Senin, 20 Maret 2017

Kajian Kitab Husunul Hamidiyah di Pontren Al Muayyad Solo



                                     Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id
 

I.                   Pendahuluan
Perkembangan Pondok pesantren di Indonesia sekarang terlihat begitu nyata, ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai, masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya (Dhofier,1982). Semua aspek tersebut saling terkait satu sama lainya, pengasuh pondok pesantren adalah pengajar utama sekaligus pemimpin pondok pondok pesantren. Santri merupakan murid di pondok pesantren yang memiliki hubungan dekat dengan kyai yakni hubungan antara murid dan guru, hubungan ini berlangsung terus menerus tidak hanya terbatas ketika santri belajar di pondok pesantren namun juga berlanjut sampai ketika santri kembali ke masyarakat. Masjid  merupakan pusat kegiatan dilangsungkan, di tempat inilah orang-orang pondok pesantren sembahyang dan belajar ilmu-ilmu agama. Sementara komplek pondok pesantren berfungsi sebagai tempat tinggal santri. Sedangkan kitab kuning yang berisi ilmu ilmu keagamaan berperan sebagai referensi dan bahan ajar yang digunakan selama proses belajar mengajar.

Pondok pesantren pada umumnya didirikan dengan tujuan untuk mendidik santri yang bertafaqquh fiddȋn dan mampu menyiarkan serta membimbing masyarakat di sekitarnya. Dengan tujuan tersebut, pondok pesantren memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan dan lembaga dakwah. Tentu saja posisi tersebut tanpa meniadakan peran lainnya yang dimiliki oleh pondok pesantren.
Seiring berjalannya waktu, tujuan didirikannya pondok pesantren tersebut di atas telah terbukti memberikan pengaruh dan hasil yang cukup membanggakan. Hingga sekarang pondok pesantren masih menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk mendidik putra-putrinya dengan harapan nantinya putra-putri yang menuntut ilmu di pondok pesantren dapat mengerti ajaran-ajaran agama Islam, memiliki akhlak yang baik serta menguasai ilmu pengetahuan.
Lembaga pesantren juga telah diakui keandalannya di dalam mencetak kader-kader ulama dan telah menjadi basis dan benteng bagi pemikiran Islam. Pesantren telah melahirkan pemikir-pemikir yang mumpuni, tidak hanya berlevel Indonesia akan tetapi pemikir bertaraf Internasional pada masanya. Hal tersebut dibuktikan dengan diakuinya penghargaan atas kredibilitas para ulama pesantren hingga karya-karya besarnya yang dijadikan sebagai bahan rujukan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan, pada pesantren itu sendiri maupun lembaga pendidikan non formal lainnya.
Menurut Martin Van Bruinessen, tidak sedikit ulama Indonesia yang telah menambah khazanah Islam tradisional dengan mengarang kitab sendiri. Ada sekitar 500 kitab karangan ulama Indonesia ( dan Malaysia ) yang tersedia di pasaran. Hampir 100 kitab ditulis dengan bahasa Arab. Lebih dari 200 kitab dalam bahasa Melayu dan 150 buah kitab dalam bahasa Jawa, sisanya dalam bahasa Sunda, Madura dan Aceh. (Bruinessen, 1995 : 19-20)
Temuan Martin Van Bruinessen tersebut nampaknya sudah tidak lagi mampu menjadi kebanggaan bangsa ini, karena pada paruh abad ke-20 sampai sekarang sudah jarang ditemukan kitab-kitab karya ulama Indonesia. Hal ini dapat dilihat secara umum, kitab-kitab yang dipelajari di pondok pesantren (salaf khususnya) adalah kitab komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn, matan) (Bruinessen, 1995:141). Kitab-kitab tersebut sebagian besar merupakan karya ulama Timur Tengah pada kurun abad ke 16-18, jarang ditemukan kyai atau ulama yang menghasilkan karya (kitab kuning) dan diajarkan di pondok-pondok pesantren. Masih dalam temuan Bruinessen, kitab-kitab Tauhid pada umumnya yang diajarkan di pondok pesantren berkisar pada kitab-kitab berikut : (1)  Untuk tingkat Aliyah; kitab Ummul Barahin, Dasuqi, (2)  Untuk tingkat Tsanawiyah; kitab Sanusi, Tijanul Durari, Nuruzh Zhulam, Jauharatul Tauhid, Tuhfatul Murid, Fathul Majid, Jawahirul Kalamiyah, Husnul Hamidiyah, Aqidatul Islamiyah. Selain itu terdapat pula kitab Aqidatul Awwam yang diajarkan untuk Tsanawiyah/Ibtidaiyah, dan Kifayatul Awam diajarkan untuk tingkat Tsanawiyah/Aliyah (Bruinessen, 1995).
Kitab-kitab tersebut di atas merupakan beberapa di antara bahan ajar yang digunakan di pondok pesantren. Pembelajaran kitab-kitab klasik atau kitab kuning di pondok pesantren merupakan salah satu upaya untuk melestarikan pemikiran ulama klasik dan mendidik calon ulama dengan paham Islam tradisional (Dhofier, 1995). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Amir Faishol (2001) sebagaimana dikutip oleh Zubaidi (2007) menuturkan bahwa di pesantren Nurul Islam, yang menjadi sasaran penelitiannya, menganggap bahwa keilmuan klasik adalah ilmu keislaman utama yang tidak dapat disejajarkan dengan ilmu hasil karya ulama sesudahnya. Kandungan dari kitab klasik tersebut mempunyai kebenaran mutlak dan telah membentuk pola amalan-ibadah dan akhlak pada komunitas di pesantren tersebut (Zubaidi, 2007: 27).
Kitab klasik di pondok pesantren salaf mempunyai peran penting bagi kalangan akademik di lingkungan pendidikan tersebut. Demikian juga yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo, menganggap bahwa keilmuan klasik adalah ilmu keislaman utama. Hal ini dibuktikan dengan pengkajian kitab-kitab kuning yang menjadi bahan ajarnya, yaitu kitab-kitab klasik karya ulama salaf.
Adapun kitab-kitab tauhid adalah salah satu materi yang sangat penting karena bahasan mengenai tauhid yang berkaitan dengan keimanan merupakan bekal bagi santri bagi pemahamannya mengenai Tuhan dan keimanan. Pondok pesantren Al Muayyad termasuk pondok salaf yang mengajarkan berbagai macam kitab tauhid, sesuai dengan jenjang pendidikan para santri. Meskipun ada banyak jenis kitab tauhid, kitab-kitab yang diajarkan tetap konsisten pada kitab kuning (klasik) karya ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan satu maksud, pondok pesantren Al Muayyad melalui pengajaran kitab-kitab tauhid dapat dijadikan sebagai benteng masyarakat, khususnya para santri, dari berbagai paham dari luar yang menyimpang dari akidah Islamiah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian ini terfokus pada aspek : apa isi atau ajaran kitab tauhid Husunul Hamidiyah dan bagaimana fungsi kitab tersebut bagi para santri Pondok Pesantren Al Muayyad.

II.                Metode Penelitian

1.      Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah kitab Husunul Hamidiyah yang diajarkan di Pondok Pesantren  Al Muayyad Mangkuyudan Solo.
2.      Sumber Data
Sumber data primer adalah kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang diajarkan di pondok pesantren Al Muayyad – Solo, wawancara dengan kyai dan santri yang berupa reinterpretasi dan respon mereka terhadap isi kitab tauhid tersebut. Data sekunder adalah data-data terkait dengan data fokus penelitian, berupa data-data tertulis seperti dokumen yang ada di pondok pesantren dan hasil penelitian terdahulu.
3.      Analisis Data
Dalam penelitian ini, data akan dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis), karena fokus penelitian ini berupa kajian konseptual yang berupa butir butir pemikiran yang tertuang dalam teks tertulis. Content analysis merupakan salah satu jenis analisis kualitatif meliputi kategorisasi-kategorisasi yang dilakukan oleh peneliti. Analisis isi yang dapat membantu menginterpretasikan istilah-istilah dalam tauhid adalah menggunakan pendekatan Ilmu Kalam (Teologi). Teologi adalah ilmu yang membahas “wujud Allah”,  yakni meliputi sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan sifat yang wajib dilenyapkan dari pada-Nya.

III.             Temuan dan Pembahasan

A.       Pondok Pesantren Al Muayyad Solo
Al-Muayyad merupakan pondok pesantren Al-Quran, yang dirintis tahun 1930 olen K.H. Abdul Mannan bersama K.H. Ahmad Shofawi dan Prof. K.H. Moh Adnan dan ditata sistemnya ke arah sistem madrasah tahun 1937 oleh KH. Ahmad Umar Abdul Mannan. Pembelajaran Al-Quran itu kemudian sistem madrasah dilengkapi dengan Madrasah Diniyyah (1939), MTs dan SMP (1970), MA (1974), dan SMA (1992) dalam lingkungan pondok pesantren.
Pesantren ini berlokasi di kota Surakarta yang merupakan sentra perdagangan batik dan produk tekstil lainnya, pendidikan, budaya Jawa, tempat kelahiran tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi pergerakan nasional. Secara geografis merupakan kawasan perlintasan antarkota penting di Jawa. Sejarah modernnya dimulai sejak perpindahan Kraton Kartasura ke desa Sala yang kemudian menjadi Surakarta pada tahun 1745.
Sebagai pesantren Al-Quran tertua di Surakarta, Al­-Muayyad terpanggil untuk menguatkan dan mengembangkan diri, berangkat dalam kearifan masa silam untuk menjangkau kejayaan masa depan dengan konsep tarbiyah yang utuh. Mempertimbangkan pengalaman Surakarta yang direkam Al-Muayyad sejak masa rintisannya, maka Al ­Muayyad memandang bahwa pendidikan bagi generasi muda muslim haruslah memenuhi 4 (empat) kriteria kecakapan:
1.    Kecakapan Al-Quran sebagai dasar utama ajaran agama Islam;
2.    Kecakapan keilmuan baik ilmu-ilmu yang langsung untuk mendalami ajaran agama dari kitab-kitab kuning beserta ilmu penunjangnya maupun untuk mencerdaskan kehidupan (sains).
3.    Kecakapan humaniora yang memampukan santri untuk hidup secara arif melalui bahasa, sastra, tarikh, dan kebudayaan.
4.    Kecakapan transformatif yang menguatkan bakat para santri untuk kreatif mengalihgunakan ilmu ke dalam praktek kehidupan sehari-hari yang bermartabat.
Secara singkat tahap-tahap perkembangan Pondok Pesantren Al-Muayyad adalah sebagai berikut:
1930-1937 : Pengajian Tasawuf
1937-1939 : Pengajian Al-Quran
1939 : Berdiri Madrasah Diniyyah
1970 : Berdiri MTs dan SMP
1974 : Berdiri Madrasah Aliyah
1992 : Berdiri Sekolah Menengah Atas
1995 : Berdiri Madrasah Diniyyah Ulya
Dengan demikian memusatnya sistem pendidikan nasional pada Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan untuk mengembangkan rintisan serta ikhtiar mewujudkan idaman K.H. ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kurikulum, maka diselenggarakan Lokakarya Kurikulum Al-Muayyad pada bulan September 191 yang menjadi Madrasah Diniyyah Al-Muayyad sebagai tulang punggung tafaqquh fid-din (pendalaman ilmu-ilmu agama).
Madrasah Diniyyah ini bersama-sama pengajian Al-Quran, sekolah dan madrasah berkurilkulum nasional, serta kegiatan kepesantrenan lainnya, menempatkan Al-Muayyad dalam keaktifan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, khususnya di bidang pendidikan, sejalan dengan panggilan untuk menyerasikan pola pesantren dengan sistem Pendidikan Nasional.
Untuk menjawab tantangan pembangunan nasional mendatang, pondok pesantren ini dituntut terus mengembangkan diri. Lahan di kompleks Mangkuyudan yang hanya seluas 3.650 m2 sudah tidak memadai lagi untuk mewadahi perkembangan jumlah santri dan satuan pendidikan yang dirintis, sehingga dukungan besar dari semua pihak sangat diperlukan.

B.  Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah
Salah satu kitab tauhid yang diajarkan di Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyunn solo adalah kitab Husunul Hamidiyah karya Sayid Husein Afandi, diajarkan pada Madrasah Diniyah Wustha di kelas II. Kitab Husunul Hamidiyah diajarkan dengan maksud dapat dijadikan pedoman para santri dalam menjaga keimanan (akidah) atau keyakinannya kepada Allah SWT.
Dalam kitab Husunul Hamidiyah, aqidah yang harus dipegang oleh seorang muslim meliputi hal-hal sebagai berikut :  
1.         Definisi Ilmu Tauhid, keutamaan, dan kewajiban mempelajarinya. Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang ketetapan kepercayaan/ aqidah agama dengan dalil yang yakin. Buahnya ialah mengenal sifat-sifat Allah ta’ala dan para utusanNya dengan bukti-bukti yang pasti, dan memperoleh kebahagian yang abadi.
2.         Hakikat Iman dan Islam. Iman adalah membenarkan bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah dan membenarkan apa saja yang dibawa oleh yang diketahui datangnya dari nabi secara dharuri. Yaitu percaya akan kebenaran Muhammad saw dengan kepercayaan yang kokoh terhadap apa saja yang di bawa oleh Muhammad dari Allah ta’ala dan diketahui datangnya dari Nabi dengan yakin dan kepercayaan tersebut disertai ketetapan hati. Misalnya iman kepada Allah ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, qadla dan qadar, difardlukannya sholat, dan seluruh ibadah-ibadah lainnya membunuh dengan aniaya terhadap jiwa yang terjaga, haramnya zina dan sebagainya.
Islam adalah tunduk dan patuh zhahir-batin terhadap apa saja yang satu dan lainnya tidak dapat terlepas. Maka setiap mu’min adalah muslim dan setiap muslim adalah mu’min. Karena setiap orang yang membenarkan kebenaran Rasul, wajiblah ia tunduk terhadap hal-hal yang di bawa oleh beliau; dan setiap orang yang tunduk itupun wajib untuk membenarkan beliau.
3.         Hal-hal yang menghapus dan membatalkan Keimanan. Islam melalui Al Qur’an yang mulia, melarang dan mengingatkan hal-hal yang dapat membatalkan keimanan: orang yang melakukannya dihukumi kafir, walaupun dalam hatinya membenarkan dan patuh terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasul saw, hal-hal itu misalnya mengucapkan kata-kata kafir dan sebagainya.
4.         Tiga hukum akli yaitu: Wajib, Mustahil dan Jaiz. Pengertian wajib menurut akal ialah: sesuatu yang tidak dapat diterima ketidak adaannya. Misalnya: Satu adalah separoh dari dua, dan adanya Pencipta alam. Perihal satu adalah separoh dari dua dan adanya Pencipta alam, adalah wajib akli. Keduanya tidak dapat diterima akan ketidak adaanya. Tetapi yang pertama itu wajib akli badhi’ (jelas sekali) tidak membutuhkan kepada pembuktian. Yang kedua wajib akli nazhari (pemikiran) yang membutuhkan kepada pembuktian.
Selain keempat hal tersebut, dalam kitab Husunul Hamidiyah juga dijelaskan tentang rukun iman, tetapi penjabaran rukun iman tersebut berbeda dengan urutan atau susunan rukun iman pada umumnya. Rukun iman yang dipahami oleh mayoritas umat Islam adalah : (1) iman Kepada Allah swt, (2) iman kepada Malaikat, (3) iman kepada Kitab-kitab Allah, (4) iman kepada Nabi dan rasul, (5) iman kepada hari Kiamat, dan (6) iman kepada Qadla dan Qadar. Sedangkan rukun iman yang dijabarkan dalam kitab Husunul hamidiyah adalah : (1) iman iman Kepada Allah swt, (2) iman kepada Nabi dan rasul, (3) iman kepada Malaikat, (4) iman kepada Kitab-kitab Allah, (5) iman kepada hari Kiamat, dan (6) iman kepada Qadla dan Qadar.
Perbedaan urutan rukun iman tersebut terdapat pada penempatan iman kepada Malaikat setelah iman kepada kitab dan Rasul. Berbeda dengan urutan rukun iman yang secara umum, menempatkan iman kepada Malaikat setelah iman kepada Allah swt. Adapun lebih jelasnya urutan dan pengertian rukun iman dalam kitab tauhid Husunul Hamidiyah adalah sebagai berikut :
1.         Iman kepada Allah Swt
Iman kepada Allah ta’ala ialah agar hamba itu mengetahui dan mempercayai dengan kepercayaan yang kokoh sifat-sifat Wajib, mustahil dan sifat-sifat jaiz-Nya. Seorang hamba seharusnya percaya secara global (ijmal) dengan kepercayaan yang kokoh bahwa wajib bagi Allah ta’ala seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang sesuai dengan sifat ketuhanan dan mustahil atas-Nya segala sifat kekurangan. Jaiz bagi Allah ta’ala membuat setiap yang mungkin atau meninggalkan.
2.         Iman Kepada Para Rasul
Rasul (utusan Allah) adalah seorang laki-laki dan merdeka yang diberi wahyu oleh Allah dengan syari’at, dia disuruh untuk menyampaikan wahyu itu kepada mahluk, jika tidak diperintah untuk menyampaikannya maka disebut nabi saja. Iman kepada para Rasul adalah kita percaya bahwa Allah ta’ala mengutus mereka dengan membawa khabar gembira dan peringatan. Mereka dikuatkan dengan mu’jizat yang luar biasa. Dan agar kita mempercayai sesuatu yang wajib, mustahil dan jaiz atas mereka.
3.    Iman Kepada Malaikat
Menurut syara’, wajib bagi setiap muslim beriman kepada malaikat, yaitu percaya dengan kepercayaan yang kokoh akan adanya mereka, dan mereka itu adalah hamba Allah yang mu’min kepada-Nya serta mereka itu dimuliakan.
Mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan sedang mereka melaksanakan perintahNya mereka takut kepada Tuhan dan mereka mengerjakan apa yan diperintahkan. Hakikat mereka adalah jisim-jisim halus, yang diberi kemampuan oleh Allah untuk dapat berubah dalam bentuk yang berbeda-beda, tempat tingggal mereka di langit.
4.         Iman Kepada Kitab-kitab Allah Swt
Setiap orang Islam wajib beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan dari Allah ta’ala kepada para Rasul a.s. Sesungguhnya Allah itu menurunkan kitab-kitab pada para utusan-Nya, dan di dalamnya Allah menjelaskan perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya. Kitab-kitab yang diturunkan dari Allah yang paling utama adalah Al-Qur’an, kemudian Taurat, Injil, Zabur dan seluruh Kalamullah.
5.    Iman Kepada Qadla dan Qadar
Termasuk hal yang wajib menurut syara’ bagi setiap mukallaf ialah iman kepada qhada’ dan qadhar , sebagaimana kita diperintahkan untuk iman kepada keduanya maka kita telah dilarang untuk mendalami pembahasan keduanya itu.
Qadar adalah ketentuan Allah ta’ala sejak azali terhadap semua makhluk yang mana Allah mewujudkannya dalam batas-batas itu, yaitu baik, buruk, manfaat serta lain sebagainya. Maksudnya yaitu Allah mengetahui dengan azali akan sifat-sifat makhluk. Hal ini kembali kepada sifat ilmu. Qadha’ ialah Allah mewujudkan segala sesuatu sesuai dengan ilmu dan ketentuan-Nya kepada sesuatu itu di zaman azali. Maka jelaslah bahwa qadha’ dan qadar itu kembali kepada hubungan (ta’alluq) sifat ilmu Tuhan yang azali kepada sesuatu dan berbuhungan (ta’alluq) dengan sifat kekuasaan Tuhan kepadanya.
6.         Iman kepada hari Akhir (Kiamat)
Setiap orang Islam wajib beriman kepada hari akhir (hari kemudian) yaitu hari Kiamat. Mulainya sejak waktu dikumpulkan dan berakhir dengan masuknya penghuni surga ke surga dan penghuni neraka ke neraka. Yang wajib adalah iman kepada-Nya dan kandungan-Nya sebagaimana wajib iman kepada tanda-tanda yang mendahuluinya yang telah tetap dengan nash-nash syara’, pencabutan nyawa (ruh), perihal kubur dan lain-lain sebagainya.
C.  Kitab Tauhid Sebagai Sub-Kultur Pondok Pesantren Al Muayyad
Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang ditulis oleh Sayid Husain Afandi, terlihat jelas pemikiran seorang pengikut paham Ahlu Sunnah wal Jamaah, yaitu golongan yang berpegang teguh pada sunnah dan hadits, dan praktik peribadatannya sama seperti mayoritas atau umumnya umat Islam. Paham Ahlussunnah wal Jamaah ini dalam konsep atau mazab tauhidnya mengikuti Abdul Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) dan Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al Maturidi (w. 332 H) (Ahmad Hanafi, 1974: 58). 
Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan melalui pengkajian kitab-kitab kuning karya para ulama salaf yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, mempersiapkan generasi Islam yang beriman, bertaqwa, dan berakhlakul karimah dengan misi meneruskan perjuangan ‘alim ‘ulama dan mendidik para santri agar menjadi ‘alim, ‘amil, sholih, dan mukhlis. Landasan aqidah yang diatualisasikan dalam segala bentuk dan macam aktifitas akan menjadikan seseorang berbuat ikhlas, mengisi hidupnya dengan amal saleh, karena amal saleh adalah pancaran dari aqidah.
Kitab Kuning merupakan sub-kultur dari pondok pesantren, demikian juga dengan kitab tauhid Husunul Hamidiyah, sebagai salah satu materi ajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo. Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang diajarkan di Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo, merupakan kitab tauhid lanjutan, untuk Madrasah Diniyah kelas Wustho. Kitab tersebut diajarkan dengan meksud untuk memberi pondasi dan benteng bagi para santri dalam memahami akidah ahlussunnah wal Jamaah. Dengan bekal pengetahuan dan keyakinan dalam kitab tauhid tersebut, para santri diharapkan mempunyai keyakinan dan keimanan yang kokoh. Iman yang kuat tertanam dalam diri setiap santri akan melahirkan sikap yang selalu merasa kehadiran Allah Swt dalam dirinya, sehingga perilaku-perilaku yang tidak dikehendaki oleh Allah Swt akan dihindarinya. Dengan aqidah yang kuat pula mendorong para santri untuk berbuat baik terhadap sesama dan terhadap mahkluk lainnya. Dorongan keyakinan tersebut akan membuat seseorang berbuat ikhlas, meniadakan segala pamrih duniawi, dengan keyakinan semata-mata bahwa dia berbuat baik karena diperintah oleh Allah Swt. Sehingga apapun yang dia peroleh dari hasil perbuatan tersebut, akan diterimanya dengan ikhlas tanpa penyesalan.
Pondok Pesantren Al Muayyad Solo merupakan sub-kultur masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Ada tiga unsur pokok yang menunjukkan pondok pesantren sebagai sub-kultur. Pertama, pola kepemimpinannya yang berdiri sendiri dan berada di luar kepemimpinan pemerintahan. Kedua, literatur universal yang telah dipelihara selama berabad-abad. Dan ketiga, sistem nilainya sendiri yang terpisah dari sistem nilai yang dianut oleh masyarakat di luar pesantren. Berdasarkan ketiga hal tersebut, pondok pesantren Al Muayyad Solo mengembangkan kurikulumnya sendiri dan menetapkan institusi-institusi pendidikannya sendiri dalam rangka merespon tantangan dari luar.
Pola kepemimpinan pondok pesantren yang berada di bawah kendali kyai, menjadi faktor utama. Aspek kepemimpinan ini penting sebab ia menunjukkan bagaimana seorang kyai memelihara hubungan sejawat, baik dengan masyarakat maupun dengan kyai lain. Dalam aspek ini, suatu fakta yang sangat penting muncul, yaitu pemeliharaan tradisi Islam, bahwa ulama-lah pemilik ilmu agama yang istimewa.
Peranan ini tidak bisa dilimpahkan kepada kelompok-kelompok lain dalam masyarakat Islam, sebab ada keyakinan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Atau dengan bahasa lain, ulama adalah satu-satunya penafsir sejati dua sumber Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Peran sebagai kekuatan pengabsah bagi ajaran agama ini adalah dasar bagi penularan pengetahuan yang dimiliki oleh kyai dari generasi ke generasi di dalam pesantren.
Unsur kedua, yaitu “literatur universal”, kitab-kitab Kuning (klasik), yang dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kitab Kuning atau literatur klasik (jika dilihat dari perspektif modern) menciptakan kesinambungan ’tradisi yang benar’ dalam memelihara ilmu-ilmu agama sebagaimana yang diwariskan kepada masyarakat Islam oleh imam-imam besar di masa lalu. Demikian juga dengan kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang ditulis oleh Sayid Husain Afandi pada sekitar abad ke-18, merupakan pelestari pemikiran Al Maturidi (dalam kitabnya at Tauhid). Dalam ranah Ilmu Kalam, al-Maturidi adalah nama yang sudah tidak asing lagi. Ia adalah pendiri aliran Maturidiyyah yang diketegorikan sebagai representasi teologi ahli sunnah, di samping Asy’ariyyah yang digawangi Abu al-Hasan al-Asy’ari. Al-Maturidi dikenal sebagai seorang teolog, dan faqih dari Madzhab Hanafi, bahkan seorang ahli tafsir.   
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah desa (qaryah) yang masuk ke dalam wilayah Samarqand. Ia acap kali dijuluki Imam al-Mutakallimin (Imam Para Teolog) dan masih banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan kelas intelektual dan jihadnya dalam membela sunnah, akidah, dan menghidupkan syari’at Islam.
Tak ada penjelasan pasti dari para sejarawan tentang tahun kelahiran al-Maturidi. Tetapi menurut Dr. Ayyub Ali, al-Maturidi lahir sekitar tahun 238 H / 852 M. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa salah satu murid al-Maturidi, yaitu Muhammad bin Muqatil ar-Razi wafat pada tahun pada tahun 248 H / 862 M.
Melalui jalan inilah, untuk mempertahankan dan melanjutkan pemikiran ulama ahlussunnah pada masa lalu untuk generasi masa depan. Melalui kitab tauhid ini pula umat Islam, khususnya para santri Pondok Pesantren Al Muayyad, bisa memelihara kemurnian ajaran-ajaran agama. Dengan harapan lebih besar, pondok pesantren dapat dijadikan kiblat masyarakat Islam dalam mencari ilmu, dan pada gilirannya, umat Islam adalah kiblat bagi masyarakat luas.
Unsur ketiga, adalah sistem nilai kepesantrenan yang unik. Berdasarkan kepatuhan harfiah terhadap ajaran agama dalam menjalani kehidupan nyata, sistem nilai itu tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur utama lainnya yaitu kepemimpinan kyai dan literatur universal. Pembakuan ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan sehari-hari bagi kyai dan santri, melegitimasikan dua hal, yaitu kitab-kitab sebagai sumber tata nilai dan kepemimpinan kyai sebagai model dari implementasinya dalam kehidupan nyata.
Ketiga unsur utama pesantren itu tampak sedemikian kait mengait dan sulit dipisahkan. Dan itulah yang kemudian memposisikan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang sangat bisa diandalkan. Maka melalui pengkajian kitab-kitab tauhid, khususnya kitab Tauhid Husunul Hamidiyah, Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo mendidik para santri menjadi generasi Islam yang berkualitas dalam bingkai Ahlussunnah wal Jama’ah, memiliki kompetensi di bidang Al Qur’an, hidup kreatif dan bertanggungjawab, dalam mengemban amanat sebagai penerus perjuangan para ulama.

IV.             Penutup
Pondok Pesantren Al Muayyd Solo mengajarkan berbagai macam jenis kitab kuning, salah satu kitab Tauhid yang diajarkan adalah Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah. Kitab Husunul Hamidiyah di Pondok Pesantren Al Muayyad Solo diajarkan dalam lembaga pendidikannya, yaitu di Madrasah Diniyah Wustha. Kitab tersebut disajikan dalam bahasa dan aksara Arab. Kitab tersebut diajarkan secara klasikal, tidak diajarkan dalam kurikulum pondok yang menggunakan metode Bandongan dan Sorogan.
Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang ditulis oleh Sayid Husain Afandi, terlihat jelas pemikiran seorang pengikut paham Ahlu Sunnah wal Jamaah, yaitu golongan yang berpegang teguh pada sunnah dan hadits, dan praktik peribadatannya sama seperti mayoritas atau umumnya umat Islam. Paham Ahlussunnah wal Jamaah ini dalam konsep atau mazab tauhidnya mengikuti Abdul Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) dan Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al Maturidi (w. 332 H) (Ahmad Hanafi, 1974: 58). 
Pandangan teologi yang dikembangkan oleh Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan-Solo, melalui kajian kitab Tauhidnya, khususnya kitab Husunul Hamidiyah, adalah paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Metodologi yang digunakan keduanya adalah moderatisme. Dengan kata lain, pendekatan mereka adalah pendekatan yang berdiri di antara kelompok tekstualis -seperti kalangan Hasywiyyah, Musyabbihah, dan Mujassimah- dan kelompok rasionalis seperti Mu’tazilah.
Kitab Kuning merupakan sub-kultur dari pondok pesantren, demikian juga dengan kitab tauhid Husunul Hamidiyah, sebagai salah satu materi ajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo. Kitab Tauhid Husunul Hamidiyah yang diajarkan di Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo, merupakan kitab tauhid lanjutan, untuk Madrasah Diniyah kelas Wustho. Kitab tersebut diajarkan dengan maksud untuk memberi pondasi dan benteng bagi para santri dalam memahami akidah ahlussunnah wal Jamaah. Dengan bekal pengetahuan dan keyakinan dalam kitab tauhid tersebut, para santri diharapkan mempunyai keyakinan dan keimanan yang kokoh.
Kitab kuning merupakan sub-kultur pondok pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo. Maka melalui pengkajian kitab-kitab tauhid, khususnya kitab Tauhid Husunul Hamidiyah, Pondok Pesantren Al Muayyad Mangkuyudan Solo mendidik para santri menjadi generasi Islam yang berkualitas dalam bingkai Ahlussunnah wal Jama’ah, memiliki kompetensi di bidang Al Qur’an, hidup kreatif dan bertanggungjawab, dalam mengemban amanat sebagai penerus perjuangan para ulama.




1 komentar: