DIMENSI TEOLOGIS NASKAH KBG 391 KOLEKSI PNRI[1]
Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id
I.
Pendahuluan
Naskah KBG 931 merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI). Berdasarkan kode tersebut, berarti naskah ini
merupakan koleksi Naskah Jawa (Koninklijk
Bataviaasch Genootschap), yang penulis temukan di dalam “Katalog Induk
Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia” jilid 4
(Behrend, 1998:257). Dalam katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, (T.E. Behrend dan Titik Pudjiastuti,
1997), naskah ini masuk ke dalam naskah lain-lain. Kode dalam katalog tersebut
adalah LL.7 Platenalbum Yogya 6-8. Beberapa katalog yang penulis telusuri,
seperti Katalog Naskah-naskah
Perpustakaan Pura Pakualaman (Sri Ratna Saktimulya, 2005), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid
1: Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Behrend, 1990), dan juga Direktori Edisi Naskah Nusantara (Edi S.
Ekajati, 1999) tidak ditemukan keterangan tentang naskah KBG 931. Dalam
penelitian ini, naskah yang dipilih adalah naskah KBG 931 yang menjadi koleksi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).
Pada
halaman muka naskah KBG 931 bertuliskan “Dongeng
Konthol Sewu” dalam aksara Jawa, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
“Dongeng Penis Seribu”. Membaca judul naskah tersebut secara sekilas terlihat
porno atau jorok, atau barangkali bertanya apa maksud judul tersebut. Padahal
tidaklah demikian, jika dibaca semuanya secara seksama, ternyata naskah
tersebut mencerminkan budaya Jawa pada masanya yang sarat dengan pesan-pesan
moral. Pesan moral tersebut masih relevan bagi kehidupan masyarakat jaman
sekarang. Disamping itu, dongeng dalam naskah KBG 931 mengandung dimensi
teologis, pesan moral kepada masyarakat dalam memahami dan menyikapi takdir.
Takdir
merupakan wilayah kajian teologi atau aqidah dalam agama Islam. Aqidah sebagai
ketentuan dasar keimanan seorang muslim atau merupakan landasan dari segala
perilakunya, bahkan aqidah merupakan landasan bagi ketentuan syariah yang
merupakan pedoman bagi seseorang berperilaku dimuka bumi. Oleh karena itu,
aqidah tidak hanya berfungsi sebagai landasan pasif, karena aqidah tidak hanya
sekedar standar untuk mengukur perilaku seseorang, akan tetapi aqidah merupakan
tolok-ukur seseorang dalam berperilaku.
Pemahaman
dan perilaku seseorang dalam menyikapi takdir hidupnya beranekaragam, demikian
juga dengan orang atau masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan
masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup yang lahir dari tradisi bersama,
sejarah atau kepercayaan (Khalim,
2009:23). Salah satu pola hidup orang Jawa adalah dalam mempertimbangkan sesuatu yang
kurang mendasarkan pada dataran rasionalnya, tetapi lebih cenderung pada
rasa (dzauq). Di dalam rasa terkandung sikap batin eling (ingat),
artinya ingat akan asal usulnya sendiri yang Ilahi. Pola hidup dengan
mengutamakan rasa diwujudkan dalam perilaku sikap hidup mistis, yang berpangkal
pada kepercayaan adanya roh-roh yang menempati benda, tumbuhan, binatang atau
diri manusia sendiri. Kemudian untuk mengendalikan kekuatan roh-roh tersebut,
maka banyak orang yang melakukan tapa
brata- laku keprihatinan, agar
memiliki kekuatan adikodrati untuk mengendalikan kekuatan tersebut (Khalim,
2009:24-25). Sikap masyarakat Jawa tersebut ada sejak zaman animism-dinamisme
sampai masa keislamam, atau dalam istilahnya Simuh dari zaman Kabudhan (tradisi
Hindu-Budha) sampai zaman Kewalen (Simuh, 1996:124).
Laku
keprihatinan masyarakat Jawa juga ditunjukkan dalam Naskah KBG 931, yaitu sikap
seseorang yang ingin mengubah takdir miskinnya dengan tapa brata. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan, bahwa naskah
tersebut mencerminkan alam “Pemikiran Jawa” dalam memaknai takdir. Dongeng
tersebut diawali dengan kehidupan sebuah keluarga yang tinggal di desa dan
hidupnya serba kekurangan. Menyadari kehidupannya yang serba kekurangan,
kemiskinan keluarganya adalah takdir yang dapat diubah. Maka Pak Slamet, kepala
keluarga tersebut, setelah berdiskusi dengan istri dan anaknya, bersepakat
untuk pergi bertapa ke Gunung Plawangan dan dilanjutkan ke Goa Langse, di tepi
Pantai Selatan (Naskah KBG 931, hal.1). Bertapa dianggap sebagai solusi untuk
mengubah nasibnya yang miskin tersebut. Namun apa yang terjadi, ikhtiar atau
usaha pak Slamet tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya Pak Slamet sadar, bahwa
untuk mengubah takdir miskin tidak dengan cara mistis (bertapa), tapi dengan
bekerja seperti orang lain pada umumnya (Naskah KBG 931, hal.10).
Dongeng
Pak Slamet tersebut tidak banyak berkembang dalam masyarakat Jawa. Namun
dongeng tersebut justru menjadi sebuah karya sastra Jawa klasik yang
terpelihara di PNRI sampai sekarang. Dongeng yang bersumber pada teks, atau dongeng yang kemudian di
salin ke dalam teks, akan
memudahkan orang lain untuk mengaksesnya. Dengan harapan, dongeng sebagai
bagian budaya manusia dapat dinikmati dan dilestarikan oleh generasi
berikutnya. Menurut pakar Psikologis Klinis asal Australia, George W. Burn
(2001), bahwa cerita atau dongeng itu memiliki kekuatan yang dapat menumbuhkan
sikap disiplin, membangkitkan emosi, memberi inspirasi, memunculkan perubahan,
menumbuhkan kekuatan pikiran-tubuh, dan dapat menyembuhkan.[2]
Selain
itu, dogeng dalam Naskah KBG 931 tersebut juga mengandung pengajaran kepada
anak-anak atau generasi muda melalui dongeng atau kisah yang penuh dengan
simbol. Dongeng merupakan salah satu budaya yang terlahir dan hidup hampir di
setiap masyarakat manusia,
demikian juga dengan masyarakat Jawa. Dongeng menjadi media komunikasi yang
efektif (pada masanya), untuk menyampaikan pesan-pesan moral, filosofi, atau
bahkan politik kepada para pendengarnya.
Dongeng
dalam masyarakat Jawa sebagian besar bersifat tutur atau tradisi lisan, disampaikan dari lisan ke lisan. Budaya tutur atau tradisi lisan masyarakat Jawa
pada zaman sekarang ini sudah hampir punah, hanya sebagian kecil masyarakat
yang masih eksis mempertahankannya. Melalui penelitian filologis ini peneliti
mencoba mengangkat salah satu dongeng yang bersumber pada manuskrip (naskah).
Adapun yang menjadi focus kajian adalah bagaimana bagaimana suntingan teks dan
dimensi teologis Naskah KBG 931 koleksi Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia tersebut. Namun karena makalah ini hanya ringkasan, maka yang
disajikan hanya deskripsi naskah sedangkan suntingan teks tidak ditampilkan.
II.
Metode Penelitian
Sumber
primer data penelitian ini adalah Naskah KBG 931 koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI). Untuk menjawab kedua permasalahan penelitian
tersebut, maka akan dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu: metode
Filologi dan metode Tinjauan Pustaka. Metode filologi sebagai metode
penggarapan teks yang akan melahirkan hasil suntingan teks, metode Tinjauan
Pustaka untuk analisis isi teks yang mengungkap makna teologis teks KBG 931.
Metode analisis isi (content analysis) teks akan digunakan dengan pendekatan ilmu
kalam secara tematik.
III.
Temuan dan Pembahasan
A. Identifikasi Naskah KBG 931
KBG berasal dari adanya
berbagai macam koleksi dan subkoleksi asal Koninklijk
Bataviaasch Genootschap yang kemudian dikenal dengan hanschriften KBG. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sampai
penelitian ini dilakukan, memiliki 1186 buah naskah kertas koleksi KBG Jawa
(Behrend, 1998:xviii). Identifikasi BG hanya dikhususkan untuk naskah BG Jav.
(atau BG Dj), karena penerbitan “Lijts der Javaansche Handschriften in de
Boekerij van Het Kon. Bat. Genootschap” (Poerbatjaraka, 1993). Pada katalog
tersebut naskah Jawa yang diikutsertakan dan semacam system singkatan diapakai
untuk identifikasi bagian koleksi asal masing-masing naskah. Untuk koleksi
tertutup, singkatan biasanya dipertahankan oleh Poerbatjaraka (Br, CS, Eng),
tetapi untuk koleksi terbuka digunakan singkatan BG untuk naskah kertas,
sedangkan untuk lontar, sama sekali tidak digunakan kode huruf di depannya (Behrend,
1998:xviii).
Naskah koleksi KBG sudah
banyak yang dideskripsikan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(PNRI). Pada masa Belanda dulu, pengadaan setiap naskah biasanya tercatat
dengan rapi, disebutkan dalam notulen. Deskripsi yang pernah dialkukan biasanya
meliputi tentang isi, asal-muasal naskah, dan juga sejarah perolehannya. Ada
beberapa sarjana atau pakar yang melakukan katalogisasi koleksi naskah KBG
tersebut, diantaranya adalah Cohen Stuart (1872), Van Den Berg (1875), Pigeaud
(1931), dan juga Poerbatjaraka sendiri (1940a, 1940b, 1950).
Naskah KBG dengan nomor
kode 931 merupakan salah satu
koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Kode tersebut
menunjukkan koleksi Naskah Jawa (Koninklijk
Bataviaasch Genootschap), yang hanya penulis temukan di dalam “Katalog
Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia” jilid 4
(Behrend, 1998:257). Karena dari beberapa katalog yang penulis telusuri,
seperti Katalog Naskah-naskah
Perpustakaan Pura Pakualaman (Sri Ratna Saktimulya, 2005), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid
1: Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Behrend, 1990), dan juga Direktori Edisi Naskah Nusantara (Edi S.
Ekajati, 1999) tidak ditemukan keterangan tentang naskah KBG 931. Dengan
demikian dalam langkah penelitian ini, naskah
KBG 931 ini diperlakukan sebagai naskah tunggal.
Identitas naskah KBG 931 (Dongeng Konthol Sewu) ini dapat penulis
deskripsikan sebagai berikut :
Judul dalam teks : “Dongeng
Konthol Sewu” (h.1)
Judul luar teks : “Dongeng Konthol Sewu” (h.i)
Koleksi :
PNRI
Nomor koleksi : KBG 931
Ukuran Sampul : 43,5 X 35,5 cm
Ukuran Halaman : 43,5 X 35,5 cm
Ukuran Blok Baris : 37 X 29,5 cm
Jumlah Baris/halaman : antara 10 sampai 13 baris perhalaman
Jilid :
1 dari 1, masih bagus
Aksara :
Jawa
Bahasa :
Jawa
Tinta :
hitam, ada rubriaksi
Halaman yang ditulis : vi + 13 halaman
Halaman Kosong : 5 (ii-vi)
Halaman Bergambar : 8 halaman (2,3,4,6,8,9,11,12)
Penj. Penomoran : penomoran halaman asli,
angka Arab 1-13, halaman i-vi tambahan
penyunting.
Jenis kertas : Kertas Eropa Tebal
Watermark : Pro Patria
Kertas Sampul : Kertas karton tebal warna hitam
Bentuk teks : prosa
Berdasarkan tulisan
(aksara) dan bahasa yang digunakan, naskah KBG 931 (Dongeng Konthol Sewu) ini menggunakan tulisan aksara Jawa modern
(sekarang)[3] dan juga
bahasa Jawa Madya. Oleh sebab itu dalam teks tidak ditemukan adanya nama
penulis, tahun penulisan, dan tempat penulisan teks. Tetapi pada halaman depan terdapat kertas
tambahan berupa kertas folio tipis yang menjelaskan tentang asal naskah, yang
bertuliskan dalam bahasa Belanda. Dalam
kertas tambahan tersebut dijelaskan bahwa, naskah tersebut merupakan koleksi
dari Ir. J.L. Moens, yang atas saran dari Dr. Th. G. Ph. Pigeaud untuk
diserahkan ke Kraton Surakarta dan Yogyakarta (th.1930). Meskipun disebutkan
bahwa naskah tersebut diberikan untuk Museum Surakarta dan Yogyakarta, tetapi
dalam katalog Naskah Yogyakarta dan Surakarta tidak penulis jumpai.
Secara umum, naskah Dongeng Konthol Sewu ini masih dalam
kondisi utuh dan dapat dibaca dengan jelas. Sampul naskah menggunakan kertas
karton tebal dengan warna hitam. Dari model penulisan, teks disusun berdasarkan
alur cerita, dalam setiap paragraf dan terdiri dari 8 paragraf. Pada akhir
penulisan terdapat satu baris teks yang berbunyi : “Lindung dongeng : Kekah kodrat bab drajad Sugih boten kenging dipun
widet” (penutup dongeng : Ketentuan Kodrat masalah drajat kekayaan atau
harta itu tidak dapat dipaksakan).
B. Dimensi Teologis Naskah KBG 931
B.1. Takdir
Miskin
Takdir yang
berarti kepastian atau ketentuan. Yaitu suatu ketentuan yang telah ditetap
Allah SWT kepada setiap hambaNya. Ketentuan ini tidak mengikat terhadap apapun
juga, dengan kehendak Allah maka itu akan terjadi. Isi takdir yang berlaku bagi
semua hamba-Nya sudah selesai pada zaman azali pada saat kitab Lauh Mahfudz dan sudah tertulis di
dalamnya perkara-perkara apa saja yang akan menimpa tiap makhluk.
Para ulama ahl as sunnah wa al Jamaah membagi
takdir menjadi dua, yaitu Taqdir Mubram
dan takdir Muallaq (Abbas, 1992:
14-15). Takdir Mubram yaitu suatu ketentuan yang bersifat pasti dan tak dapat
dirubah oleh siapapun, seperti : manusia pasti mati. Sedangkan Taqdir
Muallaq adalah suatu ketentuan berdasarkan situasi dan kondisi. Takdir Muallaq
ini seperti jika seseorang itu rajin belajar maka ia akan pandai, tapi
jika ia malas, maka ia akan bodoh; orang yang rajin bekerja akan menjadi kaya,
tapi yang malas berusaha menjadi miskin.
Manusia diciptakan oleh
Allah SWT sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan semua makhluk-Nya
yang lain, sehingga diberi amanat untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
Untuk mengelola alam ini manusia diberi kebebasan untuk mengolah dan menentukan
pilihannya. Meskipun diberikan kebebasan dalam memilih, tetapi dia tidak dapat
lepas daari takdir atau ketentuan Allah.
Ketetapan Allah SWT yang
berlaku terhadap manusia ada yang masih dapat dirubah, Taqdir Muallaq, didasarkan pada situasi dan
kondisi tertentu. Sebagaimana realita yang ditampilkan dalam Dongeng Konthol Sewu, yaitu masalah
kemiskinan yang menimpa kehidupan keluarga pak Slamet. Kondisi kemiskinan,
serba kekurangan pasti akan menyebabkan seseorang mengeluh, dan hal ini yang
sangat tidak diinginkan. Inilah yang dialami oleh keluarga pak Slamet, oleh
sebab itu dia berusaha untuk melepaskan diri dari kemiskinan tersebut. Hal ini
dapat dilihat pada teks, paragraf pertama :
“Wonten satunggaling tiyang nama pak
Slamet, gadhah anak jaler namanipun Slamet, pramila nama aran anak pak Slamet.
Sanget kamlaratanipun, saben dinten namung tansah angresah sabab kakirangan
sandhang tuwin tedha”.(KBG
931, hlm.1)
Artinya :
Ada seorang yang bernama Pak Slamet,
punya anak laki-laki namanya Slamet, karena nama anaknya inilah maka dia di
panggil Pak Slamet. Hidupnya sangat miskin, setiap hari selalu mengeluh, karena
kekurangan sandang dan pangan.
Kondisi kemiskinan ini yang kemudian membuat pak
Slamet pergi berhari-hari tidak pulang ke rumah, mencari petunjuk dari “orang
tua”, agar terlepas dari kemiskinan. Orang tua biasa disebut juga “wong pinter”
atau “dukun”, dalam budaya Jawa adalah orang yang waskita, orang yang mengetahui hal-hal gaib. Kharisma orang tua, wong pinter atau
dukun begitu besar di mata masyarakat Jawa, hingga ia menjadi rujukan dari
setiap persoalan yang mereka hadapi. Dukun merupakan konsultan spiritual yang
siap menjawab semua persoalan yang muncul di tengah masyarakat, karena diyakini
mampu menggunakan kekuatan gaib untuk kepentingan duniawi (Khalim, 2008: 45).
Untuk
mengubah nasib mengapa Pak Slamet minta petunjuk pada “OrangTua” atau Dukun. Dengan demikian, kisah ini adalah cermin
budaya orang Jawa sangat percaya pada kemampuan “wong pinter” atau dukun.
Mereka meyakini pada kemampuan adikodrati dukun, karena tidak dapat dilakukan
oleh sembarang orang. Kemampuan dukun yang memiliki daya linuwih
(melebihi orang pada umumnya) ini diperoleh dari lelaku (usaha
spiritual), yakni putus ing reh saniskara (lepas dari kenikmatan
duniawi). Sebelum seorang dukun memperoleh kemampuan yang luar biasa tersebut
biasanya ia menjalani laku keprihatinan, cegah dhahar lawan guling
(mengurangi makan dan tidur).
Kepercayaan
terhadap hal-hal yang bersifat adikodrati, keramat, dan gaib, merupakan pola
hidup orang Jawa. Kepercayaan yang kurang didasarkan pada dataran rasional,
tetapi lebih cenderung pada rasa (zauq) (Khalim, 2009: 41). Arti
penting rasa adalah perasaan, terutama perasaan akan yang Ilahiyah. Jadi rasa merupakan paham
religius di Jawa yang dapat membuka dasar keakuan Ilahiyah, maka dalam rasa
terkandung sikap batin eling (ingat), artinya ingat akan asal usulnya
sendiri yang Illahi. Kemampuan mengolah rasa adalah hal yang tidak mudah,
karena dengan mengolah rasa ini seseorang akan memiliki pengetahuan yang
adikodrati, waskita, mengetahui
hal-hal yang gaib. Kesadaran adikodrati Pak Slamet ini yang kemudian mencari
petunjuk kepada dukun, kyai atau “tiyang sepuh”, yang dianggap memiliki kuasa
adikodrati tersebut.
Setelah
memahami kemiskinan sebagai takdir mubram,
langkah atau ikhtiar yang dilakukan oleh pak Slamet adalah menjalankan petunjuk
dari “orang tua” atau “kyai” tersebut. Adapun petunjuk yang diberikan oleh
orang tua tersebut adalah agar pak Slamet nenepi
(bersamadi; bertapa) di Gunung Plawangan selama 3 hari 3 malam, kemudian
melanjutkannya di Gua Langse (tepi pantai Selatan) selama 3 malam. Dengan
menunjuk pada Gunung Plawangan dan Gua Langse, berarti setting budaya yang
ditampilkan dalam dongeng ini adalah masyarakat Jawa pedalaman[4], karena gunung dan pantai
Selatan adalah “simbol budaya” masyarakat Jawa pedalaman, khususnya masyarakat
Yogyakarta (konteks dalam naskah). Yogyakarta adalah pemangku dan pelestari
budaya Jawa, dimana masih memiliki kerajaan dan Sultan yang diakui oleh
pemerintah RI sebagai daerah Istimewa (sampai saat ini).
Solusi
yang diberikan oleh kyai dalam dongeng tersebut mencerminkan budaya Jawa asli,
yaitu budaya mistis. Budaya yang hampir ada dalam setiap ranah kehidupan
manusia, dari siklus hidup sampai permasalahan ekonomi, bahkan masalah politik
pun sampai saat ini masih begitu lekat dengan nuansa mistis. Oleh sebab itu,
solusi yang diberikan untuk menyelesaikan persoalan ekonomi bukan dengan
cara-cara rasional tetapi dengan nenepi
atau bertapa.
B. 2. Kepercayaan
Pada “Wong Tua” atau Dukun
Masyarakat
Jawa pada umumnya sudah tidak asing lagi dengan tradisi perdukunan dengan
segala bentuknya. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam naskah, bahwa untuk
mengubah nasibnya Pak Slamet pergi mencari petunjuk dari kyai, “orang tua” atau
dukun. Perdukunan telah memiliki akar sejarah yang cukup lama, dan menjadi bagian
dari tradisi bahkan ideologi masyarakat Jawa yang berjalan turun temurun.
Meskipun masyarakat Indonesia telah mengalami perkembangan dan bahkan perubahan
tradisi yang cukup bervariasi, namun tradisi perdukunan seakan tak lapuk
ditelan zaman.
Para
dukun memiliki keahlian yang sangat beragam, baik yang bersifat praktis dan
kasat mata, seperti menyembuhkan orang sakit, dukun sunat, dukun pijet, dukun calak,
dukun paes, maupun yang tidak kasat mata (ilmu gaib). Di antara mereka yang
memiliki ilmu gaib diyakini memiliki kemampuan untuk mendatangkan atau,
menghentikan hujan, menyembuhkan penyakit yang sulit disembuhkan, mencegah
bahaya, penglaris (membuat dagangan menjadi laris), dan lain-lain.
Purwadi (2004) menyebut dukun dalam kategori ini sebagai dukun produktif, yakni
dukun yang hanya memberikan pelayanan untuk kebaikan dan dengan cara yang baik;
Sedangkan dukun jenis kedua adalah dukun progresif atau destruktif, yakni dukun
yang memberikan pelayanan untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Biasanya dukun
seperti ini menggunakan ilmu hitam atau sihir.
Ada
juga dukun yang memiliki keahlian membuat ramalan berdasarkan petangan.
Jasa mereka biasanya digunakan oleh para petani yang ingin mengetahui hari baik
untuk menanam atau memanen, orang tua yang ingin mengetahui hari baik untuk
pernikahan anaknya, pedagang yang ingin mengetahui hari baik dalam melakukan
perjalanan atau bertransaksi, dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1986).
Kecuali
dengan ilmu gaib, peramal juga menggunakan ramalan berdasarkan ilmu
perbintangan (astronomi), berdasarkan letak tulang-belulang yang disebar
(astrogolomanci), berdasarkan hitungan jatuhnya usus ayam yang ditaburkan,
berdasarkan arah terbang dan suara burung (ornitomanci), dan masih
banyak jenis petangan lain yang digunakan (Koentjaraningrat, 1986).
Jenis petangan tersebut merupakan ilmu yang bersifat universal, karena
dapat digunakan dalam banyak tradisi di seluruh dunia.
Dukun
merupakan konsultan spiritual yang siap membantu mengatasai berbagai persoalan
yang muncul di tengah masyarakat. Umumnya masyarakat Jawa beranggapan, bahwa
seorang dukun adalah figur yang memiliki kemampuan yang luar biasa di atas
kemampuan orang pada umumnya. Kemampuan dukun ini sering dikaitkan dengan
hal-hal yang bersifat ghaib atau transpersonal, mengetahui nasib seseorang,
menyembuhkan orang sakit, dan lain-lain.
Kepercayaan
dan keyakinan terhadap dukun atau “Tiang
Sepuh” terdapat pada naskah KBG 931 ini. Sebagaimana dalam dialog Pak
Slamet dengan istrinya,
Ingkang estri lajeng
pitakon : “Pakne Slamet, kowe diparingi pitedah kepriye karo kyaine ?”. Pak
Slamet mangsuli : “mangkene bokne, aku dak kandha rungokna. Satekaku ngarsane
kyai, aku ngaturake bab anggonku kemlaratan saben dina mung tansah susah kurang
sandhang lan kurang pangan. Dawuhe kyai aku wus dipethek ora duwe krejan. Dene
yen mung kapengin bandha ya bisa kelakon, janji mathep lan demen. Aku matur
mantep. Kyai dawuh manawa arep katurutan apa kang dadi sedyaku, aku dikon
nenepi nang Gunung Plawangan 3 dina 3 bengi. Sawise tutug 3 dina 3 bengi, aku dikon
terus menyang Guwa Langse pinggir Pasisir Kidul 3 dina”, mangkono dawuhe kyai.
Yen mangkono bokne, wis kowe .... muji ing Gusti Allah, mangsa bodhoa ngomah
karo anakmu. Aku sumeja nglakoni dawuhe kyai, kang mantheng pujimu bokne!.
Ingkang estri mangsuli : “iya bapakne, muga-muga Gusti tansah ngijabahana kang
dadi sejaku lan sejamu!”. Pak Slamet lajeng mangkat. (KBG 931, hlm.1)
Artinya :
Istrinya
kemudian bertanya : “ wahai bapaknya Slamet, kamu diberi petunjuk apa oleh pak
Kyai ?”. Pak Slamet kemudian menjawab demikian : “begini bu, aku akan
bercerita, dengarkanlah. Sesampainya aku di hadapan pak Kyai, aku bercerita
tentang kemiskinan kita yang setiap hari selalu kekurangan sandang dan pangan.
Aku sudah ditebak oleh pak Kyai jika aku tidak punya pekerjaan. Dan jika hanya
ingin harta benda, pasti akan terlaksana, dengan catatan yakin dan mantap. Aku
menjawab kalau aku sudah mantap. Kyai menyuruhku jika ingin kesampaian apa yang
menjadi keinginanku, maka aku harus menepi
(bertapa) di Gunung Plawangan selama 3 hari 3 malam. Setelah selesai 3 hari 3
malam, maka aku disuruh melanjutkan pergi ke Gua Langse di tepi pantai Selatan
selama 3 hari, demikian perintah pak kyai. Kalau demikian bu, sudah kamu ...
berdo’alah kepada Gusti Allah, masa bodoh dengan rumah dan anakmu. Aku bertekad
menjalankan perintah pak kyai, yang sungguh-sungguh kamu berdoa, bu!. Istrinya
menjawab : “iya pak, semoga Tuhan mengabulkan apa yang menjadi keinginanku dan
keinginanmu !”. Pak Slamet kemudian berangkat.
Dialog
tersebut menunjukkan adanya kepercayaan Pak Slamet terhadap dukun (dalam teks
kadang disebut kyai, kadang disebut tiyang sepuh) yang mampu memberikan
solusi dari persoalan hidup yang sedang dihadapi. Dukun yang diyakini memiliki
kemampuan supranatural memberikan solusi kepada Pak Slamet untuk menyelesaikan
persoalan ekonomi secara mistis juga. Persoalan ekonomi, kemiskinan yang
menimpa keluarga Pak Slamet, dapat diselesaikan dengan cara bertapa di Gunung
Plawangan dan Gua Langse. Petunjuk dari dukun itupun dijalankan dengan penuh
keyakinan, tanpa ada protes atau kritik. Karisma dan kemampuan dukun telah
menghilangkan sisi rasional manusia (Pak Slamet), karena diayakini memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang awam.
Kemampuan
dukun yang memiliki daya linuwih (melebihi orang pada umumnya) ini
diperoleh dari lelaku (usaha spiritual), yakni putus ing reh
saniskara (lepas dari kenikmatan duniawi). Sebelum seorang dukun memperoleh
kemampuan yang luar biasa tersebut biasanya ia menjalani laku keprihatinan, cegah
dhahar lawan guling (mengurangi makan dan tidur). Bukan hanya itu, suatu
ketika, seorang dukun juga harus melakukan tapa brata di tengah hutan (alas
gung liwang-liwung) atau di tempat lain yang jauh dari keramaian. Semuanya
dilakukan dalam rangka mensucikan diri dari kotoran-kotoran duniawi yang selama
ini menutupi ketajaman nurani dalam menangkap kebenaran sejati. Seseorang yang
ingin memiliki ketajaman nurani (kawaskitan) dalam menangkap kebenaran
sejati yang tertutupi hiruk pikuk duniawi, harus melakukan usaha spiritual
dengan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi, menghindarkan diri dari
kesenangan atau kenikmatan duniawi yang bersifat material (nyingkir kadonyan).
Kepercayaan
Pak Slamet dalam dongeng tersebut, adalah sebuah tradisi budaya yang menyerupai
agama (pseudo-agama). Apa yang diyakini dan dikerjakan merupakan implemantasi
dan ajaran yang diterima secara turun temurun dari budaya dan tradisi nenek
moyang. Mereka tidak mau meninggalkan tradisi leluhur karena dianggap masih
relevan dan dapat menyelesaikan semua masalah. Ajaran moral yang diwariskan
oleh nenek moyang masyarakat Jawa dianggap memiliki nilai moral yang amat
luhur, sehingga seharusnya tetap dilestarikan. Keluarga Pak Slamet lebih
mengedepankan ajaran dan tradisi nenek moyang mereka dari pada tradisi agama
yang mereka peluk.
Sebutan
dukun, “wong pinter”, atau “wong tua” tidak lepas dari pengetahuan dan
kemampuan mereka yang sangat detil terhadap ritual atau upacara adat yang harus
dijalani dalam setiap kasus tertentu (Koentjaraningrat, 1984). Karena pada
umumnya dukun Jawa adalah penganut ajaran Islam, maka mistik Islam memiliki
pengaruh yang luar biasa dalam segala bentuk laku spiritual dan ritual
perdukunan Jawa. Apalagi ajaran Islam yang masuk ke Indonesia umumnya, dan Jawa
khususnya adalah kental dengan tradisi tasawuf yang oleh orang Barat disebut
mistik Islam (Islamic misticisme). Berbeda dengan tradisi ilmu fiqih
(syari’ah Islam) dan ilmu kalam (teologi Islam) yang cenderung rigid dan
formal, ajaran tasawuf lebih mengedepankan aspek spiritual dan substansial dari
agama. Sebagaimana dalam tradisi luhur kebudayaan Jawa, tasawuf sangat
mengedepankan aspek spiritual dan moral dari agama.
B.3.
Ikhtiar dan Terkabulnya Doa
Berdasarkan alur dongeng
tersebut, ada beberapa hal yang dapat ditarik benang merahnya, yaitu konsep ikhtiar (usaha) dan terkabulnya doa. Ikhtiar atau usaha dalam melepaskan diri
dari kesulitan ekonomi, bukan dengan cara bekerja keras, meningkatkan
produktifitas, dan memperbaiki manajemen, tetapi dengan cara nenepi. Hal ini sesuai dengan alam pikir
orang Jawa yang bersifat mistis, segala realitas ini dipengaruhi oleh dunia
batin (gaib). Oleh sebab itu petunjuk yang diberikan oleh kyai (tiyang sepuh) untuk nenepi tersebut, adalah hal yang tepat untuk menjawab permasalahan
yang sedang dihadapi oleh pak Slamet.
Pak
Slamet pada akhirnya berhasil menjalankan laku ritual nenepi dan terkabul apa yang menjadi keinginannya, diberi 3 buah
batu oleh seorang kyai yang dapat mewujudkan permintaannya. Terkabulnya doa pak
Slamet juga tidak secara langsung, tidak diberikan harta sesuai dengan
permintaannya, tetapi hanya 3 buah batu. Hal ini linear dengan laku mistis
sebagai solusi permasalahan ekonomi, dan terkabulnya pun juga dengan mistis.
Permasalahan ekonomi diselesaikan dengan cara mistis (nenepi), dan terkabulnya doa atau jawaban permasalahan ekonomi
dengan 3 buah batu yang dapat mewujudkan segala keinginan secara mistis.
Keinginan
pak Slamet untuk lepas dari kemiskinan dan menjadi orang kaya sudah ada di
depan mata. Laku ritual nenepi di
Gunung Plawangan dan Goa Langse berhasil dilaksanakan, dan mendapat 3 buah batu
yang dapat mewujudkan segala keinginannya. Sehingga apabila ia minta harta,
emas, intan berlian, rumah mewah, atau apa saja yang disebutkannya pasti akan
terwujud, sesuai dengan amanat kyai yang memberikan batu tersebut.
Setelah
sampai dirumahnya, pak Slamet bercerita kepada istrinya tentang laku ritual
nenepinya, dan mendapat 3 buah batu yang dapat mengabulkan segala keinginannya.
Tetapi sang istri, mbok Slamet, juga merasa telah berdoa seperti apa yang dilakukan oleh pak Slamet. Keberhasilan pak
Slamet dianggap oleh istrinya sebagai keberhasilannya juga, oleh sebab itu sang
istri merasa memiliki hak atas 3 buah batu tersebut yang dapat mewujudkan
keinginannya. Hal ini dapat dilihat dalam bait ke 4 (empat), sebagai berikut
:
Bok
Slamet wicanten : “We… yen mangkono bapakne, rehning aku iya melu memuji ana
ngomah, ora beda panuwunku karo panuwunmu. Luwih becik aku jaluk bagian siji”. (KBG 931, hlm. 4).
Artinya :
Bu Slamet berkata
: “oh, kalau begitu pak, karena aku juga ikut berdo’a di rumah, tidak beda
permintaanku dengan permintaanmu, lebih baik aku juga minta bagian satu”.
Perkataan bu Slamet yang merasa ikut memiliki
hak atas batu tersebut, menjadikan pak Slamet marah, dan akhirnya terjadi
perselisihan untuk mempertahankan hak mereka masing-masing. Pada saat itu
terjadilah hal yang tidak diinginkan, ketika pak Slamet melemparkan salah satu
batunya dengan niat dalam hati agar diberi kekayaan yang beribu-ribu, tetapi
lisannya salah mengucapkan, menjadi minta zakar seribu. Kemudian sekujur tubuh
pak Slamet dipenuhi dengan zakar, kesalahan ini menjadikan pak Slamet sangat
murka kepada istrinya. Kemarahan itu terucap dengan kata-kata yang kasar kepada
istrinya, sebagaimana disebutkan dalam teks berikut :
Pamuringipun
makaten : “wong wadon cupeting pangandel lan nora pisan manut kareping wong
lanang. Dadak wani krangsangan nyebut kabejan mekak kekarepan!”. Mungguh aku
kelakon sugih, apa wong wadon ora melu sugih, apa dak enggo dewe, ra ora.
Mulane dak rewangi lara prihatin rak ngupayake kowe lan anakmu. Saiki yen wis
kaya mangkene iki kepriye?”. Dadi salah dudu kleru pangucapku, jalaran saka
salah rembugmu. Wis pinesthi sajekmu uripe ora bisa lumrah uwang. Sabab kowe demen
nundhung kabegjan nyedakake kacilakan.
(KBG 931, hlm. 6)
Artinya
:
Kemarahannya demikian :
“perempuan tidak tahu diri, tidak mau percaya dan taat pada suami,
berani-beraninya meminta keberuntungan menolak keinginan. Seandainya aku kaya,
bukankah kamu juga ikut kaya. Apa untuk diriku sendiri, kan tidak ?. Aku
melakukan laku prihatin (bertapa) ini
bukankah untuk kamu dan anakmu. Kalau sudah begini jadinya, lalu bagaimana?.
Jadi kesalahan ini bukan karena ucapanku, tetapi karena kesalahanmu ngomong.
Sudah menjadi takdir, hidupmu selamanya tidak pernah wajar seperti orang lain.
Karena kamu suka menolak keberuntungan dan mendatangkan kesialan.
Dari
dialog tersebut, terlihat betapa marahnya pak Slamet, karena kesalahan istrinya
yang tidak percaya kepada suami. Pak Slamet melakukan itu semua demi keluarga
agar terlepas dari kemiskinan, tapi sang istri (bok Slamet) malah membuat
kesalahan, mendatangkan kecelakaan dan menolak keberuntungan yang sudah di
depan mata.
Setelah
(m)bok Slamet menyadari kesalahannya, kemudian dia minta maaf dan menyuruh pak
Slamet agar meminta semua zakar yang tumbuh di tubuhnya hilang semua, karena
masih ada 2 buah batu lagi yang dapat mengabulkan permintaannya. Tanpa pikir
panjang lagi pak Slamet melemparkan batu satunya lagi, karena merasa apa yang
disarankan oleh istrinya sudah benar. Tetapi apa yang terjadi, semua zakar
(penis) pak Slamet hilang, temasuk zakarnya sendiri yang asli.
Kesalahan
yang sama dilakukan lagi oleh istrinya, pak Slamet salah meminta. Maka setelah
mengetahui kalau zakarnya sendiri juga ikut hilang, pak Slamet bertambah murka
kepada istrinya. Ucapannya demikian :
“Kebangeten
temen (m)bokne kowe iku, wis ora kena digugu babar pisan gunemmu. Teka mung
tansah agawe kliru bae. Saiki kepriye?, delengna kontholku dewe melu ilang.
Panuwunku mau, konthol-konthol ilanga!”. Ora nganggo nuwun dingengehi siji. Lan
saiki ilang kabeh. (KBG
931, hlm. 7)
Artinya :
“Sungguh terlalu kamu itu bu, sudah tidak
dapat dipercaya sama sekali ucapanmu. Bisanya cuma membuat kesalahan saja,
lihatlah zakarku sendiri juga ikut hilang. Permintaanku tadi: “zakar-zakar
hilanglah, tidak minta disisakan satu pun, dan sekarang hilanglah
semuanya”.
Kemarahan pak Slamet
memuncak, karena zakarnya sendiri ikut hilang, sehingga sudah tidak percaya
lagi kepada istrinya. Mengetahui suaminya marah, maka bok Slamet merasa
menyesal dan menghibur pak Slamet dengan ucapan :
“Ya wis
ta pakne, suluh-suluh wong wis padha salahe, kowe ya mangkana ora kok pikir
dhisik. Saiki ora perlu tuduh tinuduh, sarta ora perlu muring-muring, dene watu
kari siji iku arahena enggonmu jawab aja nganti kliru. Nyuwuna sugih bae. Yen
besuk wis sugih duwit, aku tak tuku
suweng lan ali-ali matane inten. Suk kowe karo anakmu tak tukokna sruwal”.
(KBG 931, hlm.7)
Artinya :
“Ya sudahlah Pak, kita sama-sama
bersalah. Kamu juga begitu, tidak berpikir lebih dahulu. Sekarang tidak perlu
saling menuduh dan juga tidak perlu marah-marah, bukankah batunya masih tersisa
satu. Sekarang konsentrasilah kamu memohon, jangan sampai salah, mintalah kaya
saja. Besok kalau sudah banyak uang, aku
akan membeli anting dan cincin bermata berlian. Kamu dan anakmu akan kubelikan
celana !”.
Ucapan (m)bok Slamet yang
berusaha menghibur suaminya, agar tidak saling menuduh dan marah-marah, serta
mengingatkannya bahwa masih tersisa satu batu yang dapat mengabulkan
permintaannya. Tetapi pak Slamet sudah tidak percaya lagi dengan istrinya yang
selalu membuat kesalahan, bahkan hanya mementingkan enaknya sendiri, memikirkan
harta kekayaan saja. Bahkan pak Slamet menjawab dengan kata-kata kasar,
kemudian memohon sesuai dengan keinginannya sendiri dengan pelan dan sangat
hati-hati, karena batunya hanya tinggal satu. Sebagaimana terlihat pada teks
sebagai berikut :
“ndasmu
mlocot!. Lumrah bae mung enake dewe kang dirembug, ora ngrembuk sing ora lumrah
uwong iki. Puluh sugih awong ora lumrah uwong. Ora wurung atine ya ajeg susah.
Wis (m)bokne, aku ora kumudu kuduwa sugih bandha. Waton bisa pulih awakku bae.
Genep kaya mau-maune, wis trima. Pancen wis garise awakku lan awakmu mung
samene, gek kapriye maneh ?. Pak Slamet lajeng ngumbulake sela ingkang
pungkasan klayan alon-alon, ngatos-atos. Jawabipun makaten : “kula nyu wun
pulih gadah konthol satunggal kados wau-waunipun !”. (KBG 931, hlm.7)
Artinya
:
“Kepalamu botak !, kamu
hanya mikir enaknya sendiri, tidak berfikir lumrahnya orang. Jadi orang kaya
tapi hidup tidak normal, akhirnya hati juga tetap susah. Sudahlah Bu, aku tidak
harus hidup jadi orang kaya, asalkan badanku dapat kembali normal seperti
semula sudah puas. Sudah menjadi takdirku dan kamu cukup sampai disini, harus
bagaimana lagi. Pak Slamet kemudian melemparkan batu yang terakhir,
perlahan-lahan dan hati-hati. Permintaannya demikian: “saya minta kembali
memiliki dzakar satu seperti sediakala !”.
Karena
Pak Slamet sudah tidak percaya lagi dengan istrinya, maka dia kemudian berdoa
agar dikembalikan seperti sedia kala, memiliki hanya satu zakar saja. Buat apa
hidup kaya, berlimpah harta, tetapi tidak normal. Akhirnya pak Slamet
memutuskan untuk hidup normal seperti orang-orang pada umumnya, itu saja sudah
cukup baginya. Batu dilemparkan dengan doa atau keinginan tersebut, dan
akhirnya pak Slamet kembali seperti semula.
Setelah
pulih seperti sedia kala, maka pak Slamet menasehati istrinya untuk hidup wajar-wajar
saja dan mengajaknya untuk kembali bekerja, menjadi buruh dan memperoleh rejeki
sedapatnya, karena rejeki itu tidak dapat dipaksakan. Kemudian pak Slamet
merasa lega pikiran dan hatinya menjalani hidup sewajarnya, tidak mengharapkan
harta kekayaan yang belum pasti. Hal ini tercermin dari ucapan pak Slamet
kepada istrinya :
“Wis lega kang dadi pikirku (m)bokne, ora
liwat. Ayo saiki padha buruh buruh sakolehe, ora sugih jangka kang dudu
pesthine” (KBG 931,
hlm.8).
Artinya
:
“Sudah
lega apa yang menjadi beban pikiranku bu, tidak lebih. Mari sekarang kita
buruh, bekerja sedapatnya, tidak usah berharap harta yang tidak semestinya.
Inilah
ucapan terakhir dari pak Slamet dalam dongeng ini, yang mencerminkan kepasrahan
seorang hamba, setelah melakukan daya upaya (secara mistis) untuk melepaskan
diri dari belenggu kemiskinan. Tetapi pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa,
kemudian dia menyandarkan diri pada ketentuan Tuhan “Sang Penentu” segala
sesuatu. Kesadaran akan adanya kuasa Ilahi ini diperoleh setelah dia mengalami
berbagai macam peristiwa, dari kenyataan hidup dalam kemiskinan, laku ritual
mistis di gunung dan gua, sampai konflik dengan istrinya. Pada akhirnya ia
sadar betul bahwa hidup sewajarnya, dengan bekerja dan berusaha walau hanya
sebagai buruh, itu lebih nikmat daripada hidup kaya raya tetapi “tidak normal”.
Pada
akhirnya pak Slamet menyadari bahwa : ilmu Allah Subhanahu
wa Ta'ala meliputi segala sesuatu, baik di masa lalu, sekarang maupun yang
akan datang, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan
hamba-Nya. Percaya kepada kekuasaan Allah, zat yang telah menulis ketetapan
segala sesuatu. Percaya bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini disebabkan
kehendak Allah, baik yang dilakukan oleh-Nya maupun oleh mahkhluk. Percaya bahwa
Allah adalah Pencipta dan Pengatur segala sesuatu.
IV.
Penutup
Dongeng klasik dalam naskah KBG 931 tersebut merupakan
warisan budaya dari leluhur yang sudah hampir punah. Oleh sebab itu dongeng
tersebut jangan dipahami secara pornografi, tetapi sebagai warisan budaya nenek
moyang kita yang harus dilestarikan, karena sumber tertulisnya (naskah) hanya
ada di PNRI saja.
Kekayaan atau harta benda yang dimiliki oleh manusia
hanyalah titipan Tuhan, oleh sebab itu kita harus sadar jangan tamak. Rejeki
sudah ada yang mengatur, jika memang jatah kita tidak kekuatan apapun yang
mampu menghalanginya. Tetapi sebaliknya, jika rejeki itu belum jatah kita, maka
sekuat daya dan upaya apapun dikerahkan tidak dapat mendatangkan rejeki
tersebut.
Peristiwa dan perjalanan pak Slamet dalam upaya untuk
menjadi orang kaya, jika ditarik dalam ilmu kalam (teologi Islam), pada awalnya
manusia (pak Slamet) memahami kemiskinan dengan cara Qadariah, manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan
kehidupannya. Di sini manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan kehendaknya.
Namun setelah daya upaya tidak berhasil, kemudian keyakinannya berubah menjadi orang Jabariyah, manusia tidak mempunyai
kekuatan untuk menentukan kehendaknya, di sini Tuhan berperan sentral dalam
menentukan perbuatan manusia. Kemiskinan dipahami sebagi kondisi atau keadaan yang
dapat dirubah oleh daya upaya manusia. Kemudian setelah daya upaya tersebut dan
tidak berhasil, maka dia sadar betul akan kuasa Ilahi dan akhirnya bersandar,
pasrah pada nasib, segala sesuatu sudah ada yang menentukan (Jabariah). Manusia sekedar menjalankan,
berusaha (bekerja) dan berdoa, tetapi pada akhirnya Tuhan juga yang menentukan
(Asy’ariah; Ahl as
Sunnah wa al-jamaah).
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin.
1992. I’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah.
Abdullah, Muhammad.
2009. Melacak Hegemoni Kekuasaan Dalam
Khazanah Sastra Melayu Klasik (Sebuah Representasi Etos Politik Kesultanan
Islam). Semarang: Balai Litbang Agama
Al
Najjar, Amir, 1990, Al Khawarij,
Kairo.
Baried,
Siti Baroroh. dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta :
Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra
Universitas Gajah Mada.
Behrend
T.E. (ed). 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1: Museum Sonobudoyo
Yogyakarta. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
------------------
,1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara jilid 4 : Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Burns,
George W. 2001. 101 Healing Stories:
Using Metaphors in Therapy”. John Wiley & Sons Inc. New York. (edisi
bahasa Indonesia, Jakarta: Kaifa PT Mizan Pustaka, 2004).
Ekajati,
Edi S. (ed). 2000, Direktori Edisi Naskah Nusantara,
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Hanafi, Ahmad. 1993. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta :
Bulan Bintang.
Ichwan, Muhammad Nor. 2007. “Teologi
Ahl al Sunnah Wa al Jamaah : Refleksi Atas Gagasan Sentral Imam Abu Hasan al
Asy’ari” dalam Jurnal Wahana Akademika.
Vol.9, No.2 Agustus 2007. Semarang : KOPERTAIS Wilayah X Jawa Tengah.
Jabbar, Abdul. 1969. Mutasyabih al Qur’an. (ed) Adnan
Muhammad Zarzawar. Kairo: Dar al Turas.
Khalim,
Samidi. 2008. Islam dan Spiritualitas
Jawa. Semarang: Rasail.
-------------------.
2009. Tradisi Lisan Masyarakat Jawa.
Semarang: Primamedia.
-------------------.
2010. Kajian Kitab Tauhid Jawan di Pondok Pesantren Darul Ulum Ngembalrejo
Kudus. Semarang: Balai Litbang Agama.
Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Lubis,
Ibrahim, 1984, Agama Islam Suatu
Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam (Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan). Jakarta: UI Press.
Nasr, Sayed Hossein. 1988. Knowledge and The Sacred. Lahore: Suhail
Academy.
Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Naskah KBG
931 (Dongeng Konthol Sewu),tt.,
tp.
Purwadi.
2002. Penghayatan Keagamaan Orang
Jawa, Yogyakarta: Media Pressindo.
__________.
2004. Dukun Jawa, Yogyakarta:
Media Abadi.
Rozak, Abdul. Ilmu Kalam. Bandung
:Pustaka Setia. 2007.
Saktimulya,
Sri Ratna. 2005. Katalog Naskah-naskah
Perpustakaan Pura Pakualaman. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Saputra,
Karsono H. 2008. Pengantar Filologi Jawa.
Jakarta: Wedatama Widya Ssastra
Simuh,
1996. Sufisme Jawa. Yogyakarta :
Bentang Budaya.
Supriadi, D. (2007). Sulam at-Taufiq Ila Mahabbati Ilah fi
la at-Tahqiqi (Kajian Filologis dan Fungsi Naskah & Teks dalam Masyarakat).
Makalah dipresentasikan pada seminar nasional Naskah Keagamaan, di Jakarta pada
tanggal 30 November 2007-03 Desember 2007.
[1] Makalah disajikan dalam “Seminar Hasil Penelitian Kompetitif
Individual Tahun 2010” Balai Litbang Agama Semarang di Hotel Pandanaran
Semarang, 21 Oktober 2010.
[2]
Dalam dunia Psikoterapi, cerita atau
dongeng banyak memiliki “Daya Ubah” yang luar biasa, sebagaimana diungkapkan
oleh George W. Burns (2001) dalam bukunya “101
Healing Stories : Using Metaphors in Teraphy”, yang diterbitan oleh John
Wiley & Sons Inc, New York. Buku ini juga sudah diterbitkan dalam edisi
bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa PT. Mizan Pustaka, 2004.
[3] Untuk perkembangan dan
jenis-jenis aksara Jawa lihat buku yang ditulis L.Ch. Damais: Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, 1995.
[4] Pembagian budaya Jawa atas budaya pedalaman dan pesisir ini, lebih
lengkap dapat dibaca pada buku “Kebudayaan
Jawa”, Koentjaraningrat (1984).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar