Para pejabat dan pegawai pemerintah (ASN) sebagai kaum bangsawan modern tidak ada yang berani masuk Dukuh Modo, mereka takut mendapat musibah atau lengser jabatannya.

Mengurai Makna Mitos Joko Modo
Konsep semiotika Ferdinand de Saussure melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau tinanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa, yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Tinanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, tinanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).
Penanda dan tinanda dalam kisah Joko Modo melawan Panji Sering akan dapat terungkap dengan menelusuri alur cerita tersebut. Mitos tentang Dukuh Modo tempat lahirnya kisah Joko Modo yang ditakuti oleh para pejabat pada dasarnya mengandung tuntunan moral yang dapat dipraktekkan dalam dunia modern ini. Berbeda dengan kepercayaan masyarakat selama ini, yang menganggap Dukuh Modo sebagai daerah yang keramat penuh dengan “kutukan”. Para pejabat atau pegawai pemerintah yang masuk ke dukuh tersebut akan mendapat musibah atau lengser dari jabatannya. Pesan-pesan moral tersebut dapat dilihat dari “penanda” dan “tinanda” kisah Joko Modo dari Dukuh Modo yang mempertahankan haknya melawan Panji Sering. Ada beberapa tanda yang dapat penulis ungkapkan dari kisah Joko Modo yang menyebabkan Dukuh Modo dianggap kramat, kutukan bagi para pegawai dan pejabat, tanda-tanda tersebut yaitu:

Nama Tokoh
Penanda (signifier)
Tinanda (signified)
Panji Sering
/pan-ji/ secara bahasa berarti tanda kebesaran atau kebanggaan dan “sering” adalah nama diri. Pada masa dahulu nama panji hanya digunakan untuk orang-orang kaya atau kaum bangsawan. Dalam mitos ini, Panji Sering merupakan orang kaya yang masih kerabat Kabupaten Rembang. Ia adalah representasi kaum bangsawan yang bersikap arogan, ingin menguasai sesuatu yang bukan haknya dengan segala cara.
Joko Modo
/jo-ko/ dalam Bahasa Indonesia disebut jaka atau lajang, yang berarti anak laki-laki dewasa yang belum menikah, sedangkan “modo” adalah nama diri. Dalam mitos ini, Joko Modo adalah simbol masyarakat desa, petani, orang kecil yang berusaha mempertahankan apa yang menjadi haknya. Demi mempertahankan haknya, ia berjuang dengan sekuat tenaga.



Joko Modo dan Panji Sering adalah nama dua tokoh yang mengilhami lahirnya beberapa nama desa di Kabupaten Rembang. Kedua nama tersebut menunjukkan adanya perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat, Panji Sering adalah orang kaya dari kaum bangsawan dan Joko Modo kalangan rakyat jelata. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya pada masa itu adalah masa feodal, dimana strata sosial antara kaum bangsawan dan rakyat jelata terlihat jelas. Perbedaan kelas sosial dan tingkat ekonomi dalam suatu masyarakat dapat menjadi pemicu konflik diantara sesama warga.
Joko Modo dan Panji Sering merupakan penanda konotasi dalam mitos atau cerita tersebut, yang sebenarnya untuk memberikan gambaran kepada publik bahwa pada waktu itu ada tinanda (signified) antara kaum bangsawan atau pejabat dan rakyat. Penanda-penanda konotasi atau disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan tinanda) dari sistem yang bersangkutan. Konotator tersebut memiliki karakter umum, global dan tersebar, yang pada akhirnya membentuk ideologi dalam suatu masyarakat. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah suatu masyarakat.

Hewan Ternak
Penanda (signifier)
Tinanda (signified)
Kerbau
/ker-bau/ binatang memamah biak yang biasa diternakkan untuk diambil dagingnya atau atau untuk dipekerjakan (membajak, menarik pedati) rupanya seperti lembu dan agak besar, tanduknya panjang, suka berkubang, umumnya berbulu kelabu kehitam-hitaman. Bagi masyarakat desa atau para petani, kerbau sering dijadikan sebagai investasi atau sebagai sumber penghasilan tambahan.

Kerbau dalam mitos ini menjadi awal mula perselisihan antara Joko Modo dan Panji Sering. Panji Sering sebagai representasi kaum bangsawan memiliki kerbau bule jantan, sedangkan Joko Modo sebagai representasi rakyat jelata memiliki kerbau betina pada umumnya. Binatang ternak yang suka berendam atau berkubang ini menjadi penanda masyarakat agraris, dipelihara oleh penduduk desa yang bermatapencarian sebagai petani. Kerbau peliharaan Joko Modo sering digembalakan dan dimandikan dalam kubangan air yang berada di Dukuh Modo. Kubangan yang menjadi tempat pemandian kerbau Joko Modo sampai saat ini masih dijaga dan dipertahankan oleh warga, untuk mengenang cikal bakal Dukuh Modo.
Perselisihan dalam mitos Joko Modo karena adanya sikap arogansi dan memaksakan kehendak dari seorang bangsawan Panji Sering. Sikap ini tampak dalam kisah, bahwa dalam hukum adat dimana ada kerbau atau binatang ternak yang kawin dan melahirkan anak, maka anaknya adalah milik orang yang mempunyai binatang ternak betina. Panji Sering sebagai pemilik kerbau bule jantan yang telah mengawini kerbau betina milik Joko Modo, merasa lebih berhak memiliki anak dari perkawinan kerbau tersebut. Sementara itu Joko Modo mempertahankan apa yang menjadi hak dan keyakinannya. Perbedaan pendapat tersebut berakhir dengan pertarungan, yang kemudian menewaskan Panji Sering. Hukum adat meskipun tidak tetulis pada dasarnya merupakan aturan yang mengikat bagi warganya.
Penanda konotasi yang berupa kerbau dan perkawinannya, pada dasarnya untuk menegaskan sebuah tata aturan yang berlaku di dalam suatu masyarakat, yaitu hukum adat. Hukum adat merupakan konvensi, kesepakatan bersama yang harus ditaati dan dijaga bersama-sama dalam rangka memelihara kerukunan dan kedamaian di dalam suatu masyarakat. Jika hukum adat dilanggar oleh seseorang, maka sanksi sosial pasti akan berlaku. Inilah bentuk komunikasi sosial yang sebenarnya hendak disampaikan melalui kisah Panji Sering, meskipun ia seorang pejabat atau bangsawan, karena melanggar aturan adat tetap saja terkena sanksi sosial.

Nama-nama Desa
Penanda (signifier)
Tinanda (signified)
Desa Bogorrame, Desa Kedhung Sapen, Desa Megulung, Desa Pol Bayem, Desa Kesa, Desa Kedhung Serojeh, Desa Sering
Nama-nama desa diambil dari perjalanan Panji Sering melarikan diri dari kejaran Joko Modo yang dikaitkan dengan suatu peristiwa tertentu.
1.   Bogorrame berasal dari dua kata, yaitu “bogor” (pohon) dan “rame” (keramaian). Desa Bogorrame diambil dari peristiwa keramaian warga yang menyaksikan pertarungan Panji Sering dengan Joko Modo.
2.   Kedhung Sapen berasal dari dua kata, yaitu “kedhung” dan “sapi”.  Desa Kedhung Sapen diambil dari peristiwa ketika Panji Sering melewati penduduk yang ramai-ramai memandikan sapi di kedhung.
3.   Megulung berasal dari kata “gulung” yang mendapat awala “me”. Desa Megulung diambil dari pertarungan Joko Modo dan Panji Sering ketika bergulung-gulung ke tanah.
4.   Pol bayem berasal dari dua kata, yaitu “pol” yang ujung dan bayem (tanaman sayuran). Desa Pol Bayem diambil dari peristiwa Panji Sering memakan pohon bayam sampai ke pangkalnya.
5.   Desa Kesa berasal dari kata “kekesa” yang berarti tangkaplah. Pada saat Joko Modo mengejar Panji Sering banyak penduduk yang menyaksikan, kemudian ia memerintahkan penduduk untuk menangkap Panji Sering, “kekesa!”
6.   Desa Kedhung Serojeh diambil dari peristiwa ketika Panji Sering membersihkan lukanya yang sudah rojah-rajeh (terkoyak-koyak) di suatu kedhung.
7.   Desa Sering diambil dari nama Panji Sering sendiri yang menghabiskan sisa hidupnya di daerah tersebut.

Nama-nama desa yang didasarkan pada peristiwa perseteruan Joko Modo dan Panji Sering, pada dasarnya adalah untuk mengabadikan peristiwa tersebut. Peristiwa sejarah di masa lampau yang hanya bersumber dari cerita rakyat dan tidak ada bukti-bukti tertulis yang mendukung. Kisah Joko Modo dan Panji Sering adalah tokoh-tokoh yang mengilhami berdirinya beberapa desa di daerah Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang. Penyelidikan nama-nama tempat atau asal usul suatu daerah disebut toponimi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toponimi memiliki dua makna, yaitu cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat dan makna kedua adalah nama tempat itu sendiri. Nama tempat yang dimaksud sesuai dengan penjelasan dalam aspek geografis, tidak terbatas pada nama suatu daerah. Sedangkan onomastika adalah penyelidikan tentang asa-usul, bentuk, dan makna nama diri, terutama nama orang dan tempat.
Nama adalah identitas diri suatu objek yang akan menjadi ciri atau penandanya. Nama itu melekat erat sebagai identitas tunggal bagi tiap obyek hingga akhir hayat, tidak hanya bagi manusia saja, tetapi juga bagi suatu wilayah (dusun, desa, atau kawasan pulau). Toponimi ini juga digunakan untuk menetapkan suatu daerah atau kawasan yang telah musnah, baik karena tenggelam tertelan oleh air laut yang terus menerus menjorok ke daratan, kebakaran hutan atau alih fungsi lahan. Di Indonesia banyak terjadi hilang atau musnahnya suatu daerah akibat bencana alam atau bahkan perubahan iklim. Generasi berikutnya hanya mengenal ceritanya saja, tinggal nama yang akan dikenang sepanjang masa hingga berita lain menguburnya.
Pada era modern ini, untuk mendukung sistem pemerintahan yang baik dan rapi, maka negara perlu memiliki kesepakatan terhadap nama suatu tempat sebagai suatu objek. Hal ini untuk menciptakan kesepahaman dalam bahasa yang universal dalam menyebutkan nama-nama suatu tempat. Misalnya penamaan pulau-pulau yang bersebaran di seluruh wilayah Indonesia, dari ujung barat sampai ujung timur. Jika tanpa adanya aturan yang jelas, pembakuan dan kesepakatan nama geografis, maka akan dengan mudah pulau-pulau tersebut diklaim atau dicaplok oleh Negara lain. Seperti akhir-akhir ini yang terjadi dengan sikap arogansi Malaysia yang berusaha mencaplok beberapa wilayah Indonesia yang berdekatan dengannya.

Akhir dari Permusuhan
Penanda (signifier)
Tinanda (signified)
Panji Sering kalah dan mati
/ma-ti/ bagi makhluk hidup mati berarti hilang nyawanya, sudah tidak hidup lagi. Kematian Panji Sering menjadi akhir dari mitos ini, dan daerah peristirahatan terakhirnya dijadikan sebagai nama desa, yaitu “Desa Sering”.

Akhir dari mitos ini adalah kematian Panji Sering, kemudian tempat dimana ia dimakamkan dikenal dengan “Desa Sering”. Kematian Panji Sering bukanlah tanpa sebab, ia mati karena ditusuk oleh Joko Modo dengan senjatanya sendiri. Penanda sosial yang dapat dibaca dari kisah ini yaitu bahwa siapa saja yang berbuat kejahatan, tidak mematuhi tata aturan yang berlaku maka ia akan mendapat celaka atau berujung pada maut. Sanksi sosial atau hukuman akan berlaku bagi siapa saja yang melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat, meskipun ia orang kaya, kaum bangsawan, ataupun pejabat.
Kematian Panji Sering membuat Bupati Rembang murka, kemudian melarang para pejabat kabupaten atau kaum bangsawan untuk memasuki Dukuh Modo. Sang Bupati sadar bahwa kerabatnya yang bersalah, oleh sebab itu untuk menghilangkan kesedihan dan menutup kenangan yang menimpa Panji Sering, maka bupati melarang para pejabat dan kerabat kabupaten untuk pergi ke Dukuh Modo. Dengan demikian larangan untuk para pejabat dan kaum bangsawan untuk memasuki Dukuh Modo sebenarnya lebih bersifat preventif, untuk menghilangkan kenangan dan menghindari konflik dengan masyarakat. Namun di sisi lain ada yang mengartikan berbeda, larangan tersebut dianggap sebagai “wewaler” yang harus ditaati. Para kaum bangsawan dan pejabat kabupaten tidak boleh masuk ke Dukuh Modo karena takut akan terjadi hal sama dengan Panji Sering, mendapat musibah bahkan kematian.
Larangan atau wewaler Bupati Rembang dalam kisah Joko Modo dan Panji Sering ini masih hidup sampai sekarang. Masyarakat percaya, bahwa siapa saja pejabat atau kaum bangsawan yang masuk ke Dukuh Modo akan lengser jabatannya atau mendapat musibah seperti Panji Sering. Sementara di era modern ini, kaum bangsawan atau ningrat mengalami pergeseran makna di masyarakat. Kaum bangsawan modern adalah mereka para pegawai pemerintah (PNS atau ASN) dan para pejabat di lingkungan pemerintahan. Inilah sumber mitos di Dukuh Modo yang membuat masyarakat takut, khususnya para pegawai pemerintah dan pejabat. Mereka fobia memasuki Dukuh Modo, khawatir lengser jabatan atu akan mendapat musibah jika memasuki Dukuh Modo. Ketakutan para pegawai pemerintah dan para pejabat ini yang kemudian menyebabkan berbagai macam bantuan pembangunan di Dukuh Modo terhambat. Para pejabat penentu kebijakan takut memasuki dukuh, sehingga tidak tahu persis kondisi masyarakatnya yang serba kekurangan dan memprihatinkan. Bantuan pembangunan pun tidak pernah masuk sampai ke dukuh, berhenti sampai batas dukuh seperti pembangunan talut yang pada saat ini sedang dikerjakan.
Mitos tentang lengsernya para pejabat atau sialnya para pegawai pemerintah yang memasuki Dukuh Modo ternyata saat ini sudah luntur. Hal ini terbukti dengan adanya salah satu warga Dukuh Modo yang sudah menjadi pegawai pemerintah (ASN) di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Sumber, yaitu Edi Mursito (38 th). Ia adalah warga Desa Jadi yang menjadi menantu kepala dukuh dan satu-satu warga Dukuh Modo yang menjadi pegawai pemerintah, setelah mengabdi selama 19 tahun 10 bulan. Istri Edi Mursito juga belum lama ini diangkat sebagai guru di salah satu Taman Kanak-kanak di Desa Jadi. Selain itu, Dukuh Modo yang dikenal dengan “limo sudo” (lima pasti berkurang) jumlah warganya, kini sudah tidak lagi. Warga Dukuh Modo sekarang (pada saat penelitian ini dilakukan) sudah terdapat 15 kepala keluarga (KK). Hal ini menunjukkan adanya kemajuan di Dukuh Modo, bahwa mitos yang selama ini ditakuti ternyata tidak terbukti.

IV.             PENUTUP
Mitos Joko Modo melawan Panji Sering merupakan simbol perlawan rakyat terhadap kaum bangsawan. Tokoh Joko Modo adalah simbol rakyat desa dan Panji Sering adalah simbol kaum bangsawan. Pertarungan tersebut diakhiri dengan kematian Panji Sering, yang kemudian membuat Bupati Rembang murka. Kemurkaan sang Bupati diluapkan dengan membuat larangan para pejabat kabupaten atau kaum bangsawan untuk memasuki Dukuh Modo. Larangan atau “wewaler” bupati tersebut pada mulanya untuk menghilangkan kesedihan dan menutup kenangan yang menimpa Panji Sering. Namun pada perkembangannya “wewaler” tersebut dianggap sebagai suatu “kutukan” terhadap Dukuh Modo. Kaum bangsawan dan pejabat tidak boleh masuk ke Dukuh Modo karena akan mendapat celaka seperti Panji Sering.
Larangan atau “wewaler” Bupati Rembang bagi pejabat atau kaum bangsawan agar tidak masuk ke Dukuh Modo menjadi sumber mitos, ketakutan para pegawai pemerintah (bangsawan modern) dan para pejabat. Ketakutan para pegawai pemerintah dan para pejabat ini yang kemudian menyebabkan berbagai macam bantuan pembangunan di Dukuh Modo terhambat. Para pejabat penentu kebijakan takut memasuki Dukuh Modo, sehingga tidak tahu persis kondisi masyarakatnya yang serba kekurangan dan memprihatinkan dan bantuan pembangunan pun tidak pernah masuk ke dukuh.
Fobia atau perasaan takut para pegawai pemerintah dan para pejabat di era sekarang untuk memasuki Dukuh Modo sudah tidak beralasan. Di Dukuh Modo sendiri pada saat ini ada salah satu warganya yang menjadi pegawai pemerintah (PNS). Selain itu, Dukuh Modo yang mendapat “kutukan” selamanya akan dihuni hanya oleh lima keluarga (Modo = limo sudo) sekarang tidak berlaku lagi. Warga Dukuh Modo sekarang (pada saat penelitian ini dilakukan) sudah terdapat 15 kepala keluarga (KK). Hal ini menunjukkan adanya kemajuan di Dukuh Modo, bahwa mitos yang selama ini ditakuti ternyata tidak terbukti.




DAFTAR PUSTAKA


Barthes, Roland. 2010. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Terj. Ikramullah Mahyudin. Yogyakarta: Jalasutra, Cet. III.
Bertens, Kees. 2001. Perspektif Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Cetakan V. 
De Saussure, Ferdinand. 1966. Course in General Linguistics. New York, Toronto, London: McGraw-Hill Book Company.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik &  Dinamika Sosial Budaya. Jakarta:Gramedia.
Kusaeri, YS. 2009. Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang. Rembang: CV. Duta Mulia
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. cet. Ke -4.
________. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.



[1] Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra (2006), signified lebih tepat diartikan “tinanda” daripada “petanda”. Kata “tinanda” berasal dari kata “tanda” dan mendapat sisipan ‘-in’, yang memiliki arti sesuatu yang ditandai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar