Studi Kitab Tauhid
Jawan Karya KH. R. Asnawi
Di Ponpes Darul Ulum
Ngembalrejo Bae Kudus
Samidi Khalim
Balai Litbang Agama Semarang
Email: samidi.khalim@yahoo.co.id
I. Pendahuluan
Pondok pesantren salaf
mengajarkan berbagai macam ajaran Islam yang didasarkan pada kitab kuning, dari
aqidah, tauhid, syariat, dan juga akhlak. karena pondok pesantren merupakan
salah satu benteng pertahanan masyarakat dari gempuran ideologi dan paham-paham
dari luar. Kitab tauhid yang berisi ajaran tauhid (mengesakan Allah) merupakan
ajaran pokok dalam Islam, atau dengan kata lain doktrin sentral bagi umat
Islam. Selain itu, Pesantren di Indonesia merupakan satu di antara beragam
institusi pendidikan Islam yang berperan dalam membentuk masyarakat Indonesia
dengan menyediakan pendidikan dan pengajaran. Lembaga ini juga telah melahirkan
beberapa ulama, pemimpin masyarakat serta guru untuk madrasah-madrasah
(Dhofier, 1995).
Komponen utama pondok
pesantren terdiri dari pengasuh pondok pesantren, santri, masjid, kitab kuning
dan komplek pondok pesantren (Dhofier,1982). Semua aspek tersebut saling
terkait satu sama lainya, pengasuh pondok pesantren adalah pengajar utama
sekaligus pemimpin pondok pondok pesantren. Santri merupakan murid di pondok
pesantren yang memiliki hubungan dekat dengan kyai yakni hubungan antara murid
dan guru, hubungan ini berlangsung terus menerus tidak hanya terbatas ketika
santri belajar di pondok pesantren namun juga berlanjut sampai ketika santri
kembali ke masyarakat. Masjid merupakan
pusat kegiatan dilangsungkan, di tempat inilah orang-orang pondok pesantren
sembahyang dan belajar ilmu-ilmu agama. Sementara komplek pondok pesantren
berfungsi sebagai tempat tinggal santri. Sedangkan kitab kuning yang berisi
ilmu ilmu keagamaan berperan sebagai referensi dan bahan ajar yang digunakan
selama proses belajar mengajar.
Pengkajian kitab kuning di
pondok pesantren merupakan media tranformasi keilmuan dari ulama-ulama
terdahulu kepada generasi berikutnya. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam
kitab-kitab tersebut berfungsi sebagai landasan berpikir dan bertindak bagi
para santri. Selain itu kitab kuning sebagai materi pelajaran di pondok
pesantren telah mempengaruhi dalam pembentukan tradisi keilmuan santri di
banyak pondok pesantren. Pengkajian kitab kuning yang dilakukan secara
berkesinambungan telah terbukti menjadi embrio dari lahirnya lembaga bathsul
masail, yaitu forum diskusi yang membahas masalah-masalah sosial-keagamaan
yang ada di masyarakat dengan menggunakan kitab kuning sebagai rujukan. Forum
ini merupakan salah satu gambaran bagaimana kyai dan santri terlibat aktif
menggunakan keilmuannya dalam membedah persoalan dan kemudian memberikan
pemecahannya (Zahro, 2004). Dengan demikian kitab kuning memiliki peran penting
dalam khasanah keilmuan santri.
Secara umum, kitab-kitab yang
dipelajari di pondok pesantren adalah kitab komentar (syarah) atau
komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn,
matan) (Bruinessen, 1995:141). Salah satu jenis kitab yang di ajarkan di
pondok pesantren adalah kitab tauhid. Lebih lanjut Bruinessen menyebutkan kitab-kitab tauhid yang
umumnya di ajarkan adalah: (1) Untuk
tingkat Aliyah; kitab Ummul Barahin, Dasuqi, (2) Untuk tingkat Tsanawiyah: kitab Sanusi,
Tijanul Durari, Nuruzh Zhulam, Jauharatul Tauhid, Tuhfatul Murid, Fathul
Majid, Jawahirul Kalamiyah, Husnul Hamidiyah, Aqidatul Islamiyah. Selain
itu terdapat pula kitab Aqidatul Awwam yang diajarkan untuk
Tsanawiyah/Ibtidaiyah, dan Kifayatul Awam diajarkan untuk tingkat
Tsanawiyah/Aliyah (Bruinessen, 1995).
Kitab-kitab tersebut di atas
merupakan beberapa di antara bahan ajar yang digunakan di pondok pesantren.
Pembelajaran kitab-kitab klasik atau kitab kuning di pondok pesantren merupakan
salah satu upaya untuk melestarikan pemikiran ulama klasik dan mendidik calon
ulama dengan paham Islam tradisional (Dhofier, 1995). Kitab klasik di pondok
pesantren salaf, mempunyai peran penting bagi kalangan akademik di lingkungan
pendidikan tersebut. Adapun kitab-kitab tauhid adalah salah satu materi yang
sangat penting, karena bahasan mengenai tauhid yang berkaitan dengan keimanan
merupakan bekal bagi santri bagi pemahamannya mengenai Tuhan dan keimanan. Hal
ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Bae
Kudus, dalam melakukan transformasi keilmuan dan penanaman akidah kepada para
santrinya melalui pengkajian kitab-kitab kuning.
Berkenaan dengan pembinaan
akidah, salah satu kitab yang dijadikan pedoman oleh Pondok Pesantren Darul
Ulum Kudus adalah Kitab Tauhid Jawan
karya KH.R. Asnawi. KH. R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus
pada tahun 1281 H (1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus
(Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali
yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung
Mataram. Beliau termasuk salah seorang pelopor
berdirinya organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU),
yang berupaya menjaga aqidah Ahlussunnah
wal Jamaah melalui karya-karyanya, salah satunya adalah kitab Tauhid Jawan ini. Dalam kitab tersebut beliau
menghukumi bahwa belajar ilmu Tauhid itu wajib
atau fardlu ain bagi setiap muslim.
Kitab Tauhid Jawan disajikan dalam bahasa Jawa Ngoko yang mudah dipahami
oleh para santri pemula, dan masih diajarkan di beberapa pondok pesantren di
Kudus. dengan tujuan untuk membentengi aqidah umat Islam dari gempuran
gelombang modernisasi yang telah banyak menenggelamkan akidah umat Islam dewasa
ini. Salah satunya adalah Pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Bae Kudus, diajarkan
dalam lembaga pendidikannya, yaitu di Madrasah Diniyah pada jenjang awal atau
Ibtida. Kitab tersebut diajarkan secara klasikal, tidak diajarkan dalam
kurikulum pondok yang menggunakan metode Bandongan dan Sorogan. Sebagai materi
dasar dalam pembinaan aqidah, untuk membentengi aqidah umat Islam dari gempuran
gelombang modernisasi yang telah banyak menenggelamkan akidah umat Islam dewasa
ini atau keimanan para santri. Kitab Tauhid Jawan sangat membantu para
santri untuk memahami rukun Iman.
Berdasarkan
pemikiran di atas maka perlu dilakukan penelitian berkaitan dengan kitab Tauhid Jawan yang diajarkan di pondok
pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Bae Kudus. Adapun sebagai pokok permasalahan
dalam penelitian adalah : Apa isi kitab Tauhid
Jawan Karya KH. R. Asnawi dan bagaimana fungsi kitab tauhid tersebut bagi para
santri pondok pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Bae Kudus.
II. Metode Penelitian
1. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah
kitab Tauhid Jawan karya KH.R. Asnawi
yang diajarkan di pondok pesantren Darul
Ulum Ngembalrejo Bae Kudus - Jawa Tengah.
2. Sumber Data
Sumber data primer adalah kitab
Jauhid Jawan yang diajarkan di pondok pesantren salaf Darul Ulum Kudus dan
hasil wawancara dengan kyai dan santri di pondok pesantren, berupa
reinterpretasi dan respon mereka terhadap isi kitab tauhid tersebut. Data
sekunder adalah data-data terkait dengan data fokus penelitian, berupa
data-data tertulis seperti dokumen yang ada di pondok pesantren dan hasil
penelitian terdahulu.
3. Analisis Data
Dalam penelitian ini, data
akan dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis), karena fokus penelitian ini
berupa kajian konseptual yang berupa butir butir pemikiran yang tertuang dalam
teks tertulis. Content analysis merupakan salah satu jenis analisis kualitatif
meliputi kategorisasi-kategorisasi yang dilakukan oleh peneliti. Analisis isi yang dapat membantu menginterpretasikan istilah-istilah
dalam tauhid adalah menggunakan pendekatan Ilmu Kalam (Teologi). Teologi adalah
ilmu yang membahas “wujud Allah”, yakni
meliputi sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat yang boleh disifatkan
kepada-Nya, dan sifat yang wajib dilenyapkan dari pada-Nya.
III. Temuan
dan Pembahasan
A. Sekilas
Tentang Pondok Pesantren Darul Ulum Kudus
Pondok
Pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Kecamatan Bae Kabupaten Kudus letaknya cukup
strategis, karena letaknya berjarak sekitar 50 meter dari arah masuk jalan
raya. Pondok Pesantren Darul Ulum dibagi menjadi dua, yaitu Pondok Pesantren
Putra dan Pondok Pesantren Putri. Di samping Pondok Pesantren Putra terdapat
makam keluarga H. Ma’ruf Rusydi, yang sekaligus dijadikan sebagai tempat
pengajian tafsir masyarakat Ngembalrejo.
Pondok
Pesantren Darul Ulum berada di Dukuh Kauman Desa Ngembalrejo, adapun posisinya
sebagai berikut :
a.
Sebelah Utara
berbatasan dengan Desa Kemang
b.
Sebelah Timur
berbatasan dengan perkampungan
c.
Sebelah
Selatan berbatasan dengan jalam raya.
d.
Sebelah Barat
berbatasan dengan Dukuh Ngetuk.
Pondok
Pesantren Darul Ulum didirikan untuk memperjuangkan terlaksananya risalah
Rosulullah SAW melalui jalur tarbiyah,
dengan mempersiapkan generasi Islam yang beriman, bertaqwa, dan berakhlakul
karimah dengan misi meneruskan perjuangan ‘alim ‘ulama dan mendidik para
santri agar menjadi ‘alim, ‘amil, sholih, dan mukhlis. Serta berperan
aktif dalam usaha pemberdayaan
masyarakat berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang Tarbiyah Islamiyah.
Pondok
Pesantren Darul Ulum atau lengkapnya adalah Pondok Pesantren Yayasan Pendidikan
Islam Darul Ulum (PPYIDU) terletak di sebelah timur kota Kudus, tepatnya di
Desa Ngembalrejo Kecamatan Bae, berdiri pada tahun 1961. Pondok Pesantren
tersebut berdiri atas prakarsa Bapak H. Ma’ruf (pemilik pabrik rokok Jambu Bol)
dan Kyai Ahmad Zaenuri. Kitab-kitab yang diajarkan sama seperti pondok-pondok
pesantren salaf lainnya, yaitu seputar : Al-Qur’an atau Tafsir, Hadits, Fiqih, Nahwu, Shorof, Tarikh, Tauhid, dan Tasawuf
atau Akhlak.
Diantara
kitab-kitab yang diajarkan di Pondok Pesantren Darul Ulum tersebut, salah satu
kitab Tauhid yang diajarkan adalah Kitab Tauhid Jawan karya Kyai Haji
Raden Asnawi Kudus. Kitab Tauhid Jawan, sesuai dengan nama kitab
tersebut bahwa kata Jawan itu mengandung arti Bahasa Jawa. Artinya,
kitab Tauhid tersebut ditulis dalam Bahasa Jawa, adapun aksara yang digunakan
adalah Pegon. Kitab tersebut bukan lagi hasil tulisan tangan tapi sudah dicetak
dengan mesin oleh PT. Karya Toha Putra Semarang pada tahun 1997. Meskipun
demikian, kitab tersebut memiliki nilai
historis penulisan dan karismatis sang penulis.
B. Biografi
KH. R. Asnawi
Kyai Haji
Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji yang
ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi, kemudian
sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji
Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekah. KH.R. Asnawi adalah putra yang
pertama dari H. Abdullah Husnin seorang pedagang konveksi yang tergolong besar
di Kudus pada waktu itu, sedang ibunya bernama R. Sarbinah. KH. R. Asnawi lahir
di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H (+1861 M), beliau termasuk
keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari
Kyai Haji Mutamakin seorang wali yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang
hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
Sejak kecil Asnawi
diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah
berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulungagung Jawa Timur
untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan
dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung,
lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji.
Pada sekitar
usia 30 tahun Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan
niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya
pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama
20 tahun. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat
Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha. Beliau juga pernah
mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang ikut belajar antara
lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan
Pekalongan, KH. Shaleh Tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A.
Mukhit Sidoarjo.
Umur yang diberikan Allah tidaklah sama yang
diharapkan masyarakat. Masyarakat dan umat Islam pada umumnya mengharap agar
para Kyai dipanjangkan umurnya dan diberkahi kesehatannya. Tujuannya tiada lain
mendampingi dan menata infrastruktur masyarakat dalam memegang subtansi ajaran
agama. Namun Allah telah menghendaki terlebih dahulu memanggil KH. R. Asnawi
menghadap keharibaan-Nya, yaitu pada 26 Desember 1959 M/25 Jumadil Akhir 1379 H
sekitar pukul 03.00 dini
hari.
C. Kitab
Tauhid Jawan Sebagai Benteng Akidah Para Santri
Kitab Tauhid Jawan adalah salah satu
buah pemikiran KHR. Asnawi yang di tulis ulang dan diberikan kata pengantar
oleh KH. Ahmad Minan Zuhri. Dalam kata pengantar tersebut, terdapat keterangan
yang menyebutkan bahwa kitab tersebut selesai ditulis pada tanggal 30 Rajab
1377 H atau 19 Februari 1958 M di Kudus oleh putra beliau, al Muratib
(penyusun) Ahmad Minan Zuhri.
Pengantar yang diberikan oleh KH. Minan Zuhri
memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penulisan kitab tersebut, yaitu
: (1) menambah syiar agama Islam; (2)
untuk belajar siapa saja yang membutuhkan; (3) sebagai bahan pengajaran di
madrasah, tempat pengajian, dan tempat pengajaran lainnya (Tauhid Jawan,
h.2).
Kitab Tauhid Jawan tergolong kitab
dasar, yang memiliki ketebalan hanya 43 halaman, dengan ukuran 21 cm x 15 cm.
Kitab tersebut berisi tentang dasar-dasar akidah atau keimanan yang harus
ditanamkan dalam diri setiap muslim. Sebagaimana dijelaskan oleh dalam kitab
tersebut, bahwa hukum mempelajari Tauhid adalah wajib bagi setiap muslim (Tauhid
Jawan, h.4).
Kitab Tauhid Jawan di
Pondok Pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Bae Kudus diajarkan dalam lembaga
pendidikannya, yaitu di Madrasah Diniyah pada jenjang awal atau Ibtida. Kitab
tersebut diajarkan secara klasikal, tidak diajarkan dalam kurikulum pondok yang
menggunakan metode Bandongan dan Sorogan. Sebagai materi dasar dalam pembinaan
aqidah atau keimanan para santri, kitab Tauhid Jawan sangat membantu
para santri untuk memahami rukun Iman. Kitab tersebut disajikan dalam bahasa
Jawa Ngoko yang mudah dipahami oleh para santri pemula.
KH.R. Asnawi termasuk salah
seorang pelopor berdirinya organisasi massa Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU), berupaya menjaga aqidah Ahlussunnah wal Jamaah melalui
karya-karyanya, salah satunya adalah kitab Tauhid
Jawan ini. Kitab tersebut masih diajarkan di beberapa pondok pesantren di
Kudus, dengan tujuan untuk membentengi aqidah umat Islam dari gempuran
gelombang modernisasi yang telah banyak menenggelamkan akidah umat Islam dewasa
ini. Sehingga pantas jika KH. R. Asnawi menjadikan belajar ilmu Tauhid itu
wajib atau fardlu ain bagi setiap muslim. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
Kitab Tauhid Jawan : “Hukumipun sinahu ilmu Tauhid menika
Fardu ‘Ain. Dados saben-saben tiyang menika kedah lan wajib sinahu ilmu Tauhid,
supados nggadahi kemantepan ingkang kiyat boten gampil dipun bujuk dening
syaiton, ugi boten gampil dipun sasaraken”. Artinya :
Hukumnya belajar ilmu Tauhid yaitu Fardu ‘Ain. Jadi setiap orang itu harus dan
wajib belajar ilmu Tauhid, supaya memiliki keyakinan yang kuat tidak mudah
dibujuk -rayu oleh setan, juga tidak mudah disesatkan.
Menurut KH. R. Asnawi dalam kitab Tauhid
Jawan, ilmu tauhid adalah :
“Ilmu tauhid inggih menika ilmu ingkang bicara
dateng tetepipun aqaid (kepercayaan) mawi dalil-dalil ingkang leres lan sah.
Wujudipun percados lan mantepipun manah dateng Pangeran kanthi kiyat mawi dasar
dalil-dalil ingkang leres lan sah, menika dipun wastani iman. Dados iman menika
pendamelanipin manah utawi pendamelanipun batin. Tiyang ingkang iman menika
dipunwastani mukmin. Tiyang ingkang boten iman dipunwastani kafir”.
Artinya :
“Ilmu tauhid yaitu ilmu yang berbicara tentang
teguhnya aqaid (kepercayaan) berdasarkan dalil-dalil yang benar dan sah.
Wujudnya adalah percaya dan mantapnya hati terhadap Tuhan (Allah) dengan kuat
berdasarkan dalil-dalil yang benar dan sah, yang kemudian disebut iman. Jadi
iman itu perbuatan hati atau perbuatan batin. Orang yang beriman disebut mukmin.
Orang yang tidak beriman disebut kafir”.
Pengertian ilmu tauhid yang dikemukakan oleh
KH.R. Asawi tersebut terlihat praktis, artinya lebih mengutamakan sisi manfaat
atau kegunaan. Ilmu tauhid memang membicarakan tentang Tuhan dengan berbagai
atribut-Nya, tatapi yang lebih ditekankan oleh KH.R. Asnawi adalah buah dari
ilmu tersebut, yaitu kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap Allah Swt
berdasarkan dalil-dalil al Qur’an, Hadis, Ijma, dan Qiyas, dalil-dalil yang
diyakini kebenarannya oleh golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Buah dari ilmu
tauhid itu berupa iman yang kokoh di dalam hati atau batin. Wujud dari iman itu
berupa amal salih dan akhlak mulia.
Pengertian ilmu tauhid tersebut berbeda dengan
apa yang diuraikan oleh Muhammad Abduh, bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang
membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya,
sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya
dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan
mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin
ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya (lihat Risalat at
Tauhid karya Muhammad Abduh). Definisi yang dikemukakan oleh Abduh ini
cenderung teoritis, bersifat filosofis, tidak menekankan pada segi hasil atau
manfaat ilmu tauhid itu sendiri.
KH. R. Asnawi melalui kitab Tauhid Jawan
berupaya memberikan pelajaran kepada umat Islam agar memiliki pengetahuan dan
keimanan yang kuat. Demikian juga dengan Pondok Pesantren Darul Ulum Kudus,
berupaya mencetak kader-kader bangsa yang memiliki keimanan yang tangguh, budi
pekerti yang mulia, dan tidak mudah terombang ambing oleh berbagai bujuk rayu
setan. Hal yang pertama dan utama harus ditanamkan dalam diri seorang santri
adalah akidah, kepercayaan kepada Allah SWT Tuhan Pencipta alam semesta,
melalui penjelasan rukun iman secara akliyah maupun nakliyah.
Kitab Tauhid Jawan sebagai buku ajar
para santri di Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Darul Ulum Kudus, diberikan
sebagai materi dasar dan benteng bagi para santri-santri pemula. Rukun iman
yang menjadi pokok bahasan dalam kitab tauhid tersebut diuraikan secara
sederhana dan mudah dicerna oleh orang awam, terutama untuk para santri pemula.
Pemikiran KH. R. Asnawi tentang rukun Iman sama seperti ulama-ulama ashlussunah
yang lain, bahwa rukun iman itu ada enam (6). Hal ini dapat dilihat pada
penjabaran rukun iman dalam kitab Tauhid Jawan tersebut, yaitu :
1. Iman Kepada
Allah SWT. Iman kepada Allah yaitu kita supaya percaya bahwa Allah SWT itu
memiliki semua sifat-sifat kesempurnaan dan tidak memiliki sifat-sifat
kekurangan. Adapun sifat-sifat Allah yang empatpuluh satu yaitu, sifat Wajib
duapuluh, sifat Muhal duapuluh, dan sifat Jaiz satu.
Pengertian iman kepada Allah SWT tersebut
sebagaimana diuraikan dalam kitab Tauhid Jawan sebagai berikut : “Tegesipun
iman dateng Gusti Allah inggih menika kita supados percados bilih Gusti Allah
menika persifatan sedaya sifat-sifat kasampurnan lan boten persifatan
sifat-sifat kekirangan. Dene sifat-sifatipun Gusti Allah ingkang sekawandasa
setunggal inggih menika sifat Wajib kalihdasa, sifat Muhal kalihdasa lan sifat
Jaiz setunggal”. (Tauhid Jawan, h.6).
2. Iman Kepada Malaikat
Menurut KH. R. Asnawi,
malaikat adalah makhluk Allah SWT yang berupa jisim halus diciptakan dari Nur
(cahaya). Penjelasan tentang asal muasal malaikat tersebut sebagaimana
diuraikan dalam Kitab Tauhid Jawan :
“Malaikat
menika jisim ingkang alus ingkang kedadosan saking nur, boten wonten ingkang
nyumerepi rupinipun ingkang asli kejawi namung Pengeran lan para Nabi-nabi”.
Artinya :
“Malaikat itu
jisim halus yang berasal dari nur (cahaya), tidak ada yang mengetahui wujudnya
yang asli kecuali hanya Allah SWT dan para nabi”.
Malaikat itu adalah makhluk (hamba)
Allah SWT yang dimuliakan, tanpa menjalankan perintah-perintah Allah dan tidak
pernah melakukan maksiat atau durhaka kepada Allah SWT. Malaikat itu tidak
laki-laki tidak perempuan, tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur. Adapun
jumlah malaikat yang sesungguhnya itu sangat banyak, tidak ada yang mengetahui
jumlahnya secara pasti kecuali allah SWT sendiri.
Meskipun banyak sekali dan yang
tahu hanya Allah dan para nabi, tetapi bagi orang Islam wajib percaya dan
mengetahui nama-nama malaikat yang 10. Adapun malaikat yang wajib diketahui
nama-namanya yaitu : Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Raqib, Atid, Munkar,
Nakir, Malik, dan Ridwan (Tauhid Jawan, h. ).
3. Iman Kepada
Kitab Allah SWT
Maksudnya iman kepada kitab-kitabnya Allah SWt
itu artinya setiap orang Islam wajib percaya bahwa Allah telah menurunkan
beberapa kitab-Nya kepada para Nabi atau Rasul-Nya. Kitab-kitab tersebut
menerangkan semua perintah dan larangan Allah SWT, juga janji dan ancaman
Allah. Kitab-kitab tersebut diturunkan sebagai wahyu bagi para nabi dan rasul.
Kitab-kitab Allah yang wajib diketahui oleh
setiap muslim itu ada 4 (empat) :
1. Kitab
Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam. Kitab tersebut
menerangkan tentang bab hukum syariat dan tauhid yang benar.
2. Kitab
Zabur, diturunkan kepada Nabi Daud ‘Alaihissalam. Kitab tersebut
menerangkan tentang bab doa-doa, dzikir, nasihat-nasihat, hikmah-hikmah, tidak
menerangkan bab bab hukum syariat, karena Nabi Daud itu diperintahkan untuk
mengikuti syariatnya Nabi Musa ‘Alaihissalam.
3. Kitab
Injil, diturunkan kepada Nabi Isa ‘Alaihissalam. Kitab tersebut
menerangkan bab seruan (ajakan) terhadap para manusia agar beriman kepada Allah
dan mengganti sebagian hukum-hukumnya nabi Musa yang sudah tidak cocok lagi
dengan zamannya. Kitab Injil yang wajib kita imani itu, kitab Injil yang masih
asli, yang belum berubah-ubah. Adapun Kitab Injil yang dijalankan oleh
orang-orang Nasrani (Kristen), itu sudah tidak ada lagi yang asli, buktinya
banyak ragam dan macamnya, dan juga antara satu dengan yang lainnya tidak cocok
atau berbeda-beda.
4. Kitab Al
Qur’an, yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad SAW. Kitab tersebut yang
diturunkan paling akhir dan merupakan kitab yang paling mulia. Al Qur’an itu
menerangkan hukum-hukum syariat yang digunakan untuk merubah semua kitab yang
sudah diturunkan sebelumnya. Hukum yang ada di dalam Qur’an akan tetap abadi.
Tidak akan berubah dan tidak akan diganti sampai hari kiamat. Al Qur’an juga merupakan
mukjizat Nabi Muhammad SAW yang paling agung.
4. Iman Kepada
Rasul Allah SWT
Maksudnya iman kepada para rasul yaitu bahwa
setiap orang Islam wajib percaya bahwa Allah SWT telah mengutus beberapa orang
utusan-Nya (Rasul) untuk menerangkan petunjuk Allah SWT kepada umat manusia,
supaya mendapat kebaikan dan keberuntungan di dunia dan akhirat, dengan membawa
kekuatan dan tanda bukti dari Allah SWT yang disebut dengan mukjizat.
Utusan Allah SWT itu banyak sekali hanya Allah
sendiri yang mengetahuinya. Ada utusan yang wajib menyampaikan risalah kepada
umatnya, ada juga utusan yang tidak diperintahkan untuk menyampaikan risalah
dari Allah SWT. Oleh sebab itu utusan Allah SWT dibedakan berdasarkan wahyu
atau risalah yang diterimanya, ada yang disebut Nabi ada juga yang disebut
Rasul. Kedua utusan Allah tersebut sama-sama membawa bukti kenabian atau
kerasulan.
Nabi yaitu mansuia yang mendapat wahyu dari
Allah SWT, tetapi tidak diperintahkan untuk menjelaskannya kepada manusia.
Rasul yaitu manusia yang mendapat wahyu dari Allah SWT dan diperintahkan untuk
menerangkannya kepada umat manusia. Jadi, kalau rasul sudah pasti nabi, tetapi
jika nabi belum tentu rasul. Adapun jumlah nabi yang sebenarnya sangat banyak,
tidak ada yang mengetahui secara pasti kecuali Allah SWT sendiri. Adapun nabi
yang wajib diketahui dan diimani oleh setiap orang muslim itu ada duapuluh lima.
Seorang nabi atau rasul diutus oleh Allah SWT
untuk menyampaikan risalah kebenaran agar manusia menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya. Meskipun demikian tidak semua manusia mau menerima
atau mengikuti risalah tersebut, bahkan tidak sedikit umat yang menantang atau
bahkan memusuhi para utusan Allah tersebut. Oleh sebab itu Allah memberikan
suatu bukti kepada manusia, bahwa telah mengutus nabi atau rasul-Nya dengan
membawa mukjizat.
Mukjizat yaitu tanda bukti dari Allah SWT yang
diberikan kepada para rasul sebagai sarana menandingi dan mengalahkan
bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang tidak mempercayainya. Mukjizat
tersebut tidak dapat dipelajari dan juga tidak dapat diajarkan kepada orang
lain. Tetapi mukjizat itu adalah pemberian Allah SWT, khusus diberikan kepada
para rasul, oleh sebab itu setiap rasul pasti memiliki mukjizat.
Pengertian mukjizat ini sebagaimana dijelaskan
dalam kitab Tauhid Jawan sebagai berikut :
“Mukjizat
menika perkawis ingkang nulayani adat inggih medal saking para rusul ingkang
boten saged dipun tandingi lan boten saged dipun lawan, awit mukjizat menika dados
tanda bukti kaleresanipun para rusul ingkang dipun utus dening Pengeran”. (Tauhid Jawan, h.33).
Artinya :
Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang terjadi pada diri rasul yang tidak
dapat ditandingi dan tidak dapat dilawan, karena sebagai tanda bukti kebenaran
para rasul yang diutus oleh Allah SWT. Jadi, mukjizat itu dikeluarkan hanya
demi kemaslahatan (kebaikan) dan menjadi petunjuk bagi manusia.
Meskipun para nabi atau rasul telah dibekali
oleh Allah SWT dengan mukjizat, namun tidak dengan serta merta manusia mau
beriman kepada Allah SWT, masih saja ada yang mengingkarinya atau bahkan ada
yang menandinginya dengan kekuatan yang luar biasa juga. Sehingga di mata
manusia biasa dianggap sama kekuatan tersebut. Oleh sebab itu, untuk memberikan
penjelasan terhadap hal-hal atau peristiwa luar biasa yang dapat dilakukan oleh
manusia harus dibedakan, karena ada yang bersumber dari Allah SWT langsung, ada
juga yang bersumber dari setan atau jin. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
KH. R. Asnawi dalam Kitab Tauhid Jawan sebagai berikut :
“Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang
terjadi pada diri rasul yang tidak dapat ditandingi dan tidak dapat dilawan,
karena sebagai tanda bukti kebenaran para rasul yang diutus oleh Allah SWT.
Jadi, mukjizat itu dikeluarkan hanya demi kemaslahatan (kebaikan) dan menjadi
petunjuk bagi manusia”.
“Sihir, adalah
peristiwa luar biasa yang hanya dalam penglihatan saja, tetapi sebenarnya
adalah hal yang biasa-biasa saja. Hal ini dikarenakan orang yang melihatnya
tidak mengetahui sebab-sebab dan asal mulanya. Jadi, sihir itu diperlihatkan
hanya untuk menipu manusia akal sehat manusia saja.Oleh sebab itu, perbuatan
sihir diharamkan dalam agama Islam, karena dapat menyesatkan manusia”.
“Karomah,
adalah peristiwa luar biasa yang dimiliki oleh para Wali. Karomah diberikan
oleh Allah SWT kepada para wali sebagai kemuliaan, dan menjadi tanda atau bukti
bahwa wali tersebut sudah diterima amal ibadahnya dan sangat dekat dengan Allah
SWT”. (Tauhid Jawan, h. 33).
Memang para nabi dan rasul diberikan kemampuan
luar biasa oleh Allah SWT yang tidak dapat ditiru oleh manusia, hanya wajib
diimani. Meskipun demikian bukan berarti umatnya tidak dapat meniru para rasul
atau nabi, karena ada hal-hal yang jauh lebih penting daripada mukjizat
tersebut, yang dapat ditiru dan diamalkan. Hal-hal yang wajib ditiru dan
diamalkan oleh setiap umat dari rasulnya adalah sifat-sifat rasul itu sendiri.
Adapun sifat-sifat rasul itu ada yang wajib, mustahil dan jaiz. Sifat wajibnya
adalah Sidiq (benar), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan), Fatonah
(cerdas). (Tauhid Jawan, h. 35-36)
Sifat Mustahil yang ada pada diri rasul itu
juga ada empat, kebalikan dari sifat Wajib itu sendiri, yaitu : sifat Kadzib
(bohong), Khiyanat (tidak dapat dipercaya), Kitman (menyembunyikan), dan
Baladah (bodoh) (Tauhid Jawan, h. 36-37).
Selain sifat Wajib dan Mustahil para rasul
tersebut, rasul juga mempunyai sifat Jaiz (wenang). Sifat Jaiz tersebut
merupakan sisi-sisi basyariah atau kemanusiaan para rasul tanpa merendahkan
atau menurunkan derajatnya seperti makan, minum, tidur, berumahtangga, dan lain
sebagainya. (Tauhid Jawan, h.37).
5. Iman Kepada
Hari Akhir (Kiamat)
Iman kepada hari akhir artinya, bahwa semua
orang Islam wajib percaya bahwa hari akhir itu pasti akan terjadi. Hari akhir
itu dapat juga disebut dengan hari kiamat. Adapun bagaimana dan besok kapan
hari kiamat itu tidak ada seorang pun yang tahu, tetapi pasti terjadi. Hal ini
sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Tauhid Jawan sebagai berikut :
“Tegesipun
iman dateng dinten akhir inggih menika kita percados bilih dinten akhir menika
mesthi bade wonten. Namung kados pundi lan benjang menapa kita boten sumerep
nanging mesthi wontenipun. Diten akhir menika ugi saged dipun wastani dinten kiyamat”.
(Tauhid Jawan, h.38).
Artinya :
Maksudnya iman
kepada hari akhir yaitu kita percaya bahwa hari akhir itu pasti akan terjadi.
Adapun bagaimana dan besok kapan hari kiamat itu kita tidak tahu, tetapi pasti
terjadi. Hari akhir itu dapat juga disebut dengan hari kiamat
Selain diwajibkan untuk mengimani adanya hari
akhir, orang Islam juga harus percaya bahwa setelah hari kiamat itu terjadi,
semua manusia yang sudah mati akan hidup lagi setelah Malaikat Israfil
diperintah oleh Allah SWT untuk meniup Sangkakala. Setelah semua hidup, semua
manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk dihisab (ditimbang) semua
amalnya, baik itu amal kebajikan maupun amal kejahatannya.
Sebelum menuju ke alam akhirat, ada satu alam
yang harus dilalui oleh manusia setelah meninggal, yaitu alam kubur. Oleh sebab
sebab itu, orang Islam harus percaya terhadap pertanyaan di alam kubur, nikmat
kubur, dan siksa kubur. Setelah melalui alam kubur maka manusia untuk menuju
alam akhirat akan melewati yang namanya Siratal Mustaqim. Wujud Siratal
Mustaqim harus dipercayai, karena ia adalah jembatan yang menghantarkan
manusia ke alam akhirat.
Semua amal manusia itu pasti ada balasannya.
Amal baik akan mendapat balasan kebaikan, yaitu pahala dan Surga tempat
kembalinya. Adapun amal jahat juga akan mendapat balasan, yaitu di siksa dan
Neraka itu tempatnya siksa. Melalui jembatan Siratal Mustaqim itulah
yang membawa masuknya orang mukmin ke dalam Surga, dan masuknya orang kafir ke
dalam Neraka selama-lamanya.
Berkenaan dengan kehidupan setelah mati, ada 3
(tiga) golongan manusia kelak di akhirat yang diungkapkan oleh KH.R Asnawi
dalam Kitab Tauhid Jawan, yaitu :
1. Orang mukmin yang taat setelah
dihisab akan masuk ke Surga selama-lamanya.
2. Orang Kafir
atau orang Munafik setelah dihisab akan masuk Neraka selam-lamanya, dan juga
tidak dikurangi siksa dan sakitnya siksaan tersebut.
3. Orang
mukmin yang maksiat setelah dihisab itu tergantung dari Allah SWt, jika Allah
memberinya maghfirah (ampunan) semua dosanya, maka akan masuk surga
selama-lamanya. Jika Allah SWT tidak memberinya ampunan, maka orang tersebut
akan disiksa lebih dahulu di neraka, tergantung banyak sedikitnya atau besar
kecilnya dosa. Sesudah itu akan dikeluarkan dari neraka kemudian akan dimasukkan
ke surga selama-lamanya (Tauhid
Jawan, h.40).
6. Iman Kepada
Qadar
Rukun Iman yang terakhir
adalah percaya adanya ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku bagi semua
makhluk-Nya, atau yang lebih dikenal dengan iman kepada takdir. Pengertian iman
kepada takdir ini dijelaskan oleh KH.R. Asnawi dalam kitab Tauhid Jawan
sebagai berikut :
“Tegesipun
iman dateng Qadar (pesthen) inggih menika kita percados bilih sedaya kedadosan
inggih dipun raosaken dening makhluk. Sami ugi sae utawi awon. Sedaya wau
saking Qadar pesthenipun Gusti Allah” (Tauhid Jawan, h.41).
Artinya :
“Maksudnya
iman kepada Qadar (kepastian) yaitu kita percaya bahwa semua kejadian
yang dirasakan oleh semua makhluk, baik atau buruk semua itu dari Qadar atau ketentuan Allah SWT”.
Qadar merupakan penggerak dan
motor hakiki bagi kejiwaan manusia yang mendorong dia untuk berbuat dan beramal
di dalam kehidupan ini. Bila akidah atau kepercayaan terhadap Qadar Allah Swt
tertanam kuat dalam jiwa manusia, maka orang tersebut akan berani menghadapi
segala kekuatan apapun di dunia. Akidah yang kuat inilah yang mengangkat
derajat manusia dari makhluk-makhluk yang lainnya di dunia.
Qadar merupakan ketentuan
Allah Swt bagi manusia yang menunjukkan ke-Mahakuasaan Allah dalam menentukan
nasib manusia. Allah Maha Kuasa menentukan segala yang dikehendaki-Nya. Allah
Maha Kuasa dan Maha Mengetahui tentang nasib seluruh makhluk-Nya, Allah sudah
menentukan nasib setiap makhluk-Nya, tetapi tidak seorang pun yang tahu akan
nasibnya. Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, oleh sebab itu jika Allah
menghendaki apapun dari makhluknya, maka tak ada seorang pun yang mampu
menghalangi-Nya. Pemahaman demikian sebagaimana dijelaskan oleh KH.R. Asnawi
dalam Kitab Tauhid Jawan :
“Sedaya
kedadosan menika sampun ketetepaken utawi sampun kapesthi dening Pengeran
wonten ing zaman Azali, nanging boten wonten ingkang sumerep saderengipun
kedadosan wau maujud”.
“Para
menungsa menika dipun wajibaken ikhtiyar miturut menapa ingkang dipun maksud.
Nanging ikhtiyaripun menungsa wau boten saged mestheaken hasilipun maksud. Dene
menapa ingkang kedadosan, sami ugi sae utawi awon, sedaya wau namung pesthen
(qadar) saking Gusti Allah. Para menungsa ugi dipun perintah kapurih doa
(nyenyuwun) dateng Pengeran miturut menapa ingkang dipun maksud. Nanging
kapesthenipun menika ugi Pengeran piyambak ingkang nemtoaken” (Tauhid Jawan,
h.41-42) .
Artinya :
“Semua
kejadian itu sudah ditetapkan atau sudah dipastikan oleh Allah SWT sejak zaman
Azali, tetapi tidak ada yang tahu sebelum peristiwa itu terjadi”.
“Semua manusia
itu diwajibkan untuk ikhtiyar menurut apa yang dia kehendaki. Adapun ikhtiyar-nya
manusia itu tidak dapat memastikan hasil dari apa yang diinginkan. Adapun apa
yang terjadi, entah itu baik atau buruk, semua itu hanya ketentuan (qadar)
dari Allah SWT. Semua manusia juga diperintahkan untuk berdo’a (meminta) kepada
Allah SWT sesuai apa yang diinginkannya. Tetapi ketentuan (kepastian) itu hanya
Allah SWT sendiri yang menentukan”.
Berdasarkan kitab Tauhid
Jawan tersebut, jelas bahwa Allah Swt telah menetapkan ketentuan-ketentuan dan
nasib manusia di alam azali yang disebut dengan “Qadla”. Adapun jika Allah SWt
berkehendak akan melaksanakan qadla atau ketentuan tersebut maka disebutlah
dengan Qadar. Manusia ditntut untuk terus menerus berusaha mengubah nasibnya
dengan penuh keyakinan bahwa Allah Swt akan memberikan apa-apa yang terbaik
baginya. Allah Swt Maha Adil untuk memberikan apa saja yang telah diupayakan
oleh hamba-Nya, termasuk merubah nasib dirinya. Setelah segenap daya upaya
dikerahkan manusia untuk mengubah nasib dirinya, maka hasil akhirnya itulah
yang disebut dengan takdir, baik itu berhasil atau gagal. Seorang muslim harus
yakin bahwa semua takdir yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik baginya
menurut Allah SWt. Oleh karena itu, untuk mencapai takdir yang terbaik maka
manusia harus berusaha semaksimal mungkin dan berdo’a kepada Allah Swt secara
khusyu, sehingga apapun yang terjadi padanya akan tetap bermakna dalam
kehidupannya.
D. Fungsi Kitab Tauhid Jawan Di Pondok Pesantren Darul ulum
Kitab Tauhid Jawan yang ditulis oleh KH.R Asnawi terlihat jelas pemikiran
seorang pengikut paham Ahlu Sunnah wal Jamaah, yaitu golongan
yang berpegang teguh pada sunnah dan hadits, dan praktik peribadatannya sama
seperti mayoritas atau umumnya umat Islam. Paham Ahlussunnah wal Jamaah
ini dalam konsep atau mazab tauhidnya mengikuti Abdul Hasan Ali bin Ismail Al
Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) dan Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al Maturidi
(w. 332 H) (Ahmad Hanafi, 1974: 58).
Kitab Tauhid Jawan
yang diajarkan pada Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Darul Ulum Kudus ini
merupakan kitab dasar yang menjadi pondasi dan benteng bagi para santri
khususnya santri pemula, dalam memahami akidah ahlussunnah wal Jamaah.
Dengan bekal pengetahuan dan keyakinan dalam kitab tauhid tersebut, para santri
diharapkan mempunyai keyakinan dan keimanan yang kokoh, tidak mudah terkena
bujuk rayu setan, baik dari kalangan jin maupun manusia, yang menjerumuskan ke
lembah syirik dan kemurtadan. Berbekal ilmu tauhid itu paula seorang santri
akan menjalani hidup dengan selamat di dunia dan akhirat. Dengan demikian,
menjadi wajib bagi setiap muslim untuk belajar ilmu tauhid, karena dengan ilmu
tauhid tersebut seseorang dapat lebih mengenal Allah Swt dengan segala sifat
dan asma-Nya.
Fungsi dari ilmu tauhid ini
diungkapkan dalam manfaat belajar ilmu Tauhid sebagai berikut :
“Faidahipun
tiyang ingkang sinahu ilmu tauhid menika, supados nggadahi kemantepan ingkang
kiyat saha nyumerepi sifat-sifatipun Pangeran lan para Rasul kanthi dalil-dalil
ingkang leres lan sah. Ingkang akhiripun supados saged pikantuk kawilujengan
donya lan akhirat”.
Hukumipun
sinahu ilmu Tauhid menika Fardu ‘Ain. Dados saben-saben tiyang menika kedah lan
wajib sinahu ilmu Tauhid, supados nggadahi kemantepan ingkang kiyat boten
gampil dipun bujujk dening syaiton, ugi boten gampil dipun sasaraken. (Tauhid
Jawan, h.3-4)
Artinya :
“Faidahnya
orang belajar ilmu tauhid yaitu, supaya memiliki keyakinan yang kuat dan
mengetahui sifat-sifatnya Tuhan dan para Rasul dengan dalil-dalil yang benar
dan sah. Pada akhirnya supaya mendapat keselamatan di dunia dan akhirat”.
“Hukumnya
belajar ilmu Tauhid yaitu Fardu ‘Ain. Jadi setiap orang itu harus dan wajib
belajar ilmu Tauhid, supaya memiliki keyakinan yang kuat tidak mudah dibujuk
-rayu oleh setan, juga tidak mudah disesatkan”.
Berdasarkan faidah dan hukum ilmu tauhid
tersebut, dapat dikatakan bahwa ilmu tauhid merupakan landasan keyakinan bagi
setiap muslim. Oleh sebab itu fungsi Kitab Tauhid (khususnya Tauhid Jawan)
yang diajarkan di Pondok Pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Kudus, adalah sebagai
berikut :
1. menjadi bekal kepada para santrinya agar
memiliki iman dan keyakinan yang kuat. Hal ini Sebagaimana dijelaskan oleh
pengasuh pondok, KH. Drs. Saad Basyar, bahwa kitab Tauhid Jawan karya
KH. R. Asnawi diajarkan di pondoknya adalah untuk membentengi iman para santri
pemula dari kepercayaan-kepercayaan yang menyesatkan, apalagi di jaman yang
serba modern ini. Hal ini sesuai dengan tujuan pondok pesantren Darul Ulum,
yaitu mempersiapkan generasi Islam yang beriman, bertaqwa, dan berakhlakul
karimah dengan misi meneruskan perjuangan ‘alim ‘ulama dan mendidik para
santri agar menjadi ‘alim, ‘amil, sholih, dan mukhlis.
Iman yang kuat tertanam dalam diri setiap
santri akan melahirkan sikap yang selalu merasa kehadiran Allah Swt dalam
dirinya, sehingga perilaku-perilaku yang tidak dikehendaki oleh Allah Swt akan
dihindarinya. Dengan aqidah yang kuat pula mendorong para santri untuk berbuat
baik terhadap sesama dan terhadap mahkluk lainnya. Dorongan keyakinan tersebut
akan membuat seseorang berbuat ikhlas, meniadakan segala pamrih duniawi, dengan
keyakinan semata-mata bahwa dia berbuat baik karena diperintah oleh Allah Swt.
Sehingga apapun yang dia peroleh dari hasil perbuatan tersebut, akan
diterimanya dengan ikhlas tanpa penyesalan.
2. menumbuhkan rasa optimisme dalam menjalani
hidup dan kehidupan. Dengan berbekal tauhid yang kuat, seorang santri setelah
lepas dari pondok pesantren diharapkan mampu berkecimpung di masyarakat dengan
mengamalkan apa-apa yang telah diperolehnya dari pondok pesantren. Mendakwahan
Islam di manapun mereka berada, seperti tujuan didirikannya Pondok Pesantren
Darul Ulum sendiri, berperan aktif dalam
usaha pemberdayaan masyarakat berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang Tarbiyah
Islamiyah.
3. memiliki rasa pasrah (tawakkal) dan
keyakinan yang utuh kepada Allah Swt. Bekal ilmu Tauhid bagi para santri Pondok
Pesantren Darul Ulum dapat menjadikannya orang yang memiliki rasa penyerahan
diri kepada Allah Swt dan keberanian untuk bertindak, karena tidak ada yang
ditakutinya kecuali melanggar perintah Allah Swt. Kekuasaan dan kekuatan Allah
Swt dapat menumbuhkan jiwa merdeka bagi seseorang, sehingga dia akan berani
mengungkapkan kebenaran secara tegas dan konsekuen berdasarkan aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Allah Swt (Muslim Nurdin, dkk., 1993:80). Karena
baginya kebenaran itu mutlak milik Allah Swt saja, sehingga dia akan berani
menegakkan kebenaran di muka bumi dengan tanpa rasa takut, kawatir, dan
gelisah. Inilah yang diharapkan dengan pemberian materi Tauhid bagi para santri
di Pondok Pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Bae Kudus.
Pondok Pesantren Darul Ulum melalui pengkajian
kitab-kitab kuning karya para ulama salaf yang berpaham Ahlussunnah wal
Jamaah, mempersiapkan generasi Islam yang beriman, bertaqwa, dan berakhlakul
karimah dengan misi meneruskan perjuangan ‘alim ‘ulama dan mendidik para
santri agar menjadi ‘alim, ‘amil, sholih, dan mukhlis. Selain itu juga
diharapkan para santri selepas dari pondok mampu berperan aktif dalam usaha pemberdayaan masyarakat berbangsa
dan bernegara, dengan landasan aqidah atau keimanan yang kuat. Landasan aqidah
yang diatualisasikan dalam segala bentuk dan macam aktifitas akan menjadikan
seseorang berbuat ikhlas, mengisi hidupnya dengan amal saleh, karena amal saleh
adalah pancaran dari aqidah.
IV. Penutup
Pondok
Pesantren Darul Ulum mengajarkan berbagai macam jenis kitab kuning, salah satu
kitab Tauhid yang diajarkan adalah Kitab Tauhid Jawan karya Kyai Haji
Raden Asnawi Kudus. Kitab Tauhid Jawan, sesuai dengan nama kitab
tersebut bahwa kata Jawan itu mengandung arti Bahasa Jawa. Artinya,
kitab Tauhid tersebut ditulis dalam Bahasa Jawa, adapun aksara yang digunakan
adalah Pegon.
Kitab Tauhid Jawan di
Pondok Pesantren Darul Ulum Ngembalrejo Bae Kudus diajarkan dalam lembaga
pendidikannya, yaitu di Madrasah Diniyah pada jenjang awal atau Ibtida. Kitab
tersebut disajikan dalam bahasa Jawa Ngoko yang mudah dipahami oleh para santri
pemula. Kitab tersebut diajarkan secara klasikal, tidak diajarkan dalam
kurikulum pondok yang menggunakan metode Bandongan dan Sorogan. Sebagai materi
dasar dalam pembinaan aqidah atau keimanan para santri, kitab Tauhid Jawan
sangat membantu para santri untuk memahami rukun Iman.
Isi kitab Tauhid Jawan
mencerminkan pemikiran KH. R. Asnawi sebagai seorang yang teguh mengikuti dan
memperjuangkan aqidah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Kitab tersebut sebagai
benteng bagi kaum muslimin, khususnya santri Pondok Pesantren Darul Ulum, dalam
memeprtahankan aqidah atau keimanannya dengan tetap berpegang teguh pada Al
Qur’an dan sunnah atau hadits, dan menghidupkan sikap Jamaah,
kebersamaan umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar