DESA “KUTUKAN” BAGI
PARA PEJABAT
(Analisis Semiotika
Mitos Joko Modo dari Rembang)
Samidi
Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama Semarang
E-mail : samidi.khalim@yahoo.co.id
Abstrak
Artikel
ini merupakan ringkasan penelitian pada salah satu mitos yang masih eksis di
Kabupaten Rembang, yaitu kisah Joko Modo. Mitos ini sampai sekarang masih
diyakini oleh masyarakat Rembang. Mitos Joko Modo menjadi penyebab para pejabat
atau pegawai pemerintah tidak berani masuk ke Dukuh Modo Desa Jadi Kecamatan
Sumber Kabupaten Rembang tersebut. Ada kepercayaan bahwa para pejabat akan
lengser dan pegawai pemerintah akan mendapat musibah jika masuk Dukuh Modo. Penulis
menggunakan analisis semiotika Ferdinand de Saussure untuk mengurai makna mitos
Joko Modo tersebut. Mitos
Joko Modo
sebenarnya merupakan
bentuk komunikasi masyarakat melalui tanda dan kode tertentu yang memiliki
nilai-nilai kearifan lokal. Makna semiotik tersebut diantaranya yaitu: setting
sosial budaya munculnya mitos adalah masyarakat agraris, perbedaan kelas sosial dan tingkat ekonomi dalam suatu masyarakat
dapat menjadi pemicu konflik, dan pentingnya identitas diri atau
wilayah.
Kata Kunci: mitos, Joko Modo, semiotik.
Abstract
This article is a
summary of research to
one of the myths that exist in
Rembang, i.e. The Myth of
Joko Modo. This
myth is still believed by the society
of Rembang. The
myth
of Joko Modo is the cause of officials or government
employees do not dare go into Hamlet Modo Village Jadi Sub-district Sumber Rembang. There
is a belief that the officials will
be wratched and government employees will get a disaster if they are come to Hamlet Modo. The author
used semiotic
analysis of Ferdinand de Saussure to parse the meaning of Joko Modo myth. The myth of Joko Modo is a form of public communication through
signs and the specific code that has the values of local wisdom. The semiotic
meanings of Joko Modo mith such
as: socio-cultural settings emergence myth is an agrarian society, social class
differences and economic levels in a community can be a trigger of conflict,
and the importance of self-identity or territory.
Key words: myth, Joko Modo, semiotic.
I. PENDAHULUAN
Mitos merupakan
salah satu bentuk tradisi lisan yang diwariskan secara turun temurun, tidak
dibukukan dan tidak diketahui siapa pengarangnya (anonim). Kebenaran mitos
sulit untuk dibuktikan secara ilmiah, bahkan oleh sebagian orang dianggap
cerita fiktif atau takhayul saja. Meskipun demikian, masih banyak juga
masyarakat di era modern ini masih percaya atau bahkan takut dengan mitos-mitos
tertentu. Di sebagian daerah ketakutan seseorang atau masyarakat akan “keramat mitos”
dapat menghambat pembangunan atau kemajuan. Hal ini sebagaimana yang terjadi di
Jawa Tengah, terdapat 17 padukuhan dari 10 kabupaten yang sampai saat ini belum tersentuh oleh pembangunan program pemerintah akibat berkembangnya cerita mistik atau
mitos.
Daerah-daerah yang belum tersentuh oleh program pembangunan pemerintah
tersebut sebenarnya bukan karena terisolasi atau terpencil, tetapi karena
adanya mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos yang membuat ketakutan para
abdi Negara, yaitu siapa pun Pegawai Negeri Sipil (PNS atau ASN) atau pejabat pemerintah yang
masuk ke wilayah tersebut, akan menerima musibah atau setidaknya lengser jabatannya (Suara Merdeka: Jumat, 3
Oktober 2014).
Berita tentang adanya mitos bagi para Aparatur Sipil Negara
(ASN) yang akan mendapat kesialan karena memasuki padukuhan tersebut dibenarkan
oleh praktisi sosial Sadiman Al Kundarto. Menurut Sadiman, bahwa daerah-daerah
tersebut tidak terjamah oleh program pemerintah bukan karena terpencil. Semua
urusan pemerintahan berada di luar dukuh, bahkan sampai sekarang para bupati
tidak berani mengutus stafnya ke dukuh-dukuh tersebut (Suara Merdeka: Jumat, 3
Oktober 2014). Dari tujuhbelas daerah
yang berhasil diidentifikasi oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah, dua dukuh
berada di Kabupaten Rembang, yaitu Dukuh Ngaglik di Desa Kedungasem dan Dukuh Modo di Desa Jadi Kecamatan Sumber.
Rembang termasuk daerah pesisir yang memiliki sejumlah folklor berupa dongeng, mitos, atau
legenda yang masih dipelihara dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Folklor
merupakan kebudayaan kolektif yang hidup dalam suatu masyarakat. Sifat folklor
pada umumnya diwariskan secara turun temurun, secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja,
1984:2). Menurut Jan Harold
Brunvand (dalam Danandjaja, 1984:21), folklor mempunyai tiga bentuk, yaitu :
folklor lisan (verbal folklore); folklor sebagai lisan (partly verbal
folklore); dan folklor bukan lisan (non verbal folklore).
Mitos merupakan
folklor lisan yang diwariskan secara turun temurun. Dalam konteks pembangunan,
ketika mitos dipandang sebagai produk kebudayaan, maka penting untuk melihat
bagaimana masyarakat memproduksi dan memahami makna melalui bahasanya. Melalui
mitos tersebut, makna-makna yang ada di dalamnya dapat dijadikan sebagai modal pembangunan
atau bahkan justru penghambat pembangunan itu sendiri. Sebagaimana yang terjadi
di beberapa daerah di Jawa Tengah, pembangunan menjadi terhambat karena adanya
mitos yang melingkupi masyarakat. Mitos menjadi sakral, diyakini kebenarannya
dan sangat ditakuti oleh sebagian orang.
Mitos dalam
pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi
dalam pengertian modern, mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai
citra primordial dan arketipe (Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita anonim yang
berakar dalam kebudayaan primitif. Mitos menggunakan bahasa lisan sehingga
dapat dipahami sebagai produksi makna. Makna dalam mitos tidak berdiri sendiri,
tetapi merupakan satu kesatuan dalam konteks masyarakat yang memproduksinya. Mitos
merupakan kesatuan organik yang merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasan
masyarakat yang melingkupinya, melalui cerita yang mereka hadirkan ke ruang
publik. Dengan kata lain tidak ada mitos yang muncul secara tiba-tiba, tercipta
tanpa adanya sebab.
Mitos yang berkembang dalam suatu masyarakat banyak yang
diyakini sebagai suatu kebenaran, padahal belum tentu sesuai dengan makna di
dalamnya. Mitos sebenarnya merupakan budaya yang sangat subyektif pemaknaannya,
tergantung subyek yang berada di dalam lingkaran kebudayaan tersebut. Oleh
sebab itu, ketika mitos dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi
penting untuk melihat bagaimana masyarakat memproduksi dan memaknai mitos
tersebut. Mitos yang berkembang dalam suatu masyarakat merupakan representasi
dari wordl view mereka terhadap realitas. Demikian juga dengan Kabupaten
Rembang, yang memiliki banyak cerita rakyat, dongeng, mapun legenda. Ada sekitar 48 dongeng rakyat di
Kabupaten Rembang yang berhasil dibukukan oleh Kusaeri Yusuf Sudarmo (2009) dalam bukunya yang berjudul Dongeng Rakyat
Kabupaten Rembang. Dongeng-dongeng tersebut bersumber dari 294 desa
dari 14 kecamatan di Rembang. Salah satu dongeng yang disajikan adalah dongeng
tentang Panji Sering yang bermusuhan dengan Joko Modo. Mitos atau dongeng inilah
yang melegenda sampai sekarang, dan membuat para pejabat atau aparat pemerintah
takut memasuki Dusun Modo yang berada di Desa Jadi Kecamatan Sumber Rembang.
Masyarakat meyakini adanya kebenaran mitos yang berkembang,
bahwa bagi siapa saja aparat pemerintah yang masuk ke desa tersebut akan
mendapat musibah. Implikasi dari mitos tersebut membuat Dukuh Modo yang berada
di Desa Jadi Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang ini mengalami hambatan dalam
pembangunan. Berdasarkan hal
tersebut maka penulis hendak menguraikan mitos Joko Modo
dari Desa Jadi Kabupaten
Rembang ini dan apa
makna di balik mitos tersebut.
II. METODE
PENELITIAN
1.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk field research dengan
objeknya adalah mitos yang berkembang di Dukuh Modo Desa Jadi Kecamatan Sumber Kabupaten
Rembang. Sesuai dengan objek penelitian, bahwa metode pengumpulan data ini
menggunakan metode lapangan. Artinya seluruh data digali dari lokasi penelitian, yaitu mitos (myth) Joko Modo yang digali dari para
informan, seperti tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan warga desa yang mengerti mitos tersebut.
Mitos pada umumnya terlahir dari individu-individu
tertentu yang kemudian muncul di tengah-tengah masyarakat. Data yang diambil dalam
penelitian ini berupa rekaman wawancara dengan informan yang kemudian
ditranskrip dari bahasa lisan Jawa menjadi bahasa tulis dan diterjemahkan atau
dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan (Lofland dan Lordland
dalam Moleong, 2000:112).
Sejalan dengan metode tersebut, maka dalam penelitian
ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu: (1) observasi, (2)
wawancara mendalam, dan (3) diskusi terfokus. Observasi yang dilakukan
adalah observasi berpartisipasi, peneliti ikut serta dalam kegiatan objek yang
diamati. Selain itu, peneliti juga melakukan pengamatan terbuka, sehingga
keberadaan peneliti diketahui oleh informan sebagai subjek dalam penelitian.
Oleh sebab itu, antara peneliti dan subjek saling mengenal.
Teknik wawancara terbagi atas dua cara, yaitu (a)
wawancara berstruktur, dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah
ditentukan, dan (b) wawancara tidak berstruktur yang dilaksanakan secara
fleksibel, sehingga peneliti dapat mengubah dan mengembangkan pertanyaan sesuai
kondisi pada saat wawancara. Teknik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan
informasi dari informan mengenai seputar mitos Joko Modo dari Desa
Jadi Kecamatan Sumber Rembang serta efek yang muncul dari adanya mitos tersebut.
2.
Metode Analisis Data
Menurut Stake (dalam Ratna, 2010:303-304) analisis
dalam kaitannya dengan studi kasus adalah intensitas perhatian pada kasus itu
sendiri secara keseluruhan. Perhatian seorang peneliti terhadap kasus harus
secara intens, paling tidak melibatkan tiga unsur, yaitu: makna lokal, makna
prediksi, dan makna konsekuensi. Makna pertama biasa disebut dengan perpsektif
emik, karena berkaitan langsung dengan hakikat objek. Makna kedua berkaitan
langsung dengan kompetensi peneliti, yaitu bagaimana seorang peneliti
menginterpretasikan objek yang ditelitinya. Makna ketiga berkaitan dengan
pembaca, yaitu resiko yang diakibatkan oleh interpretasi peneliti terhadap
objek yang dikajinya. Hubungan ketiga makna inilah yang disebut dengan makna
reflektif .
Penelitian
ini menggunakan teknik analisis semiotika Ferdinand de Saussure yang
mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Ciri khas teorinya terletak
pada kenyataan, yaitu menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Menurut Saussure
tanda-tanda (khususnya tanda-tanda kebahasaan) memiliki dua buah karakteristik
primordial, yaitu bersifat linier dan arbitrer (Budiman, 1999:38). Pokok teori
Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda,
dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yaitu signifier (penanda)
dan signified (tinanda) [[1]].
Menurut Saussure bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda dalam
pendekatan Saussure merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan
sering diidentifikasi dengan citra bunyi sebagai penanda. Jadi penanda (signifier)
dan tinanda (signified) merupakan unsur mentalistik. Dengan kata lain,
di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang
tak terpisahkan. Dengan kata lain, kehadiran yang satu berarti pula kehadiran
yang lain seperti dua sisi kertas (Sobur 2003:32). Dalam tanda terungkap citra
bunyi atau konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan antara
penanda dan tinanda bersifat bebas (arbiter), baik secara kebetulan
maupun ditetapkan. Arbiter dalam pengertian penanda tidak memiliki
hubungan alamiah dengan tinanda (Saussure dalam Sobur 2003:32).
Proses pemberian makna (signifikasi) tanda terdiri
dari dua elemen tanda. Menurut Saussure, tanda terdiri dari dua elemen tanda (signifier,
dan signified). Signifier adalah elemen fisik dari tanda dapat
berupa tanda, kata, image, atau suara. Sedangkan signified adalah
menunjukkan konsep mutlak yang mendekat pada tanda fisik yang ada. Sementara
proses signifikasi menunjukkan antara tanda dengan realitas aksternal yang
disebut referent. Signifier dan signified adalah produksi
kultural hubungan antara keduanya.
III. MITOS
JOKO MODO DAN KUTUKAN BAGI PEJABAT
Mitos Joko Modo
Mitos dari Dukuh
Modo Rembang ini berawal dari permusuhan antara dua orang sakti, yaitu Joko
Modo dan Panji Sering. Joko Modo adalah pemuda desa anak petani, sedangkan
Panji Sering adalah orang kaya yang masih keturunan kaum bangsawan. Joko Modo lahir di suatu
dusun kecil yang sekarang dikenal dengan Dusun Modo. Dusun ini berada di desa
yang sekarang dikenal dengan Desa Jadi Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang. Sebagi seorang petani Joko Modo memelihara kerbau. Kerbau milik Joko Modo
setiap hari digembala dan sering dimandikan di suatu kubangan air (kedhung) di tepi desa bersama
kerbau-kerbau yang lain. Hingga suatu saat kerbau milik Joko Modo dikawini oleh
kerbau bule milik Panji Sering hingga bunting.
Beberapa bulan kemudian kerbau betina
milik Joko Modo melahirkan anak kerbau bule juga. Kelahiran kerbau bule tersebut di
sambut Joko Modo dengan senang hati. Namun di sisi lain Panji Sering yang
mempunyai kerbau jantan merasa bahwa anak kerbau itu adalah haknya. Padahal ada
aturan yang tidak tertulis si masyarakat, apabila
ada hewan jantan mengawini hewan betina dan beranak, maka anaknya akan
menjadi milik orang yang mempunyai
hewan betina. Namun karena keangkuhan seorang kaya, kaum bangsawan, maka Panji
Sering tetap merasa bahwa anak kerbau itu adalah miliknya. Joko Modo tetap
berada pada pendiriannya, bahwa dirinyalah yang benar dan anak kerbau itu
adalah haknya. Akhirnya perkelahian pun tidak dapat dihindarkan. Keduanya sama-sama sakti, dengan mengeluarkan
kesaktian masing-masing dalam pertarungannya.
Pertarungan terjadi selama beberapa hari, yang pada akhirnya
Panji Sering merasa kewalahan melawan kesaktian Joko Modo. Panji Sering
kemudian lari dan mencari cara untuk mengalahkan Joko Modo. Panji Sering
kemudian meminta bantuan prajurit Kabupaten rembang. Berkat bantuan prajurit
Kabupaten rembang, Joko Modo kewalahan dan bersembunyi di desanya. Dalam
persembunyian itu Joko Modo mengatur strategi, membuat benteng di empat penjuru
desa. Pada malam harinya benteng-benteng tersebut diberi obor-obor yang
menyala, agar terlihat banyak anak buah Joko Modo pada malam hari.
Panji Sering semakin kewalahan dan mengalami kekalahan. Sejak peristiwa tersebut Panji Sering bertambah benci
dan sakit hati terhadap Joko Modo. Mendengar
saudaranya dipermainkan oleh orang desa, Kanjeng Adipati Rembang naik pitam dan
membuat perhitungan dengan Joko Modo. Sang
Adipati kemudian pergi ke rumah Joko
Modo bersama dengan prajuritnya untuk mengetahui peristiwa yang
sebenarnya. Joko Modo mendengar berita akan kedatangan Kanjeng Bupati bersama prajuritnya, kemudian ia mencari cara yang tepat
untuk menjelaskan peristiwa yang sebenarnya.
Joko Modo menyamar seperti wanita yang baru melahirkan untuk menjelaskan kepada sang Bupati. Penyamaran Joko
Modo tersebut membuat Kanjeng Bupati menyadari bahwa Panji Sering yang
bersalah. Setelah Sang Bupati pergi, Joko Modo
kemudian mengatur strategi untuk mengalahkan Panji Sering. Selanjutnya Joko
Modo pergi mencari keberadaan Panji Sering, dan sampailah ia di rumah Panji
Sering dalam keadaan kosong. Kesempatan itu digunakan oleh Joko Modo untuk
mencuri tombak pusaka milik Panji Sering.
Joko Modo berhasil menemukan Panji Sering dan pertarungan
pun tidak dapat dihindarkan. Pertarungan semakin lama semakin sengit karena keduanya
sama-sama kuat. Namun pusaka yang andalan Panji
Sering telah berada di tangan Joko Modo, akhirnya Panji Sering kewalahan.
Joko Modo pada akhirnya berhasil menghunjamkan
tombak pusaka ke perut Panji Sering dan usus Panji Sering terburai keluar.
Dalam keadaan usus terburai Panji Sering masih memberikan perlawanan
semampunya. Namun akhirnya Panji Sering melarikan diri, dan sampailah ia di daerah
persawahan penduduk. Dengan menahan sakit dan memegang ususnya yang terburai di
area persawahan tersebut, maka sampai sekarang sawah itu dikenal dengan “sawah
sangga usus”.
Joko Modo mengejar Panji Sering yang melarikan diri, dan
tidak akan berhenti sebelum berhasil membunuhnya. Panji Sering terus berlari di
tengah-tengah keramaian penduduk yang berkerumun. Mereka tidak berani melerai,
hanya berteriak-teriak yang menimbulkan suara gaduh. Daerah itu sekarang
dikenal dengan “Desa Bogorrame”. Warga sekitar menyebut daerah tersebut dengan
“Nggorame”. Pertarungan masih berlanjut, sampai akhirnya mereka berdua jatuh
bergulung-gulung. Daerah tempat jatuhnya Panji Sering dan Joko Modo
bergulung-gulung tersebut akhirnya dijadikan nama sebuah desa, yaitu “Desa Megulung”
(Kusaeri, 2009:31).
Dalam pertarungan yang bergulung-gulung itu akhirnya Panji
Sering berhasil melarikan diri lagi. Ia banyak menjumpai orang desa yang sedang
ramai-ramai memandikan sapi di dalam kubangan air. Memandikan binatang ternak
di kubangan air atau kedhung merupakan tradisi masyarakat untuk menjaga
kebersihan dan kesehatan binatang ternaknya. Panji Sering masih merasakan sakit
dan begitu kehausan, kemudian ia berhenti sejenak di kedhung tempat pemandian
sapi tersebut untuk mengambil air minum. Maka untuk mengenang peristiwa
tersebut, daerah itu dijadikan nama sebuah desa “Kedung Sapen”. Setelah
mengambil air minum Panji Sering mencari apa saja yang dapat dimakan, namun
yang ia temui hanya pohon bayam di sekelilingnya. Dengan keadaan terpaksa maka
iapun memakan pohon bayam itu sampai bonggolnya. Untuk mengenang peristiwa
tersebut, maka masyarakat menjadikannya sebagai nama sebuah desa yaitu “Desa
Pol Bayem” (Kusaeri, 2009:33).
Panji Sering melanjutkan pelariannya, sampailah ia di suatu
desa yang banyak kebetulan warganya sedang berkumpul. Panji Sering bermaksud
meminta tolong kepada warga, namun justru warga beramai-ramai untuk
menangkapnya. Salah seorang warga berteriak “kekesa, kekesa!” (tangkaplah).
Akhirnya Panji Sering berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berlari menjauhi
desa. Maka untuk mengenang peristiwa tersebut, desa itu diberi nama desa
“Kesa”. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, akhirnya Panji Sering sampai di
tepi sungai. Ia berjalan menelusuri sungai dan sampailah di ujung sungai yang
jernih dan agak dalam, dalam bahasa Jawa disebut dengan kedhung. Di kedhung
tersebut terlihat sepi dan tidak ada orang yang tahu, maka Panji Sering
kemudian membersihkan lukanya yang sudah rojah-rajeh (terkoyak-koyak).
Darah mengaliri air sungai sampai terlihat merah, maka untuk mengenang
peristiwa tersebut daerah itu diberi nama desa “Kedhung Sarojeh”.
Setelah membersihkan lukanya, Panji Sering melanjutkan
pelariannya dan sampailah ia di suatu desa yang sunyi. Di desa yang sepi itu ia menenangkan diri dan berusaha
menyembuhkan lukanya. Namun tidak selang berapa lama iapun meninggal karena
lukanya yang cukup parah. Tak selang berapa lama masyarakatpun menemukan mayat
Panji Sering dan memakamkannya dengan layak di desa tersebut. Maka untuk mengenang
perjalanan Panji Sering, daerah tersebut diberi nama “Desa Sering”. Semenjak
kematian Panji Sering itulah Bupati Rembang melarang para pejabat atau kaum
bangsawan untuk memasuki Dukuh Modo.
Inilah kisah perjalanan Joko Modo dan Panji Sering yang mengiilhami
nama-nama desa di sekitar Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang. Kisah tersebut
masih hidup sampai sekarang, bahkan tidak sedikit masyarakat yang mempercayai
kebenarannya. Kekalahan Panji Sering (seorang bangsawan) dari seorang pemuda
desa menjadi legenda abadi masyarakat Kabupaten Rembang. Dukuh Modo tempat
kelahiran Joko Modo yang mampu mengalahkan seorang bangsawan menjadi momok bagi
para pejabat dan kaum bangsawan. Fobia memasuki Dukuh Modo masih diyakini oleh
masyarakat di era modern ini. Para pejabat dan pegawai pemerintah (ASN) sebagai
kaum bangsawan modern tidak ada yang berani masuk Dukuh Modo, mereka takut
mendapat musibah atau lengser jabatannya.
Mengurai
Makna Mitos Joko Modo
Konsep semiotika Ferdinand de Saussure melihat
bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi antara ‘yang
ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah
ide atau tinanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi
yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek
material dari bahasa, yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang
ditulis atau dibaca. Tinanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep.
Jadi, tinanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).
Penanda dan tinanda dalam kisah Joko Modo melawan Panji
Sering akan dapat terungkap dengan menelusuri alur cerita tersebut. Mitos
tentang Dukuh Modo tempat lahirnya kisah Joko Modo yang ditakuti
oleh para pejabat pada
dasarnya mengandung tuntunan moral yang dapat dipraktekkan dalam dunia modern
ini. Berbeda dengan kepercayaan masyarakat selama ini, yang menganggap Dukuh
Modo sebagai daerah yang keramat penuh dengan “kutukan”. Para pejabat atau
pegawai pemerintah yang masuk ke dukuh tersebut akan mendapat musibah atau
lengser dari jabatannya. Pesan-pesan moral tersebut dapat dilihat dari
“penanda” dan “tinanda” kisah Joko Modo dari Dukuh Modo yang mempertahankan
haknya melawan Panji Sering. Ada beberapa tanda yang dapat penulis
ungkapkan dari kisah Joko Modo yang menyebabkan Dukuh Modo dianggap kramat,
kutukan bagi para pegawai dan pejabat, tanda-tanda tersebut yaitu:
Nama
Tokoh
Penanda (signifier)
|
Tinanda (signified)
|
Panji
Sering
|
/pan-ji/
secara bahasa berarti tanda kebesaran atau kebanggaan dan “sering” adalah
nama diri. Pada masa dahulu nama panji hanya digunakan untuk orang-orang kaya
atau kaum bangsawan. Dalam mitos ini, Panji Sering merupakan orang kaya yang
masih kerabat Kabupaten Rembang. Ia adalah representasi kaum bangsawan yang
bersikap arogan, ingin menguasai sesuatu yang bukan haknya dengan segala
cara.
|
Joko
Modo
|
/jo-ko/
dalam Bahasa Indonesia disebut jaka atau lajang, yang berarti anak laki-laki
dewasa yang belum menikah, sedangkan “modo” adalah nama diri. Dalam mitos
ini, Joko Modo adalah simbol masyarakat desa, petani, orang kecil yang
berusaha mempertahankan apa yang menjadi haknya. Demi mempertahankan haknya,
ia berjuang dengan sekuat tenaga.
|
Joko Modo dan Panji Sering adalah nama dua tokoh yang mengilhami
lahirnya beberapa nama desa di Kabupaten Rembang. Kedua nama tersebut
menunjukkan adanya perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat, Panji Sering
adalah orang kaya dari kaum bangsawan dan Joko Modo kalangan rakyat jelata. Hal
ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya pada masa itu adalah masa feodal,
dimana strata sosial antara kaum bangsawan dan rakyat jelata terlihat jelas.
Perbedaan kelas sosial dan tingkat ekonomi dalam suatu masyarakat dapat menjadi
pemicu konflik diantara sesama warga.
Joko Modo dan Panji Sering merupakan penanda konotasi dalam
mitos atau cerita tersebut, yang sebenarnya untuk memberikan gambaran kepada
publik bahwa pada waktu itu ada tinanda (signified) antara kaum
bangsawan atau pejabat dan rakyat. Penanda-penanda konotasi atau disebut
sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan tinanda)
dari sistem yang bersangkutan. Konotator tersebut memiliki karakter umum,
global dan tersebar, yang pada akhirnya membentuk ideologi dalam suatu
masyarakat. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat
dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah suatu masyarakat.
Hewan
Ternak
Penanda (signifier)
|
Tinanda (signified)
|
Kerbau
|
/ker-bau/ binatang memamah biak yang
biasa diternakkan untuk diambil dagingnya atau atau untuk dipekerjakan
(membajak, menarik pedati) rupanya seperti lembu dan agak besar, tanduknya
panjang, suka berkubang, umumnya berbulu kelabu kehitam-hitaman. Bagi
masyarakat desa atau para petani, kerbau sering dijadikan sebagai investasi
atau sebagai sumber penghasilan tambahan.
|
Kerbau dalam mitos ini
menjadi awal mula perselisihan antara Joko Modo dan Panji Sering. Panji Sering
sebagai representasi kaum bangsawan memiliki kerbau bule jantan, sedangkan Joko
Modo sebagai representasi rakyat jelata memiliki kerbau betina pada umumnya.
Binatang ternak yang suka berendam atau berkubang ini menjadi penanda
masyarakat agraris, dipelihara oleh penduduk desa yang bermatapencarian sebagai
petani. Kerbau peliharaan Joko Modo sering digembalakan dan dimandikan dalam
kubangan air yang berada di Dukuh Modo. Kubangan yang menjadi tempat pemandian
kerbau Joko Modo sampai saat ini masih dijaga dan dipertahankan oleh warga,
untuk mengenang cikal bakal Dukuh Modo.
Perselisihan dalam
mitos Joko Modo karena adanya sikap arogansi dan memaksakan kehendak dari
seorang bangsawan Panji Sering. Sikap ini tampak dalam kisah, bahwa dalam hukum
adat dimana ada kerbau atau binatang ternak yang kawin dan melahirkan anak,
maka anaknya adalah milik orang yang mempunyai binatang ternak betina. Panji
Sering sebagai pemilik kerbau bule jantan yang telah mengawini kerbau betina
milik Joko Modo, merasa lebih berhak memiliki anak dari perkawinan kerbau
tersebut. Sementara itu Joko Modo mempertahankan apa yang menjadi hak dan
keyakinannya. Perbedaan pendapat tersebut berakhir dengan pertarungan, yang
kemudian menewaskan Panji Sering. Hukum adat meskipun tidak tetulis pada
dasarnya merupakan aturan yang mengikat bagi warganya.
Penanda konotasi yang
berupa kerbau dan perkawinannya, pada dasarnya untuk menegaskan sebuah tata
aturan yang berlaku di dalam suatu masyarakat, yaitu hukum adat. Hukum adat
merupakan konvensi, kesepakatan bersama yang harus ditaati dan dijaga
bersama-sama dalam rangka memelihara kerukunan dan kedamaian di dalam suatu
masyarakat. Jika hukum adat dilanggar oleh seseorang, maka sanksi sosial pasti
akan berlaku. Inilah bentuk komunikasi sosial yang sebenarnya hendak
disampaikan melalui kisah Panji Sering, meskipun ia seorang pejabat atau
bangsawan, karena melanggar aturan adat tetap saja terkena sanksi sosial.
Nama-nama Desa
Penanda (signifier)
|
Tinanda (signified)
|
Desa
Bogorrame, Desa Kedhung Sapen, Desa Megulung, Desa Pol Bayem, Desa Kesa, Desa
Kedhung Serojeh, Desa Sering
|
Nama-nama desa diambil dari perjalanan
Panji Sering melarikan diri dari kejaran Joko Modo yang dikaitkan dengan
suatu peristiwa tertentu.
1. Bogorrame
berasal dari dua kata, yaitu “bogor” (pohon) dan “rame” (keramaian). Desa
Bogorrame diambil dari peristiwa keramaian warga yang menyaksikan pertarungan
Panji Sering dengan Joko Modo.
2. Kedhung
Sapen berasal dari dua kata, yaitu “kedhung” dan “sapi”. Desa Kedhung Sapen diambil dari peristiwa
ketika Panji Sering melewati penduduk yang ramai-ramai memandikan sapi di kedhung.
3. Megulung
berasal dari kata “gulung” yang mendapat awala “me”. Desa Megulung diambil
dari pertarungan Joko Modo dan Panji Sering ketika bergulung-gulung ke tanah.
4. Pol
bayem berasal dari dua kata, yaitu “pol” yang ujung dan bayem (tanaman
sayuran). Desa Pol Bayem diambil dari peristiwa Panji Sering memakan pohon
bayam sampai ke pangkalnya.
5. Desa
Kesa berasal dari kata “kekesa” yang berarti tangkaplah. Pada saat Joko Modo
mengejar Panji Sering banyak penduduk yang menyaksikan, kemudian ia
memerintahkan penduduk untuk menangkap Panji Sering, “kekesa!”
6. Desa
Kedhung Serojeh diambil dari peristiwa ketika Panji Sering membersihkan lukanya yang sudah rojah-rajeh
(terkoyak-koyak) di suatu kedhung.
7. Desa Sering diambil dari nama
Panji Sering sendiri yang menghabiskan sisa hidupnya di daerah tersebut.
|
Nama-nama desa yang
didasarkan pada peristiwa perseteruan Joko Modo dan Panji Sering, pada dasarnya
adalah untuk mengabadikan peristiwa tersebut. Peristiwa sejarah di masa lampau
yang hanya bersumber dari cerita rakyat dan tidak ada bukti-bukti tertulis yang
mendukung. Kisah Joko Modo dan Panji Sering adalah tokoh-tokoh yang mengilhami
berdirinya beberapa desa di daerah Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang.
Penyelidikan nama-nama tempat atau asal usul suatu daerah disebut toponimi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toponimi memiliki dua makna, yaitu
cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat dan makna kedua adalah nama
tempat itu sendiri. Nama tempat yang dimaksud sesuai dengan penjelasan dalam
aspek geografis, tidak terbatas pada nama suatu daerah. Sedangkan onomastika
adalah penyelidikan tentang asa-usul, bentuk, dan makna nama diri, terutama
nama orang dan tempat.
Nama adalah identitas diri suatu objek yang akan menjadi
ciri atau penandanya. Nama itu melekat erat sebagai identitas tunggal bagi tiap
obyek hingga akhir hayat, tidak hanya bagi manusia saja, tetapi juga bagi suatu
wilayah (dusun, desa, atau kawasan pulau). Toponimi ini juga digunakan untuk
menetapkan suatu daerah atau kawasan yang telah musnah, baik karena tenggelam
tertelan oleh air laut yang terus menerus menjorok ke daratan, kebakaran hutan atau
alih fungsi lahan. Di Indonesia banyak terjadi hilang atau musnahnya suatu
daerah akibat bencana alam atau bahkan perubahan iklim. Generasi berikutnya
hanya mengenal ceritanya saja, tinggal nama yang akan dikenang sepanjang masa
hingga berita lain menguburnya.
Pada era modern ini, untuk mendukung sistem pemerintahan
yang baik dan rapi, maka negara perlu memiliki kesepakatan terhadap nama suatu
tempat sebagai suatu objek. Hal ini untuk menciptakan kesepahaman dalam bahasa
yang universal dalam menyebutkan nama-nama suatu tempat. Misalnya penamaan
pulau-pulau yang bersebaran di seluruh wilayah Indonesia, dari ujung barat
sampai ujung timur. Jika tanpa adanya aturan yang jelas, pembakuan dan kesepakatan
nama geografis, maka akan dengan mudah pulau-pulau tersebut diklaim atau
dicaplok oleh Negara lain. Seperti akhir-akhir ini yang terjadi dengan sikap
arogansi Malaysia yang berusaha mencaplok beberapa wilayah Indonesia yang
berdekatan dengannya.
Akhir dari Permusuhan
Penanda (signifier)
|
Tinanda (signified)
|
Panji Sering kalah dan mati
|
/ma-ti/ bagi makhluk hidup mati
berarti hilang nyawanya, sudah tidak hidup lagi. Kematian Panji Sering
menjadi akhir dari mitos ini, dan daerah peristirahatan terakhirnya dijadikan
sebagai nama desa, yaitu “Desa Sering”.
|
Akhir dari mitos ini
adalah kematian Panji Sering, kemudian tempat dimana ia dimakamkan dikenal
dengan “Desa Sering”. Kematian Panji Sering bukanlah tanpa sebab, ia mati
karena ditusuk oleh Joko Modo dengan senjatanya sendiri. Penanda sosial yang
dapat dibaca dari kisah ini yaitu bahwa siapa saja yang berbuat kejahatan,
tidak mematuhi tata aturan yang berlaku maka ia akan mendapat celaka atau
berujung pada maut. Sanksi sosial atau hukuman akan berlaku bagi siapa saja
yang melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat, meskipun ia orang kaya,
kaum bangsawan, ataupun pejabat.
Kematian Panji Sering
membuat Bupati Rembang murka, kemudian
melarang para pejabat kabupaten atau kaum bangsawan untuk memasuki Dukuh Modo.
Sang Bupati sadar bahwa kerabatnya yang bersalah, oleh sebab itu untuk
menghilangkan kesedihan dan menutup kenangan yang menimpa Panji Sering, maka
bupati melarang para pejabat dan kerabat kabupaten untuk pergi ke Dukuh Modo.
Dengan demikian larangan untuk para pejabat dan kaum bangsawan untuk memasuki
Dukuh Modo sebenarnya lebih bersifat preventif, untuk menghilangkan kenangan
dan menghindari konflik dengan masyarakat. Namun di sisi lain ada yang
mengartikan berbeda, larangan tersebut dianggap sebagai “wewaler” yang harus
ditaati. Para kaum bangsawan dan pejabat kabupaten tidak boleh masuk ke Dukuh
Modo karena takut akan terjadi hal sama dengan Panji Sering, mendapat musibah
bahkan kematian.
Larangan atau wewaler
Bupati Rembang dalam kisah Joko Modo dan Panji Sering ini masih hidup sampai
sekarang. Masyarakat percaya, bahwa siapa saja pejabat atau kaum bangsawan yang
masuk ke Dukuh Modo akan lengser jabatannya atau mendapat musibah seperti Panji
Sering. Sementara di era modern ini, kaum bangsawan atau ningrat mengalami
pergeseran makna di masyarakat. Kaum bangsawan modern adalah mereka para
pegawai pemerintah (PNS atau ASN) dan para pejabat di lingkungan pemerintahan.
Inilah sumber mitos di Dukuh Modo yang membuat masyarakat takut, khususnya para
pegawai pemerintah dan pejabat. Mereka fobia memasuki Dukuh Modo, khawatir
lengser jabatan atu akan mendapat musibah jika memasuki Dukuh Modo. Ketakutan
para pegawai pemerintah dan para pejabat ini yang kemudian menyebabkan berbagai
macam bantuan pembangunan di Dukuh Modo terhambat. Para pejabat penentu
kebijakan takut memasuki dukuh, sehingga tidak tahu persis kondisi
masyarakatnya yang serba kekurangan dan memprihatinkan. Bantuan pembangunan pun
tidak pernah masuk sampai ke dukuh, berhenti sampai batas dukuh seperti
pembangunan talut yang pada saat ini sedang dikerjakan.
Mitos tentang lengsernya para pejabat atau sialnya para
pegawai pemerintah yang memasuki Dukuh Modo ternyata saat ini sudah luntur. Hal
ini terbukti dengan adanya salah satu warga Dukuh Modo yang sudah menjadi
pegawai pemerintah (ASN) di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Sumber, yaitu
Edi Mursito (38 th). Ia adalah warga Desa Jadi yang menjadi menantu kepala
dukuh dan satu-satu warga Dukuh Modo yang menjadi pegawai pemerintah, setelah
mengabdi selama 19 tahun 10 bulan. Istri Edi Mursito juga belum lama ini
diangkat sebagai guru di salah satu Taman Kanak-kanak di Desa Jadi. Selain itu,
Dukuh Modo yang dikenal dengan “limo sudo” (lima pasti berkurang) jumlah
warganya, kini sudah tidak lagi. Warga Dukuh Modo sekarang (pada saat
penelitian ini dilakukan) sudah terdapat 15 kepala keluarga (KK). Hal ini
menunjukkan adanya kemajuan di Dukuh Modo, bahwa mitos yang selama ini ditakuti
ternyata tidak terbukti.
IV.
PENUTUP
Mitos Joko Modo melawan
Panji Sering merupakan simbol perlawan rakyat terhadap kaum bangsawan. Tokoh
Joko Modo adalah simbol rakyat desa dan Panji Sering adalah simbol kaum
bangsawan. Pertarungan tersebut diakhiri dengan kematian Panji Sering, yang
kemudian membuat Bupati Rembang murka. Kemurkaan sang Bupati diluapkan dengan
membuat larangan para pejabat kabupaten atau
kaum bangsawan untuk memasuki Dukuh Modo. Larangan atau “wewaler” bupati
tersebut pada mulanya untuk menghilangkan kesedihan dan menutup kenangan yang
menimpa Panji Sering. Namun pada perkembangannya “wewaler” tersebut dianggap
sebagai suatu “kutukan” terhadap Dukuh Modo. Kaum bangsawan dan pejabat tidak
boleh masuk ke Dukuh Modo karena akan mendapat celaka seperti Panji Sering.
Larangan atau “wewaler” Bupati Rembang bagi pejabat atau
kaum bangsawan agar tidak masuk ke Dukuh Modo menjadi sumber mitos, ketakutan
para pegawai pemerintah (bangsawan modern) dan para pejabat. Ketakutan para
pegawai pemerintah dan para pejabat ini yang kemudian menyebabkan berbagai
macam bantuan pembangunan di Dukuh Modo terhambat. Para pejabat penentu
kebijakan takut memasuki Dukuh Modo,
sehingga tidak tahu persis kondisi masyarakatnya yang serba kekurangan dan
memprihatinkan dan bantuan pembangunan pun tidak pernah masuk ke dukuh.
Fobia atau perasaan takut para pegawai pemerintah dan para
pejabat di era sekarang untuk memasuki Dukuh Modo sudah tidak beralasan. Di
Dukuh Modo sendiri pada saat ini ada salah satu warganya yang menjadi pegawai
pemerintah (PNS).
Selain itu, Dukuh Modo yang mendapat “kutukan” selamanya akan dihuni hanya oleh
lima keluarga (Modo = limo sudo) sekarang tidak berlaku lagi. Warga
Dukuh Modo sekarang (pada saat penelitian ini dilakukan) sudah terdapat 15
kepala keluarga (KK). Hal ini menunjukkan adanya kemajuan di Dukuh Modo, bahwa
mitos yang selama ini ditakuti ternyata tidak terbukti.
DAFTAR
PUSTAKA
Barthes,
Roland. 2010. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi
Tanda, Simbol, dan Representasi. Terj. Ikramullah Mahyudin. Yogyakarta:
Jalasutra, Cet. III.
Bertens, Kees. 2001. Perspektif
Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Danandjaja,
James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Cetakan
V.
De
Saussure, Ferdinand. 1966. Course in General Linguistics. New York,
Toronto, London: McGraw-Hill Book Company.
Hoed, Benny
H. 2011. Semiotik & Dinamika
Sosial Budaya. Jakarta:Gramedia.
Kusaeri,
YS. 2009. Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang. Rembang: CV. Duta Mulia
Putra,
Heddy Shri Ahimsa. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Kepel Press
Ratna, Nyoman Kutha.
2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada
Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobur,
Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
cet. Ke -4.
________.
2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[1] Menurut
Heddy Shri Ahimsa-Putra (2006), signified lebih tepat diartikan
“tinanda” daripada “petanda”. Kata “tinanda” berasal dari kata “tanda” dan
mendapat sisipan ‘-in’, yang memiliki arti sesuatu yang ditandai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar