Rabu, 22 Maret 2017

Kitab Tauhid Jawan Karya KH. R. Asnawi



Studi Kitab Tauhid Jawan Karya KH. R. Asnawi
Di Ponpes Darul Ulum Ngembalrejo Bae Kudus
Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id


I. Pendahuluan
Pondok pesantren salaf mengajarkan berbagai macam ajaran Islam yang didasarkan pada kitab kuning, dari aqidah, tauhid, syariat, dan juga akhlak. karena pondok pesantren merupakan salah satu benteng pertahanan masyarakat dari gempuran ideologi dan paham-paham dari luar. Kitab tauhid yang berisi ajaran tauhid (mengesakan Allah) merupakan ajaran pokok dalam Islam, atau dengan kata lain doktrin sentral bagi umat Islam. Selain itu, Pesantren di Indonesia merupakan satu di antara beragam institusi pendidikan Islam yang berperan dalam membentuk masyarakat Indonesia dengan menyediakan pendidikan dan pengajaran. Lembaga ini juga telah melahirkan beberapa ulama, pemimpin masyarakat serta guru untuk madrasah-madrasah (Dhofier, 1995).
Komponen utama pondok pesantren terdiri dari pengasuh pondok pesantren, santri, masjid, kitab kuning dan komplek pondok pesantren (Dhofier,1982). Semua aspek tersebut saling terkait satu sama lainya, pengasuh pondok pesantren adalah pengajar utama sekaligus pemimpin pondok pondok pesantren. Santri merupakan murid di pondok pesantren yang memiliki hubungan dekat dengan kyai yakni hubungan antara murid dan guru, hubungan ini berlangsung terus menerus tidak hanya terbatas ketika santri belajar di pondok pesantren namun juga berlanjut sampai ketika santri kembali ke masyarakat. Masjid  merupakan pusat kegiatan dilangsungkan, di tempat inilah orang-orang pondok pesantren sembahyang dan belajar ilmu-ilmu agama. Sementara komplek pondok pesantren berfungsi sebagai tempat tinggal santri. Sedangkan kitab kuning yang berisi ilmu ilmu keagamaan berperan sebagai referensi dan bahan ajar yang digunakan selama proses belajar mengajar.

Senin, 20 Maret 2017

TASAWUF SEBAGAI TERAPI (PERSPEKTIF KONSELING ISLAMI)



                                                                    Samidi Khalim
                                                         Balai Litbang Agama Semarang
                                                      Email: samidi.khalim@yahoo.co.id 
 

Abstrak
Kemajuan yang telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, budaya dan politik, mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem. Tidak semua orang mampu untuk beradaptasi, akibatnya adalah individu-individu yang menyimpan berbagai problem psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.
Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang pula kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan masalah. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit pasti ada obatnya. Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit psikologis atas segala problem manusia, semakin terbentang lebar di era modern ini.

      Kata Kunci : Tasawuf, Terapi, Konseling Islam

A.  Pendahuluan
Tulisan ini berangkat dari sebuah fenomena sosial masyarakat yang kini hidup di era modern, dengan perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan cenderung berorientasi pada materirialistik, skolaristik, dan rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya memberikan kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan (the age of anxienty). Kemajuan ilmu dan teknologi hasil karya cipta manusia yang memberikan segala fasilitas kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai problema psikologis bagi manusia itu sendiri.

Kajian Naskah KBG 391


                        DIMENSI TEOLOGIS NASKAH KBG 391 KOLEKSI PNRI[1]
Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id



I.                    Pendahuluan
Naskah KBG 931 merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Berdasarkan kode tersebut, berarti naskah ini merupakan koleksi Naskah Jawa (Koninklijk Bataviaasch Genootschap), yang penulis temukan di dalam “Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia” jilid 4 (Behrend, 1998:257). Dalam katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A Fakultas Sastra Universitas Indonesia, (T.E. Behrend dan Titik Pudjiastuti, 1997), naskah ini masuk ke dalam naskah lain-lain. Kode dalam katalog tersebut adalah LL.7 Platenalbum Yogya 6-8. Beberapa katalog yang penulis telusuri, seperti Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman (Sri Ratna Saktimulya, 2005), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1: Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Behrend, 1990), dan juga Direktori Edisi Naskah Nusantara (Edi S. Ekajati, 1999) tidak ditemukan keterangan tentang naskah KBG 931. Dalam penelitian ini, naskah yang dipilih adalah naskah KBG 931 yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).

Kajian Kitab Husunul Hamidiyah di Pontren Al Muayyad Solo



                                     Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id
 

I.                   Pendahuluan
Perkembangan Pondok pesantren di Indonesia sekarang terlihat begitu nyata, ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai, masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya (Dhofier,1982). Semua aspek tersebut saling terkait satu sama lainya, pengasuh pondok pesantren adalah pengajar utama sekaligus pemimpin pondok pondok pesantren. Santri merupakan murid di pondok pesantren yang memiliki hubungan dekat dengan kyai yakni hubungan antara murid dan guru, hubungan ini berlangsung terus menerus tidak hanya terbatas ketika santri belajar di pondok pesantren namun juga berlanjut sampai ketika santri kembali ke masyarakat. Masjid  merupakan pusat kegiatan dilangsungkan, di tempat inilah orang-orang pondok pesantren sembahyang dan belajar ilmu-ilmu agama. Sementara komplek pondok pesantren berfungsi sebagai tempat tinggal santri. Sedangkan kitab kuning yang berisi ilmu ilmu keagamaan berperan sebagai referensi dan bahan ajar yang digunakan selama proses belajar mengajar.

Kamis, 16 Maret 2017

NASKAH PESANTREN DI JAWA



Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id



Pendahuluan
Berbicara tentang Sejarah Pernaskahan di Jawa berarti kita membicarakan salah satu bagian dari Tradisi Besar (Great Tradition) Islam di Indonesia. Naskah-naskah Pesantren di Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, mengandung record (rekaman) tradisi keilmuan agama Islam yang berbentuk karya tertulis. Naskah  Pesantren pada umumnya berupa kitab-kitab yang diajarkan oleh kyai kepda para santrinya, baik itu di pesantren Jawa dan lembaga serupa yang ada di Luar Jawa. Pengajaran tradisi keilmuan Islam tersebut secara  tradisional dikemas dalam bentuk kitab-kitab klasik yang lazim disebut Kitab Kuning (Bruinesen, 1999). Secara umum kita-kitab tersebut berisi tentang pengajaran  keilmuan agama Islam  yang berkaitan dengan  tafsir, hadits, usul al-fiqh, akidah/ ushuluddin,  tasawuf dan tarekat, tata bahasa Arab tradisionil (nahu,  sharaf,  balaghah), akhlak, kumpulan do’a-wirid, mujarabad, qishash Al-Ambiya, maulid, manaqib dan sebagainya. (Bruinessen, 1999: 134-135). Kandungan tradisi intelektual Islam yang termuat dalam kitab-kitab tersebut berkisar pada  tiga kategori, antara lain yaitu  pada paham akidah Asy’ari,  mazhab fiqih Syafi’i, ajaran akhlak dan tsawuf Al-Ghazali, serta karya-karya lainnya. 

Rabu, 15 Maret 2017

MASJID AGUNG TUBAN



SEJARAH, BANGUNAN, DAN FUNGSI MASJID AGUNG TUBAN
JAWA TIMUR
Oleh : Samidi
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang




Abstrak

Artikel ini merupakan ringkasan penelitian tentang sejarah, bangunan, dan fungsi Masjid Agung Tuban Jawa Timur. Penulis menggunakan pendekatan sejarah dan sosiologis dalam melakukan penelitian tersebut. Adapun hasilnya diketahui bahwa Masjid Agung Tuban sudah ada sejak jaman Sunan Bonang (sekitar tahun 1486) dan bentuknya masih sangat sederhana. Bentuknya asli bangunan masjid yang masih ada sampai sekarang ini adalah tempat untuk pengimaman (mihrab), selebihnya bangunan ini sudah tidak berbekas lagi. Masjid Agung Tuban mengalami beberapakali renovasi, bahkan dilakukan renovasi total (tahun 2004) yang menghilangkan nilai historisitas dan orisinalitas masjid sebagai benda cagar budaya. Bentuk bangunan Masjid Agung Tuban yang lama telah berganti dengan bangunan baru yang lebih megah dan terlihat mewah. Meskipun demikian, pengurus masjid (takmir) Masjid Agung Tuban tidak menjadikan masjid hanya sebagai tempat ibadah ritual semata (salat rawatib, dzikir, i’tikaf). Pengurus mencoba mengoptimalkan fungsi masjid, dikembalikan fungsinya seperti seperti zaman Nabi, yaitu sebagai pusat ibadah dan kebudayaan Islam.

Kata kunci: sejarah, bangunan, fungsi, Masjid Agung Tuban

MITOS JOKO MODO DARI REMBANG



DESA “KUTUKAN” BAGI PARA PEJABAT
(Analisis Semiotika Mitos Joko Modo dari Rembang)
Samidi
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang


Abstrak
Artikel ini merupakan ringkasan penelitian pada salah satu mitos yang masih eksis di Kabupaten Rembang, yaitu kisah Joko Modo. Mitos ini sampai sekarang masih diyakini oleh masyarakat Rembang. Mitos Joko Modo menjadi penyebab para pejabat atau pegawai pemerintah tidak berani masuk ke Dukuh Modo Desa Jadi Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang tersebut. Ada kepercayaan bahwa para pejabat akan lengser dan pegawai pemerintah akan mendapat musibah jika masuk Dukuh Modo. Penulis menggunakan analisis semiotika Ferdinand de Saussure untuk mengurai makna mitos Joko Modo tersebut. Mitos Joko Modo sebenarnya merupakan bentuk komunikasi masyarakat melalui tanda dan kode tertentu yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Makna semiotik tersebut diantaranya yaitu: setting sosial budaya munculnya mitos adalah masyarakat agraris, perbedaan kelas sosial dan tingkat ekonomi dalam suatu masyarakat dapat menjadi pemicu konflik, dan pentingnya identitas diri atau wilayah.

Kata Kunci: mitos, Joko Modo, semiotik.

BIOGRAFI KH. AHMAD SYAKIR MA’SHOEM LASEM

Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id


Ahmad Syakir merupakan anak ketiga dari perkawinan Mbah Ma’shum Lasem (w. 1972) dengan Nyai Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim bin Mbah Sambu. Ibu Nyai Nuriyah bernama Nyai Mashfuriyah bin KH. Abdul Aziz bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim bin Mbah Sambu (Thomafi, 2007:58-59).
Ahmad Syakir lahir pada tahun 1920 (1338 H), tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti.[1] Pendidikan awal Ahmad Syakir diperoleh dari keluarga, dia mendapat pendidikan agama dari ayahandanya sendiri yang merupakan ulama karismatis, yaitu Mbah Ma’shum. Ahmad Syakir tidak pernah mengenyam pendidikan formal, karena memang pada waktu itu masih dalam kondisi penjajahan kolonial Belanda. Meskipun demikian, Mbah Ma’shum sangat menekankan arti pentingnya pendidikan kepada putra-putranya. Ahmad Syakir muda di kirimnya ke beberapa pondok pesantren terkenal di Jawa, seperti ke pondok pesantren yang diasuh oleh Kyai Kholil Kasingan Rembang (mertua KH. Bisri Mustofa), pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur, pondok pesantren Buntet Astanajopura Cirebon yang diasuh oleh Kyai Abbas, pondok pesantren Termas yang diasuh Kyai Dimyati, dan pondok pesantren Watucongol Magelang yang diasuh KH. Dalhar.[2]